Kuliah Umum Syar'iyyah 5 KIAT-KIAT DALAM MENJAGA HATI

Bersama : Ustadz Abdul Mu'thi Al-Maidany
Insya Allah Sabtu, 17 Rajab 1435 H / 17 Mei 2014 M

SEMUA TENTANG UKHUWAH

Bersama Ustadz Abdul Mu’thi Al-Maidany Ahad, 18 Rajab 1435 / 18 Mei 2014

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنِي إِلَى رَمَضَانَ ، وَسَلِّمْ لِي رَمَضَانَ ، وَتُسلمهُ مِنِّي مُتَقَبَّلاً

Ya Allah, selamatkanlah aku agar bisa berjumpa dengan Ramadhan, selamatkanlah aku agar berhasil menjalani Ramadhan, dan terimalah amalku


Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh.
Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu).
Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan ilmu.

Minggu, 27 September 2009

Kajian Asatidz di Ma’had Al Anshor (Dauroh Masyayikh 2009)

Berikut adalah tausiyah bersama asatidz selama dauroh masyayikh di ma’had al anshor sleman yogyakarta pada tanggal 23 Juli 2009 – 1 Agustus 2009.

Untuk mendownload kajian :


· ZakatUst Muhammad Mundzir|5,15MB|Download

· Shorihus Sunnah_01Ust Abu Ishaq Abdullah|5,30MB|Download

· Shorihus Sunnah_02Ust Abu Ishaq Abdullah|5,30MB|Download

· Showarif ‘anil Haq_01Ust Agus Su’aidi|5,51MB|Download

· Showarif ‘anil Haq_02Ust Agus Su’aidi|4,72MB|Download

· Showarif ‘anil Haq_03Ust Agus Su’aidi|5,04MB|Download

· Shahih Bukhari_01Ust Abdurrahman Mubarak|5,15MB|Download

· Shahih Bukhari_02Ust Abdurrahman Mubarak|6,34MB|Download

· Khutbah Jum’atUst Syafruddin|4,83MB|Download

· Nasihat_01Ust Syafruddin|4,68MB|Download

· Nasihat_02Ust ‘Abdul Haq|2,32MB|Download


Untuk mendownload, dengan meng-klik kiri pada kata Download.

Sumber: atstsurayya

Rabu, 23 September 2009

Mendulang Pahala Pasca Ramadhan

Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husen Al-Atsariyyah

Ramadhan memang telah lewat. Namun itu tidak berarti menyurutkan semangat kita dalam beribadah. Masih banyak tambang pahala di luar Ramadhan…

Ramadhan berlalu sudah, menyisakan sepenggal duka di hati insan beriman karena harus berpisah dengan bulan yang penuh keberkahan dan kebaikan. Terbayang saat-saat yang sarat dengan ibadah; puasa, tarawih, tadarus Al-Qur`an, dzikir, istighfar, sedekah, memberi makan orang yang berbuka… Rumah-rumah Allah Subhanahu wa Ta'ala dipenuhi jamaah, majelis-majelis dzikir dan ilmu, dipadati hadirin. Mengingat semua itu, tersimpan satu asa: andai setiap bulan dalam setahun adalah Ramadhan. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan segala sesuatu dengan hikmah-Nya. Yang tersisa hanyalah satu tanya: Adakah umur akan sampai di tahun mendatang untuk bersua kembali dengan Ramadhan?
Ya. Ramadhan memang telah meninggalkan kita. Namun bukan berarti pupus harapan untuk meraih kebaikan demi kebaikan, karena bulan-bulan yang datang setelah Ramadhan pun memberi peluang kepada kita untuk mendulang pahala. Demikianlah seharusnya kehidupan seorang muslim. Ia habiskan umur demi umurnya, waktu demi waktunya di dunia, untuk mengumpulkan bekal agar beroleh kebahagiaan dan keberuntungan di negeri akhirat kelak.

Datangnya Syawwal setelah Ramadhan
Hari pertama bulan Syawwal ditandai dengan gema takbir, tahlil dan tahmid dari lisan-lisan kaum muslimin, menandakan tibanya hari Idul Fithri. Berpagi-pagi kaum muslimin menuju ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Idul Fithri sebagai tanda syukur kepada Rabb yang telah memberikan banyak kenikmatan, termasuk nikmat adanya hari Idul Fithri. Tidak ketinggalan kaum wanita muslimah, turut keluar ke tanah lapang. Dan keluarnya para wanita ini termasuk perkara yang disyariatkan dalam agama Islam sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hafshah bintu Sirin, seorang wanita yang alim dari kalangan tabi’in rahimahullah berkata:

