Kuliah Umum Syar'iyyah 5 KIAT-KIAT DALAM MENJAGA HATI

Bersama : Ustadz Abdul Mu'thi Al-Maidany
Insya Allah Sabtu, 17 Rajab 1435 H / 17 Mei 2014 M

SEMUA TENTANG UKHUWAH

Bersama Ustadz Abdul Mu’thi Al-Maidany Ahad, 18 Rajab 1435 / 18 Mei 2014

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنِي إِلَى رَمَضَانَ ، وَسَلِّمْ لِي رَمَضَانَ ، وَتُسلمهُ مِنِّي مُتَقَبَّلاً

Ya Allah, selamatkanlah aku agar bisa berjumpa dengan Ramadhan, selamatkanlah aku agar berhasil menjalani Ramadhan, dan terimalah amalku


Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh.
Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu).
Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan ilmu.

Selasa, 23 Februari 2010

Rekaman Tabligh Akbar Masyaikh Makassar

Berikut ini adalah file rekaman Tabligh Akbar Masyaikh di Al-Markaz Al-Islamy Jend. M. Jusuf Makassar dan di Pesantren Tanwirussunnah Gowa pada tanggal 17 dan 18 Februari 2010 / 3-4 Rabiul Awwal 1431 H.

1. Syaikh Abdullah Al-Mar’i – Masjid Al-Markaz Al-Islamy Makassar (17 Februari 2010 | 16.00 WITA) [Download]

Penerjemah : Ustadz Dzulqarnain

2. Syaikh Muhammad Ghalib Hassan – Masjid Al-Markaz Al-Islamy Makassar (17 Februari 2010 | 18.50 WITA) [Download]

Penerjemah : Ustadz Ibnu Yunus

3. Syaikh Muhammad Ghalib Hassan – Masjid Pesantren Tanwirussunnah Kab. Gowa (18 Februari 2010 | 05.30 WITA) [Download]

Penerjemah : Ustadz Ibnu Yunus


Sumber : almakassari. com

Senin, 15 Februari 2010

Rangkuman artikel seputar Maulid & Isra Mi'raj Nabi

Segala puji bagi Allah, semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya, serta orang orang yang mendapat petunjuk dari Allah.

Peringatan Maulid dan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam begitu marak kita dengarkan kabarnya dimana-mana, terlebih di negeri kita Indonesia. Mulai dari orang awamnya sampai orang 'terpelajarnya', mulai dari orang yang tidak paham syariat Islam sampai orang yang suka menyatakan 'penegakan syariat Islam', ternyata menyukai acara ini. Bahkan orang yang tidak mau mengikuti peringatan ini dicap 'membenci Nabi' dst. Lantas bagaimanakah pendapat para Ulama Salafy tentangnya ?

Simak rangkuman artikel terkait dengan perayaan bid'ah Maulid dan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam berikut ini, semoga bermanfaat.
1. Perayaan Maulid Rasulullah dalam sorotan Islam
2. Perayaan Isra' Mi'raj Rasulullah dalam sorotan Islam
3. Kesempurnaan Agama Islam
4. Pembelaan atas negeri pendukung manhaj Salaf (I)
5. Pembelaan atas negeri Saudi - Kembali pada al Haq (II)

Artikel bahasa Inggris
1. Fatwa Lajnah Da'imah tentang peringatan Maulid Nabi (1)
2. Fatwa Lajnah Da'imah tentang peringatan Maulid Nabi (2)
3. Fatwa Lajnah Da'imah tentang peringatan Maulid Nabi (3)
4. Fatwa Lajnah Da'imah tentang peringatan Maulid Nabi (4)
5. Fatwa Lajnah Da'imah tentang peringatan Maulid Nabi (5)
6. Fatwa Lajnah Da'imah tentang peringatan Maulid Nabi (6)
7. Fatwa Syaikh Muhammad Sholih al Utsaimin tentang peringatan Maulid Nabi
8. Fatwa Lajnah Da'imah tentang peringatan Maulid Nabi (7)
9. Fatwa Asy Syaikh Shalih Fauzan tentang peringatan Maulid Nabi

Syaikh Ibn Baz menyatakan : "Harus dikatakan, bahwa tidak boleh mengadakan kumpul kumpul / pesta pesta pada malam kelahiran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga malam lainnya, karena hal itu merupakan suatu perbuatan baru (bid’ah ) dalam agama, selain Rasulullah belum pernah mengerjakanya, begitu pula Khulafaaurrasyidin, para sahabat lain dan para Tabi’in yang hidup pada kurun paling baik, mereka adalah kalangan orang orang yang lebih mengerti terhadap sunnah, lebih banyak mencintai Rasulullah dari pada generasi setelahnya, dan benar benar menjalankan syariatnya.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
" من أحـدث في أمـرنا هذا ما ليس منـه فهـو رد "، أي مـردود.
“Barang siapa mengada adakan ( sesuatu hal baru ) dalam urusan ( agama ) kami yang ( sebelumnya ) tidak pernah ada, maka akan ditolak”.

Dalam hadits lain beliau bersabda :
" عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين بعدي، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة ".
“Kamu semua harus berpegang teguh pada sunnahku (setelah Al qur’an) dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk Allah sesudahku, berpeganglah dengan sunnah itu, dan gigitlah dengan gigi geraham kalian sekuat kuatnya, serta jauhilah perbuatan baru ( dalam agama ), karena setiap perbuatan baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat” ( HR. Abu Daud dan Turmudzi ).

Maka dalam dua hadits ini kita dapatkan suatu peringatan keras, yaitu agar kita senantiasa waspada, jangan sampai mengadakan perbuatan bid’ah apapun, begitu pula mengerjakannya.

Wallahu ta'ala a'lam bish showab.

Redaksi Salafy.or.id

Sabtu, 06 Februari 2010

Biografi singkat Asy-Syaikh Muhammad bin Ghalib

Biografi singkat Asy-Syaikh Muhammad bin Ghalib

1. Nama : Muhammad bin Ghalib Hassan Al-'Umari

2. Domisili : Madinah, Saudi Arabia

3. Pendidikan:
S-1 Fakultas Syariah, Universitas Islam Madinah
S-2 Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Universitas Islam Madinah
Sekarang sedang menempuh Program Doktoral di Fakultas Dakwah,
Universitas Islam Madinah

4. Guru-guru :
- Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i rahimahullah
- Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-Badr
- Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri
- Asy-Syaikh Abdurrahman bin Auf Kuni
- Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali
- Asy-Syaikh Tarhib bin Rubai'an Ad-Dausari
- Asy-Syaikh Abdussalam bin Salim As-Suhaimi
- Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhari

5. Karya tulis :
- Atsar At-Taqlid Al-Madzmum 'ala Ad-Da'wah (Thesis
Magister)
- Al-Qaulul Musaddad
- Ithaful Fudhala' bi Fawaidi 'Ulama min Siyar A'lamin
Nubala'
- Mulahadzat 'ala Siyar A'lamin Nubala
- Shafwatu Ushulil Fiqih Al-Muntakhabah min Mukhtashar
At-Tahrir

(Sumber : Panitia Daurah)
http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1608

Biografi Syaikh Abdullah bin Mar’i Al Adeni

Biodata beliau:
Nama: Abdullah bin Umar bin Mar’i bin Bariik Al Adeni
Kunyah: Abu Abdirrahman
Tempat dan Tanggal Lahir: Al Manshurah – Aden, pada hari Selasa tanggal 27 Syawwal 1389 H

Keluarga beliau:
Syaikh Abdullah menikah di Kerajaan Saudi Arabia, Allah subhanahu wata’ala memberikan kepada beliau seorang istri yang shalihah, seorang pengajar dan mustafidah. Allah pun menganugerahkan tujuh orang anak yang terdiri dari empat putra dan tiga orang putri. Adapun putra beliau adalah:

1. Abdurrahman, kunyah Syaikh diambil dari nama putra beliau ini.

2. Umar

3. Muhammad

4. Abdullah, ini yang paling bungsu.

Proses Beliau Menuntut Ilmu:

Beliau mulai belajar pada tahun 1406 H -bertepatan dengan tahun 1986 M-, dengan menghapal Al Quran dan menyetorkan hapalannya kepada Syaikh Muhammad At Ta’zi rahimahullah di Aden. Beliau mengkhatamkan Al Quran di hadapan Syaikh At Ta’zi sebanyak dua kali. Di masa itu beliau juga belajar kitab-kitab bagi pemula dalam bidang aqidah, fiqh, hadits, dan bahasa Arab. Beliau menyempurnakan hapalan Al Quran beliau di tahun 1409 H.

Beliau kemudian menetap di bumi Dammaj tahun 1408 dan bermulazamah kepada Syaikh Al Muhaddits Muqbil bin Hadi Al Wadi’i –rahimahullah-. Beliau belajar Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim, Tafsir Ibnu Katsir, dan pelajaran lainnya kepada Syaikh Muqbil. Dan dahulu Syaikh Muqbil Al Wadi’i –rahimahullah- mengadakan pelajaran Kitab Tauhid karya Ibnu Khuzaimah.

Syaikh Abdullah juga bertemu para penuntut ilmu senior pada masa itu, di antaranya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al Washabi –hafizhahullah-. Beliau belajar Aqidah Ath Thahawiyah dari Syaikh Al Washabi.

Syaikh Abdullah pun kemudian safar ke bumi Haramain di bulan Ramadhan tahun 1412 H –bertepatan tahun 1992 H- di mana beliau menuntut ilmu secara langsung kepada para ulama senior di berbagai tempat.

Yang Pertama: Di Al Qasim dan Riyadh

1. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau bermulazamah dari tahun 1412 H selama empat setengah tahun sampai beliau pindah. Beliau mengikuti pelajaran khusus dalam pembahasan kitab Al Hamawiyah dan At Tadmuriyah serta Syarah Syaikh Ibnu Utsaimin terhadap kitab An Nawawiyah, Qawa’id An Nuraniyah, Naqdut Tablis Al Jahmiyah, As Shawaiqul Mursalah dan yang selainnya.

Syaikh Abdullah senantiasa bersemangat dalam mengisi waktu. Di waktu libur dan ketika pelajaran kosong di pagi hari dan ba’da isya beliau talaqqi, menimba ilmu dari para Syaikh lainnya, di antaranya:

1. Syaikh Al Faqih –ahli sastra dan bahasa- Abu Shalih Abdullah bin Shalih Al Falih. Beliau membacakan kitab matan sharf, di antaranya Al Asaas wal Bina, At Tashrif karya Az Zunjani, serta At Tashrif karya Muhyiddin Abdul Hamid, dan kitab Syadzal Araf. Dan di dalam ilmu Nahwu beliau belajar Al Qathr, Asy Syudzur serta Ibnu Aqil, serta sekumpulan kitab dalam bidang adab seperti Syarh Adab Al Katib dan yang selainnya.

2. Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah. Syaikh Abdullah menghadiri sebagian pelajaran Syaikh Bin Baaz di Riyadh dan bertanya tentang sebagian permasalahan. Hal ini beliau lakukan di hari Kamis, Jumat dan hari-hari libur.

3. Syaikh Abdullah Al Ghudayyan. Beliau mengikuti sebagian pelajaran ilmu ushul, dan beragam pembahasan ushuliyah.

4. Syaikh Muhammad bin Sulayman Al Alith. Beliau belajar kitab-kitab aqidah dan syarah Kitab Tauhid seperti Qurratul Uyun, At Taisir, Darun Nadhid, Al Qaulus Sadiid, Hasyiyah Ibnul Qasim dan yang selainnya. Dan demikian juga, beliau belajar Majmu Ibnu Rumaih, Kasyfu Syubuhat, Al Haiyah, banyak dari matan-matan akidah dari Syaikh Al Alith. Dan juga kumpulan pelajaran tauhid dalam risalah-risalah para imam Negeri Najd dalam bidang akidah, serta syarah- syarah kitab Al Wasithiyah dan yang selainnya.

5. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Manshur, beliau belajar kitab Al Hamawiyah, At Tadmuriyah, At Tanbihaat As Saniyah, dan Syarah-syarah Kitab Al Wasithiyah, Ad Durratul Mudhi’ah fis Safariniyah, At Taiyah karya Syaikhul Islam dengan syarh As Sa’di, Al Qawaid Al Fiqhiyah, serta risalah-risalah Syaikhul Islam seperti At Tawassul, Wasilah Al ‘Ubudiyah dan yang selainnya dari Syaikh Al Manshur.

6. Syaikh Abdullah Al Qar’awy, imam Jami’ Al Kabir di Buraidah. Beliau belajar sekumpulan risalah tauhid kepada Syaikh Al Qar’awy.

7. Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, beliau belajar sejumlah durus.

Yang kedua, Para Masyaikh kota Madinah, yang paling terkenal di antara mereka:

1. Syaikh Muhammad bin Aman Al Jaami. Beliau belajar ta’liq Syaikh Al Jami terhadap Syarah Aqidah Al Wasithiyah Al Harras di Al Haram Al Madani.

2. Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali, beliau mendapatkan pelajaran sebagian kitab-kitab sunan di dalam dars ‘am (pelajaran umum).

3. Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad, beliau belajar Syarh terhadap Sunan An Nasa’i dan sebagian pelajaran Sunan Abu Daud di Al Haram Al Madani

4. Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, beliau belajar kitab Al Muwatha’ di Al Haram Al Madani

5. Syaikh Zaidan Asy Syinqithi, beliau belajar ushul fiqh di Al Haram Al Madani.

6. Syaikh Umar bin Abdul Jabbar, beliau belajar kitab Al Kawakib Al Munir di Masjid Universitas Islam Madinah.

7. Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jaabiri.

Yang Ketiga, Masyaikh Makkah:

1. Gurunya Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah yaitu Syaikh Muhammad bin Abdillah As Shumali. Beliau belajar kitab ‘Ilal Ibni Madini, ilmu musthalah, serta beragam bab dari Shahih Al Bukhari.

2. Syaikh Muhammad Ath Thayyib bin Ahmad Al Maghribi Al Ja’fari, beliau belajar ushul fiqih dan beragam bab fiqih.

3. Syaikh Muhammad Al Khadr Dhayfullah Al Jakni Asy Syinqithi, beliau belajar bahasa Arab dan sebagian ilmu mantiq.

4. Syaikh Muhammad bin Shalih At Tanbakti Al Mali, beliau belajar Syarah Ibnu Aqil.

5. Syaikh Muhammad bin Syaikh Ali bin Adam Al Atsiyubi Al Walwy. Beliau belajar Sunan At Tirmidzi, ‘Ilal Ibnu Rajab dan Nazham beliau dalam nama-nama Mudallis.

Beliau juga belajar dari para ulama lainnya yang beliau temui dalam sebagian majelis seperti Al Allamah Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani. Beliau hadir di sebagian pelajaran Syaikh Al Albani pada tahun 1410 di Makkah dan Jeddah.

Cukup bagimu ijazah-ijazah yang beliau -semoga Allah menjaganya- peroleh dari sebagian masyaikh yang beliau enggan untuk kami ketahui,. Semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan barakah kepada diri dan ilmu beliau, serta kepada para ulama, masyaikh, dan para dai ahlussunnah secara keseluruhan.

Diterjemahkan dari http://daralhadeeth-sh.com/pageother.php?catsmktba=103
http://ulamasunnah.wordpress.com/2010/01/15/biografi-syaikh-abdullah-bin-mar%E2%80%99i-al-adeni/

Sunnah Wudhu

Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suka memulai dari sebelah kanan saat mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam seluruh urusan beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)
Dari Abu Hurairah  dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ ْوُضُوءٍ
“Sekiranya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu.” (HR. Ahmad dalam beberapa tempat dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 70)
Dari Umar  dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- bahwa beliau bersabda:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ أَوْ فَيُسْبِغُ الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
“Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudlu, lalu bersungguh-sungguh atau menyempurnakan wudhunya kemudian dia membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WA ANNA MUHAMMADAN ABDULLAHI WARASULUH (Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya) melainkan kedelapan pintu surga akan dibukakan untuknya. Dia masuk dari pintu manapun yang dia kehendaki.” (HR. Muslim no. 234)
Dalam riwayat lain dengan lafazh:
مَنْ تَوَضَّأَ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“Barangsiapa yang berwudhu lalu membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKALAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ABDUHU WARASULUH (Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Penjelasan ringkas:
Di antara kesempurnaan wudhu adalah disunnahkan untuk memulai dengan mencuci anggota wudhu yang sebelah kanan sebelum yang kiri, yakni pada kedua telapak tangan, tangan sampai siku, dan kedua kaki. Hanya saja berhubung hukumnya sunnah, maka barangsiapa yang memulai dengan yang kiri maka sungguh dia telah menyelisihi sunnah walaupun dia tidak berdosa dan wudhunya tidak makruh apalagi batal. Dan syariat memulai dengan yang kanan ini berlaku pada semua jenis amalan dan tindakan, berdasarkan hadits Aisyah di atas.

Kemudian, sebelum wudhu, seseorang juga disunnahkan untuk bersiwak. Siwak secara bahasa mempunyai dua makna:
1. Akar kayu yang sudah ma’ruf (diketahui bersama) yang digunakan untuk membersihkan gigi.
2. Pekerjaan membersihkan gigi.
Karenanya semua pekerjaan membersihkan gigi itu dinamakan bersiwak walaupun tidak menggunakan kayu siwak, menurut pendapat yang paling kuat. Maka jika seseorang tidak mempunyai kayu siwak, dia tetap bisa mengerjakan sunnah yang mulia ini dengan cara membersihkan giginya dengan pasta gigi, atau sekedar dengan sikat gigi atau dengan menggosok giginya dengan kain atau jari, dan seterusnya dari bentuk pekerjaan membersihkan gigi.

Walaupun demikian, tentu saja lebih utama seseorang itu bersiwak dengan kayu siwak, karena inilah yang datang dalam nukila perbuatan Nabi , bahwa beliau bersiwak dengan menggunakan kayu siwak.

Hadits Abu Hurairah tentang siwak di atas juga sebagai sanggahan kepada sebagian ulama yang memakruhkan atau melarang seseorang yang berpuasa untuk bersiwak/menggosok gigi setelah zuhur. Hal itu karena hadits di atas datang dalam bentuk umum ‘setiap kali wudhu’, tanpa ada pembedaan dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- antara sedang puasa dengan tidak puasa. Karenanya tetap disunnahkan seseorang yang berpuasa untuk bersiwak, dan bagi yang menggunakan pasta gigi harus tetap menjaga jangan sampai ada pasta yang tertelan olehnya.

Kemudian, sunnah terakhir yang tersebut dalam dalil-dalil di atas adalah sunnahnya berdoa setelah wudhu dengan doa yang ma`tsur di atas, dan Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah menjanjikan pahala masuk surga bagi siapa saja yang mengucapkannya.

Sifat Wudhu Nabi -shallallahu alaihi wasallam-

Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai dengan siku, dan usaplah kepala-kepala kalian dan (cucilah) kaki-kaki kalian sampai pada kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Dari Humran budak Utsman bin Affan dia berkata:
أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ دَعَا بِوَضُوءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الْوَضُوءِ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلَاثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ كُلَّ رِجْلٍ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا وَقَالَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Bahwa dia melihat Utsman bin Affan minta untuk diambilkan air wudlu. Lalu beliau menuang bejana itu pada kedua tangannya, lalu dia mencuci kedua tangannya tersebut hingga tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudlunya, kemudian berkumur, menghirup air ke dalam hidung, dan mengeluarkannya. Kemudian beliau mencuci mukanya tiga kali, mencuci kedua tangannya hingga ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian beliau mengusap kepalanya lalu mencuci setiap kakinya tiga kali. Setelah itu beliau berkata, “Aku telah melihat Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia shalat dua rakaat, dan tidak menyibukkan hatinya dalam kedua rakaat itu, maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 164 dan Muslim no. 226)
Dari Abdullah bin Zaid ketika beliau memperagakan sifat wudhunya Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-:
فَأَكْفَأَ عَلَى يَدِهِ مِنْ التَّوْرِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي التَّوْرِ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثَ غَرَفَاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Dia menuangkan air dari gayung ke telapak tangannya lalu mencucinya tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung, dan mengeluarkannya kembali dengan tiga kali cidukan. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu membasuh mukanya tiga kali. Kemudian dia membasuh kedua tangannya dua kali sampai ke siku. Kemudian memasukkan tangannya ke dalam gayung, lalu mengusap kepalanya dengan tangan; mulai dari bagian depan ke belakang dan menariknya kembali sebanyak satu kali. Lalu dia mencuci kedua kakinya hingga mata kaki.” (HR. Al-Bukhari no. 186 dan Muslim no. 235)

Sebelum kami menggambarkan bagaimana sifat wudhu Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, maka berikut ada beberapa perkara yang penting untuk diketahui:
Pertama: Definisi beberapa istilah
1. Rukun wudhu: Dia adalah semua yang diperintahkan oleh syariat dalam berwudhu, yang kalau ditinggalkan -sengaja maupun tidak sengaja- maka akan membatalkan wudhu. Hanya saja kalau dia sengaja maka dia berdosa. Rukun wudhu ada empat, yaitu semua yang tersebut dalam firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
2. Wajib wudhu: Dia adalah semua yang diperintahkan oleh syariat dalam berwudhu, tapi tidak disebutkan dalam surah Al-Maidah ayat 6. Hukumnya: Kalau ditinggalkan -sengaja maupun tidak sengaja- maka tidak membatalkan wudhu, tapi kalau dengan sengaja maka pelakunya berdosa.
3. Sunnah wudhu: Yaitu semua amalan wudhu yang tidak diperintahkan oleh syariat, tapi hanya sebatas anjuran atau hanya disebutkan bahwa Nabi melakukannya tapi tidak memerintahkannya. Hukumnya: Tidak berdosa meninggalkannya dan tidak pula membatalkan wudhu -sengaja maupun tidak sengaja-.
4. Mencuci anggota wudhu: Yakni menyiramnya dengan air dimana semua bagian anggota wudhu yang dicuci harus terkena siraman air, kalau tidak maka mencucinya tidak syah dan secara otomatis wudhunya pun tidak syah.
5. Mengusap anggota wudhu: Ini hanya berlaku bagi kepala, yaitu sekedar mengenakan air pada seluruh bagian kepala atau sebagiannya dan tidak perlu menyiramnya.

Kedua: Dalil sifat wudhu Nabi -alaihishshalatu wassalam-.
Kemudian perlu diketahui bahwa dalam mengetahui sifat wudhu Nabi -alaihishshalatu wassalam-, kebanyakan para ulama bersandarkan pada hadits Utsman bin Affan dan hadits Abdullah bin Zaid yang keduanya adalah riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Karena itu ada baiknya kalau kami menyebutkan kedua hadits ini:
A. Hadits Utsman bin Affan
Dari Humran maula Utsman, bahwa dia melihat Utsman meminta air wudhu: Lalu dia menuangkan air dari bejana ke dua telapak tangannya lalu mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu lalu berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkannya). Kemudian dia mencuci wajahnya tiga kali lalu kedua tangan sampai ke siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengusap kepalanya lalu mencuci kedua kakinya sebanyak tiga kali. Kemudian setelah selesai dia (Utsman) berkata, “Saya melihat Nabi -alaihishshalatu wassalam- berwudhu seperti yang saya lakukan ini.”
B. Hadits Abdullah bin Zaid, dimana beliau juga memperagakan sifat wudhu Nabi.
Dia meminta baskom berisi air lalu menuangkan air ke dua telapak tangannya dan mencuci keduanya sebanyak tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangannya kedalam baskom lalu berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar sebanyak tiga kali dari tiga kali mengambil air. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci wajahnya sebanyak tiga kali. Kemudian dia mengambil air lalu mencuci tangan sampai sikunya sebanyak dua kali. Kemudian dia mengambil air lalu mengusap kepalanya -ke belakang dan ke depan- sebanyak satu kali. Kemudian dia mencuci kedua kakinya.
Dalam sebagian riwayat: Beliau memulai mengusap pada bagian depan kepalanya kemudian mendorong kedua tangannya sampai ke tengkuknya, kemudian kedua tangannya kembali ke bagian depan kepalanya.

Setelah memahami kedua hak di atas, maka berikut penyebutan sifat wudhu:
1. Dalil wajibnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Maidah ayat 6 yang telah kami bawakan, dan juga sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Allah tidak akan menerima shalat tanpa thaharah,” (HR. Al-Jamaah kecuali Al-Bukhari)
2. Nabi -alaihishshalatu wassalam- berwudhu setiap kali mau shalat (HR. Al-Bukhari dan Imam Empat). Beliau bersabda, “Seandainya saya tidak menyusahkan umatku niscaya saya akan memerintahkan mereka untuk berwudhu setiap kali mau shalat, dan bersama wudhu ada bersiwak.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih sebagaimana dalam Al-Muntaqa)
3. Niat hukumnya adalah rukun wudhu, berdasarkan sabda Nabi yang masyhur, “Sesungguhnya setiap amalan -syah atau tidaknya- tergantung dengan niat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Didahului dengan bersiwak atau menyikat gigi. Hal ini berdasarkan sabda beliau, “Seandainya saya tidak takut untuk menyusahkan umatku, niscaya aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu.” (HR. Malik dari Abu Hurairah)
5. Lalu membaca basmalah -dan hukumnya adalah sunnah-, dengan dalil sabda beliau -alaihishshalatu wassalam-, “Berwudhulah kalian dengan membaca bismillah.” (Dihasankan oleh Al-Albani)
6. Mencuci kedua telapak tangan tiga kali dan hukumnya adalah sunnah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
7. Kemudian berkumur-kumur, dan hukumnya adalah sunnah karena tidak adanya hadits shahih yang memerintahkannya.
8. Selanjutnya melakukan istinsyaq dan istintsar dan kedua amalan ini hukumnya adalah wajib. Berdasarkan sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Kalau salah seorang di antara kalian berwudhu maka hendaknya dia memasukkan air ke dalam hidungnya kemudian mengeluarkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Beliau menggabungkan antara kumur-kumur dan istinsyaq dengan cara setengah dari air yang beliau ambil, beliau masukkan ke dalam mulut dan setengahnya lagi ke dalam hidung. Beliau istinsyaq dengan tangan kanan dan istintsar dengan tangan kiri, berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib. Dan beliau memerintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam istinsyaq kecuali dalam keadaan berpuasa dengan sabdanya, “Bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air ke hidung kecuali kalau kamu dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Daud dari Laqith bin Saburah)
9. Mencuci wajah, dan hukumnya adalah rukun wudhu karena tersebut dalam surah Al-Maidah. Disunnahkan juga ketika mencuci wajah untuk menyelang-nyelingi jenggot.
10. Kemudian mencuci kedua tangan samapai melewati siku dan beliau juga memerintahkan untuk menyelang-nyelingi jari-jemari. Hukum mencuci tangan samapai ke siku adalah rukun wudhu.
11. Mengusap sebagaian kepala adalah rukun dan sudah syah. Adapun cara yang disunnahkan dalam mengusap kepala adalah: Mengusapkan kedua tangan pada bagian depan kepala kemudian mendorong keduanya sampai ke tengkuk kemudian dikembalikan lagi ke kepala bagian depan, seperti tersebut dalam hadits Abdullah bin Zaid di atas.
Boleh hanya mengusap sebagian kepala kalau dia menggunakan imamah (kain yang dililitkan di kepala) dan boleh juga hanya mengusap di atas imamah. Demikian pula halnya jilbab bagi kaum wanita.
12. Mengusap telinga, dan hukumnya sama mengusap kepala, yaitu rukun. Karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, “Kedua telinga adalah bagian dari kepala.” (Dishahihkan oleh Al-Albani). Air yang dipakai mengusap telinga adalah sisa air yang tadi dipakai untuk mengusap kepala, tidak mengambil air yang baru.
13. Mencuci kedua kaki -dan hukumnya adalah rukun- sampai melewati mata kaki. Semua bagian kaki harus terkena air wudhu, karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, “Celakalah bagi tumit-tumit (yang tidak terkena air, pent) dari api neraka.”
14. Disunnahkan memulai dengan bagian kanan dalam mencuci semua anggota wudhu yang berjumlah sepasang, kecuali telinga karena keduanya diusap secara bersamaan. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, “Kalau kalian memakai pakaian dan kalau kalian berwudhu, maka mulailah dengan bagian kanan kalian.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang shahih)
15. Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah berwudhu dengan mencuci setiap anggota wudhu sebanyak satu kali-satu kali, juga pernah dua kali-dua kali dan juga tiga kali-tiga kali. Dan beliau bersabda, “Barang siapa yang menambah lebih dari itu maka sesungguhnya dia telah berbuat jelek, melampaui batas dan berbuat zhalim.”
16. Setelah wudhu disunnahkan membaca doa, “Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarikalah, wa asyhadu anna Muhammadan abduhu warasuluhu. Allahummaj’alni minat tawwabina waj’alni minal mutathahhirina (Saya bersaksi bahwasannya tiada ada illah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Ya Allah jadiknlah saya termasuk golongan orang-orang yang telah bersuci).”
Atau membaca, “Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”

[Asal sifat wudhu ini kami nukil dari kitab Ats-Tsamar Al-Mustathab fi Fiqih As-Sunnah wa Al-Kitab karya Asy-Asyaikh Al-Albani: 1/10-11 dengan beberapa perubahan]

Keutamaan Wudhu

Dari Hammam bin Munabbih bahwa dia mendengar Abu Hurairah  berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ. قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ: مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
“Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga dia berwudhu.” Seorang laki-laki dari Hadhramaut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan hadats wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Kentut baik dengan suara atau tidak.” (HR. Al-Bukhari no. 135 dan Muslim
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- beliau bersabda:
إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ فَمَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ
“Sesungguhnya umatku akan dihadirkan pada hari kiamat dengan wajah, tangan, dan kaki yang bercahaya karena bekas-bekas wudhu mereka. Karenanya barangsiapa di antara kalian yang bisa memperpanjang cahayanya maka hendaklah dia lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246)
Asal makna ghurrah adalah bulu putih pada kepala kuda yang berbulu hitam, dan makna at-tahjil adalah bulu putih pada kaki-kaki kuda yang berbulu hitam.
Makna memperpanjang wudhu adalah mengusahakan agar dirinya selalu di atas thaharah dengan cara selalu berwudhu setiap kali wudhunya batal walaupun tidak sedang akan shalat. Bukan maknanya menambah bagian tubuh yang dicuci melebihi apa yang ditetapkan oleh syariat.
Dari Utsman bin Affan  dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ
“Barangsiapa yang berwudhu lalu membaguskan wudhunya, niscaya kesalahan-kesalahannya keluar dari badannya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya.” (HR. Muslim no. 245)
Maksud memperbaiki wudhu adalah mengerjakannya secara sempurna (mencakup rukun, wajib, dan sunnah wudhu) sesuai dengan petunjuk Nabi -alaihishshalatu wassalam-.
Dari Utsman bin Affan  bahwa beliau mendengar Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ هَكَذَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَكَانَتْ صَلَاتُهُ وَمَشْيُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ نَافِلَةً
“Barangsiapa berwudhu demikian niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Sedangkan shalat dan berjalannya dia ke masjid adalah dihitung sebagai amalan sunnah.” (HR. Muslim no. 228)
Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ, فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ
“Maukah kalian aku tunjukkan atas sesuatu yang dengannya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat?” Mereka menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudhu pada keadaan yang dibenci (seperti pada keadaan yang sangat dingin, pent.), banyak berjalan ke masjid, dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat. Maka itulah ribath, itulah ribath.” (HR. Muslim no. 251)
Ribath adalah amalan berjaga di daerah perbatasan antara daerah kaum muslimin dengan daerah musuh. Maksudnya pahalanya disamakan dengan pahala orang yang melakukan ribath.

Penjelasan ringkas:
Wudhu termasuk dari amalan yang paling utama lagi mulia, dan cukuplah yang menunjukkan dalil akan keutamaannya adalah bahwa dia merupakan syarat syah shalat yang merupakan tiang agama dan rukun Islam terpenting setelah syahadah. Karenanya barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa wudhu (bagi yang berhadats kecil) maka shalatnya tidak syah dan dia telah terjatuh ke dalam dosa besar, bahkan Al-Hanafiah menghukumi kafirnya orang yang shalat tanpa thaharah karena dianggap mempermainkan shalat, walaupun pendapat ini adalah pendapat yang lemah.
Di antara keutamaan wudhu yang tersebut di atas adalah:
a. Orang yang berwudhu akan mendapatkan cahaya pada wajah, kedua tangan, dan kedua kakinya dengan sebab dia mencuci wajah, kedua tangan, dan kedua kakinya dalam berwudhu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah menyatakan bahwa cahaya ini hanya dimiliki oleh umat Muhammad  karena wudhu merupakan keistimewaan umat ini yang tidak diberikan kepada umat selainnya. Walaupun dalam hal ini -yakni: Apakah wudhu ini disyariatkan pada umat sebelumnya atau tidak- ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Adapun bagi kaum muslimin yang meninggal dalam keadaan belum sempat berwudhu maka dia tidak akan mendapatkan cahaya ini, hanya saja dia tetap akan dikenali oleh Nabi -alaihishshalatu wassalam- sebagai umat beliau akan tetapi dengan tanda yang lain.
b. Jika dia menyempurnakan wudhunya maka dosa-dosa yang diperbuat oleh anggota wudhunya akan keluar (terhapus) bersamaan dengan keluarnya tetesan air wudhunya -sebagaimana yang ditunjukkan dalam riwayat yang lain-. Karenanya disunnahkan untuk tidak menyeka air wudhu dengan kain karena hal itu akan menghilangkan tetesan wudhu.
c. Barangsiapa yang berwudhu dengan seperti yang Nabi -alaihishshalatu wassalam- ajarkan maka akan diampuni semua dosanya yang telah berlalu. Maksudnya adalah dosa-dosa kecil, karena para ulama menyatakan bahwa dosa besar hanya bisa terhapus dengan taubat dan istighfar.
d. Setiap langkah kakinya ke masjid akan dihitung sebagai amalan sunnah. Demikian pula shalat (sunnah wudhu) yang dia lakukan setelahnya. Karenanya disunnahkan untuk berjalan kaki ke masjid selama masih memungkinkan dan tidak menaiki kendaraan, demikian pula disunnahkan untuk mengerjakan shalat sunnah wudhu.
e. Orang yang berwudhu dalam keadaan dingin yang sangat akan diangkat derajatnya oleh Allah dihapuskan dosa-dosanya dan pahalanya bagaikan dia tengah berjihad di jalan Allah. Pahala seperti ini juga didapatkan oleh orang setelah dia mengerjakan shalat dia tidak pulang ke rumahnya akan tetapi dia menunggu shalat berikutnya di masjid. Karenanya disunnahkan untuk berdiam di masjid -selama memungkinkan- untuk menunggu shalat berikutnya atau melakukan amalan yang menjadi wasilah kepadanya, misalnya mengadakan pengajian antara maghrib dan isya agar para jamaah tidak pulang tapi bisa mengikuti pengajian tentunya disertai dengan niat menunggu shalat isya.

http://al-atsariyyah.com/?p=1800

Senin, 01 Februari 2010

Siapakah Abdul Qadir Al-Jailani?


Tahukah anda siapa itu Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani?
Ya, semua orang tahu siapa itu Abdul Qadir Jailani. Mulai dari anak-anak kecil sampai orang-orang tua pun tahu tentang Abdul Qadir Jailani, sampai para tukang becak pun tahu akan siapa tokoh ini. Sampai-sampai jika ada orang yang bernama Abdul Qadir, maka orang akan mudah menghafal namanya disebabkan namanya ada kesamaan dengan nama Abdul Qadir Jailani. Yang jelas, selama orangnya muslim, pasti tahu siapa itu Abdul Qadir Jailany. Ya minimal namanya.
Jika nama Abdul Qadir disebut atau didengarkan oleh sebagian orang, niscaya akan terbayang suatu hal berupa kesholehan, dan segala karomah, serta keajaiban yang dimiliki oleh beliau menurut mereka.Orang-orang tersebut akan membayangkan Abdul Qadir Jailani itu bisa terbang di atas udara, berjalan di atas laut tanpa menggunakan seseuatu apapun, mengatur cuaca, mengembalikan ruh ke jasad orang, mengeluarkan uang di balik jubahnya, menolong perahu yang akan tenggelam, menghidupkan orang mati dan lain sebagainya.
Apakah semua itu betul, ataukah semua itu hanyalah karangan dan kedustaan dari para qashshash (pendongeng) yang bodoh?
Berikut sedikit keterangan mengenai siapakah Abdul Qadir Al-Jailani.

(Nama lengkap beliau)
Seorang ahli sejarah Islam, Ibnul Imad menyebutkan tentang nama dan masa hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany: “Pada tahun 561 H hiduplah Asy-Syaikh Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan bin Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailany”. (Lihat Syadzarat Adz-Dzahab (4/198) oleh Ibnul Imad Al-Hanbaly)

(Tempat kelahiran beliau)
Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany adalah salah seorang ulama ahlusunnah yang berasal dari negeri Jailan. Kepada negeri inilah beliau dinasabkan sehingga disebut “Al-Jailany”, artinya seorang yang berasal dari negeri Jailan.Jailan merupakan nama bagi beberapa daerah yang terletak di belakang Negeri Thobaristan. Tidak ada satu kota pun terdapat di negeri Jailan kecuali ia hanya merupakan bentuk perkampungan yang terletak pada daerah tropis di sekitar pegunungan. (Lihat Mu’jam Al-Buldan (4/13-16) Oleh Abu Abdillah Yaqut bin Abdillah Al-Hamawy)

(Komentar para ulama tentang beliau)
Para ulama memberikan pujian kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany termasuk orang yang berpegang-teguh dengan sunnah dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, Qodar, dan semisalnya, bersungguh-sungguh dalam membantah orang yang menyelisihi perkara tersebut. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany berkata dalam kitabnya Al-Ghun-yah yang masyhur: [Allah berada di bagian atas langit, bersemayam di atas Arsy, menguasai kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, kepada-Nya lah naik kata-kata yang baik dan amalan sholeh diangkatnya. Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, lalu urusan itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang sama dengan seribu tahun menurut perhitungan kalian.Tidak boleh Allah disifatkan bahwa Dia ada di segala tempat. Bahkan Dia di atas langit, di atas Arsy sebagaimana Allah berfirman, “Ar-Rahman (Allah) tinggi di atas Arsy”.

Kitab Al-Ghun-yah di atas, judul lengkapnya adalah: “Ghun-yah Ath-Tholibin” sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud (3/300), dan Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwadzi (7/430) Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah berkata, “Kami masuk Baghdad tahun 561 H. Ternyata Syaikh Abdul Qadir termasuk orang yang mencapai puncak kepemimpinan dalam ilmu , harta, fatwa dan amal disana. Penuntut ilmu tidak perlu lagi menuju kepada yang lainnya karena banyaknya ilmu, kesabaran terhadap penuntut ilmu, dan kelapangan dada pada diri beliau. Orangnya berpandangan jauh. Beliau telah mengumpulkan sifat-sifat yang bagus, dan keadaan yang agung. Saya tak melihat ada orang yang seperti beliau setelahnya.” (Lihat Dzail Thobaqot Hanabilah (1/293) karya Ibnu Rajab.)

Kehebatan-kehebatan yang dinisbatkan kepada beliau Adapun khurafat yang biasa dinisbahkan kepada beliau sebagaimana yang telah kami sebutkan contohnya di atas, maka Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah berkata: “Akan tetapi Al-Muqri’ Abul Hasan Asy-Syanthufi Al-Mishri telah mengumpulkan berita-berita, dan keistimewaan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany sebanyak tiga jilid. Ia telah menulis di dalamnya suatu musibah, dan cukuplah seseorang itu dikatakan berdusta jika ia menceritakan segala yang ia dengar. …. Di dalamnya terdapat keanehan, malapetaka, pengakuan dusta, dan ucapan batil, yang tak bisa lagi dihitung. Semua itu tak bisa dinisbahkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany rahimahullah. Kemudian saya mendapatkan Al-Kamal Ja’far Al-Adfawy telah menyebutkan bahwa Asy-Syanthufi sendiri tertuduh dusta dalam berita yang ia riwayatkan dalam kitab ini.” (Lihat Dzail Thobaqot Hanabilah (1/293) karya Ibnu Rajab) Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Mereka telah menyebutkan dari beliau (Abdul Qadir Al-Jailany) ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, pengungkapan urusan gaib, yang kebanyakannya adalah ghuluw (sikap berlebih-lebihan). Beliau orangnya sholeh dan wara’. Beliau telah menulis kitab Al-Ghun-yah, dan Futuh Al-Ghaib. Dalam kedua kitab ini terdapat beberapa perkara yang baik, dan ia juga menyebutkan di dalamnya hadits-hadits dha’if, dan palsu. Secara global, ia termasuk di antara pemimpin para masyayikh (orang-orang yang berilmu)”. (Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (12/252) oleh Ibnu Katsir)

Kesimpulannya: Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah seorang ulama ahlussunnah wal jamaah, salafi. Mempunyai karya-karya ilmiah di antaranya kitab Al-Ghun-yah dalam masalah tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat, yang di dalamnya beliau menjelaskan tentang akidah ahlussunnah. Sebagian ulama belakangan menyebutkan bahwa memang beliau mempunyai beberapa karamah, hanya saja sebagian orang-orang jahil lagi ghulum kepada beliau terlalu memperbesar-besar kejadiannya dan banyak menambah kisah-kisah palsu lagi dusta lalu menyandarkannya kepada beliau -rahimahullah-. Wallahu a’lam bishshawab

Ringkasan dari muqaddimah tulisan Al-Ustadz Abu Faizah Abdul Qadir yang berjudul Biografi Abdul Qadir Al-Jailani Sebuah sosok yang dikultuskan ahli tasawwuf

Biografi Ringkas Faqih Az-Zaman


Nasab dan kelahirannya
Beliau adalah, yang mulia, syaikh, ulama, peneliti, ahli fiqhi dan mufassir yang wara’ lagi zuhud. Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Sulaiman bin Abdurrahman (dari) keluarga Utsaimin. berasal dari Wahbah dari keluarga Bani Tamim.
Dilahirkan pada malam kedua puluh tujuh dari bulan Ramadhan yang penuh berkah, tahun 1327 H. di Unaizah. Salah satu kota (propinsi) Al-Qashim, di Kerajaan Saudi Arabia.

Perkembangan Keilmuannya
Ayahnya, -rahimahullahu Ta’ala-, mengikutkannya untuk belajar Al-Qur’anul Karim pada neneknya. Seorang guru dari jihat ibunya; Abdurrahman bin Sulaiman Ad-Daamigh, semoga Allah merahmatinya. Kemudian, beliau belajar menulis, matematika dan teks-teks kesusatraan pada sekolah Ustadz Abdul Aziz bin Shaleh Ad-Damigh hafidzahullah. Hal itu, sebelum beliau ikut serta di sekolah Ali bin Abdullah As-Syahtan, semoga Allah merahmatinya. Dimana beliau menghapal Al-Qur’an di luar kepala, sementara umurnya belumlah melewati sebelas tahun.
Atas anjuran orang tuanya, semoga Allah merahmatinya, beliau bersedia untuk menuntut ilmu syar’i. Dan kala itu, yang mulia Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di, semoga Allah merahmatinya meminta murid-murid besarnya, diantaranya syaikh Muhammad Abdul Aziz Al-Muthawwi’ semoga Allah merahmatinya, untuk mengajar murid-murid pemula. Maka bergabunglah beliau dalam majlisnya. Hingga beliau memperoleh ilmu Tauhid, Fiqhi dan Nahmu.
Kemudian, beliau belajar di majlis gurunya Al-Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di semoga Allah merahmatinya. Beliau belajar padanya di bidang Tafsir, Hadits, Shirah Nabawi, Tauhid, Fiqhi, Usul, Faraid dan Nahwu serta menghapal ringkasan-ringkasan matan dalam ilmu-ilmu ini.
Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dikategorikan sebagai guru utamanya; karena beliau mengambil ilmu, pengetahuan dan metode darinya, lebih banyak dari selainnya. beliau terkesan dengan metode, pengrujukan dan pengikutan terhadap dalil serta cara pengajarannya.
Tatkala syaikh Abdurrahman bin Ali bin Audan, semoga Allah merahmatinya (menjadi) hakim di Unaizah, beliau belajar padanya ilmu faraid. Begitupula, beliau juga belajar pada syaikh Abdurrazzak Afify, semoga Allah meridhoinya, ketika dia menjadi guru di kota itu; dalam ilmu nahmu dan balaghah.
Ketika pondok pendidikan dibuka di kota Riyad, sebahagian teman-temannya menganjurkan padanya agar ikut serta. Lalu beliau meminta izin pada gurunya Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, semoga Allah merahmatinya. Lalu beliau mengizinkannya. Dan bergabunglah beliau di pondok pendidikan itu pada tahun 1372-1373 H.
Selama dua tahun beliau bergabung di PondoK Pendidikan Riyad, beliau telah mengambil faidah dari ulama-ulama yang mengajar ketika itu. Diantaranya; Al-Allamah syaikh Muhammad bin Amin Asy-Syinqithi, Syaikh Al-Faqih Abdul Aziz bin Nashir bin Rasyid dan Syaikh Al-Muhaddits Abdurrazzak Al-Afriqy. Semoga Allah merahmati mereka.
Ketika itu beliau mengadakan kontak dengan Syaik Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz. Semoga Allah merahmatinya. Lalu beliau belajar pada beliau, di masjid, dari (kitab) Sahihul Bukhari dan dari makalah-makalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan beliau memperoleh ilmu dalam ilmu hadits serta mengkaji dan membandingkan pendapat-pendapat ahli fiqhi mazhab (aliran). Dan yang mulia Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, semoga Allah merahmatinya, sebagai guru keduanya dalam mempereleh ilmu dan keteladanan.
Beliau kembali ke Unaizah pada tahun 1374 H. Dan belajar pada gurunya Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Dan beliau melanjutkan studinya dengan bergabung di fakultas syari’ah, yang pada waktu itu sudah menjdi bagian dari Universitas Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah, hingga beliau memperoleh ijazah sarjana.

Pengajaran Beliau
Guru beliau, melihat pada dirinya keunggulan dan kecepatan menangkap ilmu. Lalu dia mendorongnya untuk mengajar. Sedangkan beliau itu masih sebagai murid di majlisnya. Lalu mulailah beliau mengajar pada tahun 1370 H. Di Masjid Raya Unaizah.
Ketika beliau lulus di Pondok pendidikan di Riyad, beliau diangkat sebagai guru di pondok pendidikan di Unaizah pada tahun 1374 H.
Pada Tahun 1376 H. gurunya, syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, semoga Allah merahmatinya, menginggal dunia. Setelah itu, beliau menjabat imam Masjid Raya Unaizah serta menjadi imam dua hari raya di masjid itu, dan memberikan pelajaran di Perpustakaan Nasional Unaizah yang menginduk pada Masjid Raya Unaizah; yang didirikan oleh gurunya, semoga Allah merahmatinya, pada tahun 1359 H.
Tatkala murid-murid(nya) sudah banyak, jadilah perpustakaan itu tidak muat untuk mereka. Mulailah Syaikh yang mulia, semoga Allah merahmatinya, mengajar di Masjid Raya. Dan berkumpul dan berda-tanganlah murid-murid dari Kerajaan Saudi Arabia dan selainnya. Hingga pada beberapa pelajaran, jumlah mereka mencapai beberapa ratus. Mereka belajar dengan tekun dan mendapatkan ilmu, bukan hanya sekedar mendengar. Beliau tetap sebagai imam, khatib dan guru, hingga beliau wafat, semoga Allah merahmatinya.
Beliau menjadi guru di pondok pendidikan dari tahun 1374 sampai tahun 1398 H. ketika beliau berpindah untuk mengajar di Fakultas Syari’ah dan Usuluddin di Qashim, yang menginduk pada Universitas Imam Muhammad bin Suud Al-Islamiyah, beliau masih menjadi guru di sana hingga wafatnya. Semoga Allah merahmatinya.
Dahulu, beliau mengajar di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi pada Musim Haji dan Ramadahan serta liburan musim panas, sejak tahun 1402 H. hingga beliau wafat. Semoga Allah merahmatinya.
Pada (diri) Syaikh, semoga Allah merahmatinya, (terdapat) metode pendidikan yang tidak ada duanya dalam hal keberhasilan dan kelayak-kannya. Beliau berdiskusi dengan murid-muridnya serta menerima perta-nyaan-pertanyaan mereka. Beliau memberikan pelajaran dan ceramah dengan semangat yang tinggi, jiwa yang tenang, percaya diri dan senang dalam menyebarkan dan mendekatkan ilmu pada manusia.

Peninggalan-Peninggalan Ilmiyah Beliau
Kesungguhan beliau yang besar dalam memberi dan memper-sembahkan (karya) dalam menyebarkan ilmu, dalam mengajar, memberi nasehat, petunjuk dan pengarahan serta dalam memberikan ceramah dan dakwah, terlihat selama lebih dari lima puluh tahun. Maha suci Allah!
Beliau memberikan perhatian untuk menulis dan menerbitkan fatwa dan jawaban-jawaban (pertanyaan), yang menonjol dengan sumber ilmu yang kuat. Dan diterbitkan milik (karangan) beliau berpuluh-puluh buku, makalah, ceramah, fatwa, khutbah, pertemuan (diskusi) dan artikel-artikel. Begitupulah beribu-ribu rekaman ceramah, khutbah, pertemuan, program siaran dan pelajaran-pelajaran ilmiahnya diluncurkan, dalam masalah tafsir Al-Qur’anul Karim, serta uraian-uraian istimewah dalam hal hadits, sirah dan matan-matan yang teratur dalam ilmu-ilmu syar’i dan nahwu.
Sebagai bentuk realisasi dari prinsip, ketentuan dan pengarahan yang ditetapkan oleh yang mulia, semoga Allah merahmatinya, untuk menyebarkan karangan, makalah, pelajaran, ceramah, khutbah, fatwa dan pertemuan-pertemuannya, maka Yayasan Sosial Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin melaksanakan tanggung-jawab untuk mempublikasikan dan memelihara semua peninggalan-peninggalan ilimiahnya.
Bertitik tolak pada nasehatnya/anjuran beliau, semoga Allah merahmatinya, dengan pertolongan Allah, didirikan tempat khusus pada jaringan pendidikan Negara. dalam rangka menyebarkan faedah (ilmu) yang diharapkan dan untuk menyajikan semua peninggalan-peninggalan ilmiahnya. dintaranya; tulisan dan rekaman-remakan.

Kegiatan dan Aktifitas Lainnya
Disamping kerja keras yang berhasil di bidang pengajaran, penulisan, imam, khutbah, fatwah dan dakwah kepada Allah Subhanahu wa Taala. Syaikh juga melakukan kegiatan-kegiatan lain yang sukses, diantaranya:
? Anggota pada organisasi ulama-ulama besar di Kerajaan Saudi Arabia. dari tahun 1407 hingga beliau wafat.
? Anggota pada Majlis ilmu di Universitas Imam Muhammad bin Suud Al-Islamiyah dalam dua tahun pembelajaran, tahun 1398-1400 H.
? Anggota Dewan Pengurus Fakultas Syari’ah dan Ushuluddin di Universitas Imam Muhammad bin Suud cabang Al-Qashim dan sekaligus menjadi Dekan jurusan syari’ah.
? Pada akhir masa pengajarannya di Pondok Pendidikan, beliau bergabung dalam keanggotaan “Panitia Program dan Perencanaan” untuk pondok-pondok pendidikan. Dan menerbitkan sejumlah buku-buku pembelajaran.
? Pengurus pada Komite Bimbingan (pengarahan) pada musim haji. Dari tahun 1392 hingga wafatnya, semoga Allah meridhoinya, dimana beliau memberikan pelajaran dan ceramah-ceramah di Makkah. Beliau memberikan fatwa berbagai permasalahan dan hukum-hukum syariat.
? Mengepalai lembaga penghafalan Al-Qur’anul Karim di Unaizah, sejak didirikannya pada tahun 1405 H. hingga wafatnya.
? Beliau banyak menyampaikan ceramah-ceramah di dalam Kerajaan Saudi Arabia pada kelompok-kelompok yang berbeda-beda. Begitupulah, beliau menyampaikan ceramah melalui telepon (ceramah jarak jauh) pada perkumpulan dan pusat-pusat kajian Islam di pelosok-pelosok dunia yang berbeda.
? Beliau termasuk ulama besar kerajaan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan orang seputar hukum-hukum agama dan dasar-dasar aqidah dan syariat. Hal itu melalui program siaran dari Kerajaan Saudi Arabia. Yang paling terkenal adalah “Nuurun Alad Darbi” (cahaya pada lorong).
? Mewajibkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang. Baik itu melalui telepon, tulisan ataupun melalui lisan.
? Menyusun jadwal pertemuan-pertemuan ilmiah; mingguan, bulanan maupun tahunan.
? Ikut serta pada banyak muktamar yang diadakan di Kerajaan Saudi Arabia.
? Oleh karena beliau mementingkan etika pendidikan dan nasehat, maka beliau memberikan perhatian, memberikan petunjuk dan mengarahkan murid-murid kepada etika dan metode yang baik dalam menuntut dan mencari ilmu. Beliau berusaha untuk mengum-pulkan mereka. Sabar dalam mengajar mereka. Tabah dalam menjawab pertanyan-pertanyaan mereka yang berbeda-beda serta memberikan perhatian pada kepentingan-kepentingan mereka.
? Syaikh, semoga Allah merahmatinya, memiliki kegiatan-kegiatan yang banyak di lapangan sosial, pintu-pintu kebaikan dan sisi-sisi kebaikan terhadap manusia. memenuhi kebutuhan mereka serta memberikan nasehat kepada mereka dengan tulus dan ikhlas.

Kedudukan Keilmuan Beliau
Syaikh yang mulia, semoga Allah merahmatinya, dikategorikan termasuk orang yang kuat dalam ilmu yang Allah berikan dengan karunia dan kemuliaa-Nya. Sumber dan penguasaan yang besar dalam mengetahui dan menggabungkan dalil dan dalam menyimpulkan hukum dan faedah-faedah dari kitab dan sunnah. Beliau meneliti dasar-dasar Bahasa Arab, baik secara makna, I’rab dan balaghah.
Tatkala beliau menonjol dengan sifat-sifat ulama yang mulia, akhlak yang terpuji. menggabungkan antara ilmu dan amal, orang-orang mencintainya dengan kecintaan yang besar. Menghargainya dengan segenap penghargaan. Allah mengkaruniakan beliau sambutan baik (penerimaan) dikalangan orang-orang. Mereka merasa puas dengan pilihan beliau dalam ilmu fiqhi. Mereka menerima pelajaran, fatwa dan peninggalan-peninggalan ilmiahnya, yang tumpah ruah dari mata air ilmunya serta mengambil faidah dari nasehat dan wejangan-wejangan beliau.
Beliau telah diberikan hadiah tingkat dunia “Raja Faisal”, semoga Allah merahmatinya, untuk pengabdian(nya) dalam Islam, pada tahun 1414 H. Dan adapun pertimbangan-pertimbangan yang dimunculkan oleh panitia untuk memberikannya hadiah, adalah sebagai berikut:
Pertama: Beliau menonjol dengan akhlak ulama yang utama. Yang paling menonjol adalah wara’ (ketaqwaan), lapang dada, menyam-paikan yang haq, beraktifitas untuk kemaslahatan kaum muslimin dan memberi nasehat kepada orang tertentu dan kepada orang banyak.
Kedua: Banyaknya pemamfaatan ilmunya; pembelajaran, fatwa dan karangan beliau.
Ketiga: Penyampaian ceramah-ceramah umum yang bermamfaat di banyak daerah yang berbeda dalam kerajaan.
Keempat: Banyaknya keikut-sertaan beliau pada muktamar islam.
Kelima: penggabungan antara metode-metode istimewa dalam dakwah kepada Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik. Pengenalan contoh yang ideal terhadap manhaj shalafushsholeh; pemikiran maupun tingkah laku.

Keturunan Beliau
Beliau mempunyai lima anak laki-laki, dan tiga anak perempuan. Adapun anak laki-lakinya adalah: Abdullah, Abdurrahman, Ibrahim, Abdul Aziz dan Abdurrahim.

Wafatnya Beliau
Beliau, semoga Allah merahmatinya, wafat di Kota Jeddah, sebelum masuk waktu magrib pada hari rabu, tanggal lima belas bulan Syawwal, tahun 1421 H. Dan dishalatkan pada hari kamis, setelah shalat ashar. kemudian diantar jenazahnya oleh beribu-ribu peserta shalat dan khalayak ramai, dalam sebuah pemandangan yang berkesan. Dimakamkan di Makkah Al-Mukarramah.
Setelah shalat jum’at pada hari berikutnya, Beliau dishalatkan dengan shalat ghaib di seluruh kota Saudi Arabia.
Semoga Allah mengasihi guru kita dengan kasih sayang orang-orang yang beruntung. Menempatkan beliau dalam keluasan surga-Nya. Mengkaruniainya magfirah dan keridhoan-Nya. Memmberinya ganjaran yang baik terhadap apa yang telah beliau persembahkan untuk Islam dan Kaum Muslimin.

Komite pendidikan
Yayasan Sosial Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin

[Diterjemah dari Muqaddimah Syarh As-Siyasah Asy-Syar'iyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiah karya Asy-Syaikh Ibnu al-Utsaimin]

Ayoo Meeniikaah


Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21)
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar-Ra’d: 38)
Allah Ta’ala berfirman:
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Di sanalah Zakariya mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. (QS. Ali-‘Imran: 38)
Allah Ta’ala berfirman:
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
“Dan nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi, dua atau tiga atau empat wanita.” (QS. An-Nisa`: 3)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada tiga orang sahabat yang mau memfokuskan untuk beribadah dan meninggalkan hal-hal yang dihalalkan, di antaranya adalah pernikahan:
مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّي
“Barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Al-Bukhari no. 4675 dan Muslim no. 2487)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan maka hendaknya dia menikah, karena hal tersebut lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa adalah benteng baginya”. (HR. Al-Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400)

Penjelasan ringkas:
Menikah sudah menjadi fitrah yang Allah telah fitrahkan seluruh manusia di atasnya. Bahkan karena keutamaan menikah ini, Allah Ta’ala telah menjadikannya sebagai sunnah para nabi seluruhnya, sehingga tidak ada seorangpun Nabi kecuali Allah Ta’ala telah menetapkan bagi mereka istri yang senantiasa mendampingi mereka. Bahkan Allah Ta’ala mengizinkan setiap lelaki untuk menikahi lebih dari seorang wanita selama dia bisa berbuat adil kepada para istrinya. Di antara keutamaan menikah lainnya adalah bahwa dia merupakan metode terampuh dalam menjaga kemaluan dan kehormatan dan obat termujarab dalam menghilangkan penyakit syahwat. Menikah juga menjadi sebab bertambah banyaknya kaum muslimin, karena dari pernikahan dua orang tua yang muslim akan lahir generasi kaum muslimin berikutnya. Dan sungguh pada hari kiamat Nabi shallallahu alaihi wasallam akan berbangga di hadapan nabi lain karena beliau yang memiliki ummat terbanyak.

Karenanya, siapa saja yang menolak untuk menikah maka sungguh dia telah membenci sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahkan sunnah seluruh nabi sebelum beliau. Dan siapa saja yang membenci sunnah mereka maka sungguh dia tidak berada di atas jalan mereka.

Tidak Ada Bid’ah Hasanah


Pendapat yang mengatakan adanya bid’ah hasanah (yang baik) dalam Islam termasuk fitnah dan musibah terbesar dari berbagai macam fitnah dan musibah yang menimpa ummat ini. Bagaimana tidak, perkataan ini pada akhirnya akan menghalalkan semua bentuk bid’ah dalam agama yang pada gilirannya akan merubah syari’at-syari’at agama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah dibakukan tatkala Dia mewafatkan NabiNya Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Yang lebih celaka lagi, fitnah ini telah memakan banyak korban tanpa pandang bulu, mulai dari orang awwam yang tidak paham tentang agama sampai seorang yang dianggap tokoh agama yang telah meraih berbagai macam gelar –baik yang resmi maupun yang tidak- dalam ilmu agama Islam, semuanya berpendapat akan adanya bid’ah yang baik dalam Islam. Maka betapa buruknya nasib umat ini bila orang-orang yang membimbing mereka, yang mereka anggap tokoh agama berpendapat dengan pendapat ‘aneh’ seperti ini, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

A. Dalil-Dalil Tentang Buruk dan Tercelanya Semua Bentuk Bid’ah Tanpa Terkecuali.
Berikut beberapa dalil sam’iy (Al-Kitab dan AS-Sunnah) dan dalil akal yang menunjukkan akan jelek, tercela dan tertolaknya semua bentuk bid’ah :
1. Hadits Jabir riwayat Muslim :
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat”.
2. Hadits ‘Irbadh bin Sariyah :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`i)
Berkata Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam : “Maka sabda beliau “semua bid’ah adalah kesesatan”, termasuk dari jawami’ul kalim yang tidak ada sesuatupun (bid’ah) yang terkecualikan darinya, dan hadits ini merupakan pokok yang sangat agung dalam agama”.
Dan berkata Al-Imam Asy-Syathiby rahimahullah dalam Al-I’tishom (1/187), “Sesungguhnya dalil-dalil –bersamaan dengan banyaknya jumlahnya- datang secara mutlak dan umum, tidak ada sedikitpun perkecualian padanya selama-lamanya, dan tidaklah datang dalam dalil-dalil tersebut satu lafadzpun yang mengharuskan adanya di antara bid’ah-bid’ah itu yang merupakan petunjuk (hasanah), dan tidak ada dalam dalil-dalil tersebut penyebutan “semua bid’ah adalah kesesatan kecuali bid’ah ini, bid’ah ini, …”, dan tidak ada sedikitpun dari dalil-dalil tersebut yang menunjukan akan makna-makna ini (pengecualian)”.
3. Hadits ‘A`isyah radhiallahu ‘anha:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)
Berkata Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Author (2/69) : “Hadits ini termasuk dari kaidah-kaidah agama karena masuk didalamnya hukum-hukum tanpa ada pengecualian. Betapa jelas dan betapa menunjukkan akan batilnya pendapat sebagian fuqoha` (para ahli fiqhi) yang membagi bid’ah menjadi beberapa jenis dan mengkhususkan tertolaknya bid’ah hanya pada sebagian bentuknya tanpa ada dalil naql (Al-Kitab dan As-Sunnah) yang mengkhususkannya dan tidak pula dalil akal”.
4. Ijma’ para ulama Salaf dari kalangan Shahabat, tabi’in dan para pengikut mereka dengan baik akan tercela dan jeleknya semua bid’ah serta wajibnya memperingatkan kaum muslimin darinya dan dari para pelakunya.

B. Penyebutan Syubhat-Syubhat Orang Yang Berpendapat Akan Adanya Bid’ah Hasanah Dalam Islam Beserta Bantahannya.
Di sini saya akan menyebutkan tujuh syubhat terbesar yang biasa di gembar-gemborkan oleh orang-orang yang menyatakan adanya bid’ah hasanah dalam Islam, yang hakikat dari semua syubhat mereka adalah lebih lemah dari sarang laba-laba karena syubhat-syubhat ini tidak lepas dari dua keadaan: Apakah dalilnya shohih tapi salah memahami ataukah sekedar perkataan para ulama yang telah diketahui bersama bahwa perkataan mereka bukanlah hujjah ketika menyelisihi dalil. Berikut penyebutan syubhat-syubhat mereka :

1. Surah Al-Hadid ayat 27 :
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا
“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”.
Bantahan :
FirmanNya “tetapi untuk mencari keridhaan Allah” ada dua kemungkinan :
1. Bila kembalinya kepada firmanNya “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah”, maka ini berarti celaan buat mereka karena mereka berbuat bid’ah dan memunculkan suatu peribadatan yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka, kemudian bersamaan dengan itu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.
2. Bila kembalinya kepada firmanNya “padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka”, maka menunjukkan bahwa mereka memunculkan suatu peribadatan baru yang disetujui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka. Akan tetapi ayat ini bercerita tentang syari’at umat sebelum kita (Nashara) dan syari’at umat sebelum kita –menurut pendapat yang paling kuat- bukanlah menjadi syari’at kita jika bertentangan dengan dalil yang datang dalam syari’at kita. Dan telah berlalu dalil-dalil yang sangat banyak akan larangan dan ancaman berbuat bid’ah dalam agama kita dan bahwa semua bentuk bid’ah adalah tertolak.

2. Hadits Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dari hadits di atas mereka mengeluarkan pendalilan, kalau begitu bid’ah –sebagaimana sunnah- juga terbagi menjadi dua ; ada yang baik dan ada yang jelek.
Bantahan:
1. Sesungguhnya makna sabda beliau “Barangsiapa yang membuat sunnah” adalah “barangsiapa yang mengamalkan sunnah” bukan maknanya “barangsiapa yang membuat syari’at (sunnah) yang baru”, hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sababul wurud (sebab terucapkannya) hadits ini dalam riwayat Muslim (no. 1017), yang ringkasnya : Bahwa sekelompok orang dari Bani Mudhor datang ke Medinah dan nampak dari kondisi mereka kemiskinan dan kesusahan, lalu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan motovasi kepada para shahabat untuk bersedekah. Maka datanglah seorang lelaki dari Al-Anshor dengan membawa makanan yang hampir-hampir tangannya tidak mampu untuk mengangkatnya, setelah itu beruntunlah para shahabat yang lain mengikutinya juga untuk memberikan sedekah lalu beliaupun mengucapkan hadits di atas.
Maka dari kisah ini jelas menunjukkan bahwa yang diinginkan dalam hadits adalah “Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang tsabit dari sunnah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam …”, karena sedekah bukanlah perkara bid’ah akan tetapi sunnah dari sunnah beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
2. Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mensifati “sunnah” dalam hadits ini dengan “yang baik” dan “yang jelek”, dan sifat seperti ini (baik dan jelek) tidak mungkin diketahui kecuali dari sisi syari’at. Maka hal ini mengharuskan bahwa kata “sunnah” dalam hadits maksudnya adalah amalan yang punya asal dari sisi syari’at, apakah baik ataupun buruk, sedangkan bid’ah adalah amalan yang sama sekali tidak memiliki asal dalam syari’at.
3. Tidak dinukil dari seorangpun dari kalangan para ulama Salaf yang menafsirkan sunnah yang hasanah dalam hadits ini adalah bid’ah yang dimunculkan oleh manusia.

3. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam –menurut sangkaan mereka- bersabda :
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
“Maka perkara apa saja yang kaum muslimin menganggapnya baik maka itu juga baik di sisi Allah dan perkara apa saja yang mereka anggap jelek maka itu jelek di sisi Allah”.
Mereka mengatakan : “Maka bila suatu bid’ah dianggap baik oleh kaum muslimin di zaman ini maka berarti bid’ah itu baik juga di sisi Allah”.
Bantahan:
1. Hadits ini tidak shohih secara marfu’ dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, akan tetapi yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Berikut perkataan sebagian ulama tentang hal ini :
· Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitab Al-Farusiah (hal. 167) : “Sesungguhnya atsar ini bukan dari sabda Rasullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan tidak ada seorangpun yang menjadikan perkataan ini sebagai sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali orang yang tidak memiliki ilmu tentang hadits, yang benarnya perkataan ini hanya tsabit dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu”.
· Berkata Ibnu ‘Abdil Hadi sebagaimana dalam Kasyful Khofa` (2/245) : “Diriwayatkan secara marfu’ dari hadits Anas dengan sanad yang saqit (jatuh/sangat lemah) dan yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu”.
2. Yang diinginkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dengan perkataan beliau “kaum muslimin” dalam hadits ini adalah mereka para sahabat radhiallahu ‘anhum, karena “Al” dalam kata “al-muslimun” hadits ini bermakna lil ‘ahd adz-dzihni (yang langsung terpahami oleh fikiran ketika membaca hadits ini), sehingga makna haditsnya adalah “Perkara apa saja yang kaum muslimin yang ada di zaman itu …”. Hal ini ditunjukkan oleh potongan awal hadits ini :
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ
“Sesungguhnya Allah melihat ke hati para hambaNya dan Dia mendapati hati Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah sebaik-baik di antara hati-hati para hamba maka Diapun memilihnya untuk diriNya dan mengutusnya dengan risalahNya. Kemudian Allah melihat lagi ke hati para hamba setelah hati Muhammad dan Dia mendapati hati para shahabat adalah sebaik-baik hati para hamba maka Diapun menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu NabiNya yang mereka itu berperang dalam agamaNya. Maka apa-apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu baik di sisi Allah dan apa-apa yang jelek menurut kaum muslimin maka hal itu jelek di sisi Allah”.
Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin yang diinginkan di akhir hadits adalah mereka yang disebutkan di awal hadits.
3. Bagaimana bisa mereka berdalil dengan perkataan shahabat yang mulia ini untuk menganggap suatu bid’ah, padahal beliau radhiallahu ‘anhu adalah termasuk dari para shahabat yang paling keras melarang dan mentahdzir dari semua bentuk bid’ah?!, dan telah berlalu sebagian dari perkataan beliau radhiallahu ‘anhu.
4. Kalau hadits ini diterima dan maknanya seperti apa yang hawa nafsu kalian inginkan, maka ini akan membuka pintu yang sangat berbahaya untuk berubahnya agama. Karena setiap pelaku bid’ah akan bersegera membuat bid’ah yang bentuknya disukai dan sesuai dengan selera manusia, dan ketika dilarang diapun berdalilkan dengan hadits di atas, Wallahul musta’an.

4. Dalil mereka selanjutnya adalah perkataan ‘Umar bin Khoththob radhiallahu ‘anhu yang masyhur tentang sholat Tarwih secara berjama’ah di malam bulan Ramadhan :
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. (HR. Al-Bukhari)
Mereka berkata : “Kalau begitu ada bid’ah yang baik dalam Islam”.
Bantahan:
1. Perbuatan ‘Umar radhiallahu ‘anhu dengan cara mengumpulkan manusia untuk melaksanakan Tarwih dengan dipimpin oleh imam bukanlah bid’ah, akan tetapi sebagai bentuk menampakkan dan menghidupkan sunnah. Karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah melaksanakan Tarwih ini dengan mengimami manusia pada malam 23, 25 dan 27 Ramadhan, tapi tatkala banyak manusia yang ikut sholat di belakang beliau, beliaupun meninggalkan pelaksanaannya karena takut turun wahyu yang mewajibkan sholat Tarwih sehingga akan menyusahkan umatnya sebagaimana yang disebutkan kisahnya oleh Imam Al-Buhkari dalam Shohihnya (no. 1129). Maka tatkala Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan hilang kemungkinan sholat Tarwih menjadi wajib dengan terputusnya wahyu sehingga sholat Tarwih ini tetap pada hukum asalnya yaitu sunnah, maka ‘Umar radhiallahu ‘anhu lalu mengumpulkan manusia untuk melaksanakan sholat Tarwih secara berjama’ah.
2. Sesungguhnya ‘Umar radhiallahu ‘anhu tidak memaksudkan dengan perkataan beliau ini akan adanya bid’ah yang baik, karena yang beliau inginkan dengan “bid’ah” di sini adalah makna secara bahasa bukan makna secara syari’at, dan ini beliau katakan karena melihat keadaan zhohir dari sholat tarwih tersebut yaitu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam meninggalkan pelaksanaan sholat tarwih setelah sebelumnya beliau melaksanakannya karena takut akan diwajibkannya sholat Tarwih ini atas umatnya.
Kalau ada yang bertanya : “Kalau memang beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggalkan karena takut diwajibkan, lantas kenapa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak melakukan apa yang dilakukan ‘Umar radhiallahu ‘anhu, padahal kemungkinan jadi wajibnya sholat Tarwih juga telah terputus di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dengan wafatnya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam?”.
Maka kami jawab : “Tidak adanya pelaksanaan Tarwih berjama’ah di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak keluar dari dua alasan berikut :
a. Karena beliau radhiallahu ‘anhu berpendapat bahwa sholatnya manusia di akhir malam dengan keadaan mereka ketika itu lebih afdhol daripada mengumpulkan mereka di belakang satu imam (berjama’ah) di awal malam, ini disebutkan oleh Imam Ath-Thurthusy rahimahullah.
b. Karena sempitnya masa pemerintahan beliau (hanya 2 tahun) untuk melihat kepada perkara furu’ (cabang) seperti ini, bersamaan sibuknya beliau mengurus masalah banyaknya orang yang murtad dan ingin menyerang Medinah ketika Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan masalah-masalah yang lain yang lebih penting dan lebih darurat dilaksanakan dibandingkan sholat tarwih, ini disebutkan oleh Asy-Syathiby rahimahullah.
Maka tatkala sholat Tarwih berjama’ah satu bulan penuh tidak pernah dilakukan di zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, tidak pula di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan tidak pula di awal pemerintahan ‘Umar radhiallahu ‘anhu, maka sholat Tarwih dengan model seperti ini (berjama’ah satu bulan penuh) dianggap bid’ah tapi dari sisi bahasa, yakni tidak ada contoh yang mendahuluinya. Adapun kalau dikatakan bid’ah secara syari’at maka tidak, karena sholat Tarwih dengan model seperti ini mempunyai asal landasan dalam syari’at yaitu beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pernah sholat Tarwih secara berjama’ah pada malam 23, 25 dan 27 Ramadhan, dan beliau meninggalkannya hanya karena takut akan diwajibkan atas umatnya, bukan karena alasan yang lain, Wallahu a’lam.
· Berkata Imam Asy-Syathiby dalam Al-I’tishom (1/250) : “Maka siapa yang menamakannya (sholat Tarwih berjama’ah satu bulan penuh) sebagai bid’ah karena dilihat dari sisi ini (yakni tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam walaupun memiliki asal dalam syari’at) maka tidak ada paksaan dalam masalah penamaan. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, maka tidak boleh berdalilkan dengannya (perkataan ‘Umar ini) akan bolehnya berbuat bid’ah dengan makna versi sang pembicara (yakni ‘Umar radhiallahu ‘anhu), karena ini adalah suatu bentuk pemalingan makna perkataan dari tempat sebenarnya”.
· Berkata Syaikhul Islam rahimahullah dalam Al-Iqthidho` Ash-Shirothol Mustaqim (hal. 276 –Darul Fikr) : “Dan yang paling banyak (didengang-dengungkan) dalam masalah ini adalah kisah penamaan ‘Umar radhiallahu ‘anhu terhadap sholat Tarwih bahwa itu adalah bid’ah bersamaan dengan baiknya amalan tersebut. Ini adalah penamaan secara bahasa bukan penamaan secara syari’at, hal itu dikarenakan bid’ah secara bahasa adalah mencakup semua perkara yang diperbuat pertama kali dan tidak ada contoh yang mendahuluinya sedangkan bid’ah secara syari’at adalah semua amalan yang tidak ditunjukkan oleh dalil syar’iy.
Maka jika Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan pernyataan yang beliau telah menunjukkan akan sunnahnya atau wajibnya suatu amalan setelah wafatnya beliau atau ada dalil yang menunjukkannya secara mutlak dan amalan tersebut tidak pernah diamalkan kecuali setelah wafatnya beliau, seperti pengadaan buku sedekah yang dikeluarkan oleh Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, maka jika seseorang mengamalkan amalan tersebut setelah wafatnya beliau maka syah kalau dikatakan bid’ah tapi secara bahasa karena itu adalah amalan yang belum pernah dilakukan”.
3. Sesungguhnya para shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan para ulama salaf setelah mereka telah bersepakat menerima dan mengamalkan apa yang dilakukan oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu dan tidak pernah dinukil dari seorangpun di antara mereka ada yang menyelisihinya. Ini artinya perbuatan beliau adalah kebenaran dan termasuk syari’at, karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah menegaskan :
لَنْ تَجْتَمِعَ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ
“Ummatku tidak akan bersepakat di atas suatu kesesatan”. (HR. At-Tirmizi)
Dan masih ada beberapa dalil yang lain yang tidak kami sebutkan di sini karena dalil-dalil tersebut hanyalah berupa perkataan dan ijtihad seorang ulama, yang kalaupun dianggap bahwa para ulama tersebut menyatakan seperti apa yang mereka katakan berupa adanya bid’ah yang baik dalam Islam, maka ucapan dan ijtihad mereka harus dibuang jauh-jauh karena menyelisihi hadits-hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, wallahu A’lam.
Kesimpulan dari masalah ini adalah bahwa setiap perkara yang dianggap oleh sebagian ulama ataupun orang-orang yang jahil bahwa itu adalah bid’ah hasanah maka perkara tersebut tidak lepas dari dua keadaan :
1. Perkara itu bukanlah suatu bid’ah akan tetapi disangka bid’ah.
2. Perkara itu adalah bid’ah dan kesesatan akan tetapi dia tidak mengetahui akan kesesatan dan kejelekannya.

{Lihat : Al-Luma’ fir Roddi ‘ala Muhassinil Bida’ (hal. 8-54), Al-I’tishom (1/187-188 dan 228-270), Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah (1/106-117), Iqthidho` Ash-Shirothol Mustaqim (hal. 270-278), Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (hal. 42-44), dan Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulul Mufid (hal. 133-142)}
[Diringkas dari buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi bab ketiga, karya Abu Muawiah Hammad -hafizhahullah-]