كُنَّا نَمْنَعُ جَوَارِيَنَا أَنْ يَخْرُجْنَ يَوْمَ الْعِيْدِ، فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ فَنَزَلَتْ قَصْرَ بَنِي خَلَفٍ، فَأَتَيْتُهَا، فَحَدَثَّتْ أَنَّ زَوْجَ أُخْتِهَا غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً، فَكَانَتْ أُخْتُهَا مَعَهُ فِي سِتِّ غَزَوَاتٍ. فَقَالَتْ: فَكُنَّا نَقُوْمُ عَلَى الْمَرْضىَ وَنُدَاوِي الْكَلْمَى. فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، عَلَى إِحْدَانَا بَأْسٌ -إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا جِلْبَابٌ- أَنْ لاَ تَخْرُجَ؟ فَقَالَ: لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا، فَلْيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُؤْمِنِيْنَ. قَالَتْ حَفْصَةُ: فَلَمَّا قَدِمَتْ أُمُّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَتَيْتُهَا فَسَأَلْتُهَا: أَسَمِعْتِ فِي كَذَا وَكَذَا؟ قَالَتْ: نَعَمْ، بِأَبِي - وَقَلَّمَا ذَكَرَتِ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ قَالَتْ: بِأَبِي- قَالَ: لِيَخْرُجِ الْعَوَاتِقُ ذَوَاتُ الْخُدُوْرِ -أَوْ قَالَ: الْعَوَاتِقُ وَذَوَاتُ الْخُدُوْرِ. شَكَّ أَيُّوبُ- وَالْحُيَّضُ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى وَلْيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُؤْمِنِيْنَ. قَالَتْ: فَقُلْتُ لَهَا: آلْحُيَّضُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، أَلَيْسَ الْحَائِضُ تَشْهَدُ عَرَفَاتٍ وَتَشْهَدُ كَذَا وَتَشْهَدُ كَذَا؟

Kami dahulu melarang gadis-gadis kami1 untuk keluar (ke mushalla/tanah lapang) pada hari Id2. Datanglah seorang wanita, ia singgah/tinggal di bangunan Bani Khalaf. Maka aku mendatanginya. Ia kisahkan kepadaku bahwa suami dari saudara perempuannya3 (iparnya) pernah ikut berperang bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebanyak 12 kali dan saudara perempuannya itu menyertai suaminya dalam 6 peperangan. Saudara perempuannya itu mengatakan: “(Ketika ikut serta dalam peperangan), kami (para wanita) mengurusi orang-orang yang sakit dan mengobati orang-orang yang luka (dari kalangan mujahidin).” Saudara perempuannya itu juga mengatakan ketika mereka diperintah untuk ikut keluar ke mushalla ketika hari Id: “Wahai Rasulullah, apakah berdosa salah seorang dari kami bila ia tidak keluar ke mushalla (pada hari Id) karena tidak memiliki jilbab?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya kepadanya, agar mereka (para wanita) dapat menyaksikan kebaikan dan doanya kaum mukminin.”
Hafshah berkata: “Ketika Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu 'anha datang (ke daerah kami), aku mendatanginya untuk bertanya: ‘Apakah engkau pernah mendengar tentang ini dan itu?’ Ummu ‘Athiyyah berkata: “Iya, ayahku menjadi tebusannya”. –Dan setiap kali Ummu ‘Athiyyah menyebutkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata: “Ayahku menjadi tebusannya.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah gadis-gadis perawan yang dipingit…”. Atau beliau berkata: “Hendaklah gadis-gadis perawan dan wanita-wanita yang dipingit… –Ayyub, perawi hadits ini ragu– (ikut keluar ke mushalla Id). Demikian pula wanita-wanita yang sedang haid. Namun hendaklah mereka memisahkan diri dari tempat shalat, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan doa kaum mukminin.” Wanita itu berkata: Aku bertanya dengan heran: “Apakah wanita haid juga diperintahkan keluar?” Ummu ‘Athiyyah menjawab: “Iya. Bukankah wanita haid juga hadir di Arafah, turut menyaksikan ini dan itu4?” (HR. Al-Bukhari no. 324, 980 dan Muslim no. 2051)
Ditekankannya perkara keluarnya wanita ke mushalla Id ini tampak pada perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar wanita yang tidak punya jilbab tetap keluar menuju mushalla dengan dipinjami jilbab wanita yang lain. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak memberikan udzur ketiadaan jilbab tersebut untuk membolehkan si wanita tidak keluar ke mushalla.
Di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu, para shahabiyyah menjalankan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas sehingga mereka dijumpai ikut keluar ke mushalla Id. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menaruh perhatian atas kehadiran mereka dengan memberikan nasehat khusus kepada mereka di tempat mereka tatkala beliau pandang, khutbah Id yang beliau sampaikan tidak terdengar oleh mereka. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut ini: Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata:

أَشْهَدُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ. قَالَ: ثُمَّ خَطَبَ، فَرَأَى أَنَّهُ لَمْ يُسْمِعِ النِّسَاءَ، فَأَتَاهُنَّ فَذَكَّرَهُنَّ وَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ، وَبِلاَلٌ قَائِلٌ بِثَوْبِهِ فَجَعَلَتِ الْمَرْأَةُ تُلْقِي الْخَاتِمَ وَالْخُرْصَ وَالشَّيْءَ

“Aku bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat Id sebelum khutbah, kemudian beliau berkhutbah. Beliau memandang bahwa khutbah yang beliau sampaikan tidak terdengar oleh kaum wanita. Maka beliau pun mendatangi tempat para wanita, lalu memperingatkan mereka, menasehati dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Sementara Bilal membentangkan pakaiannya untuk mengumpulkan sedekah para wanita tersebut. Mulailah wanita yang hadir di tempat tersebut melemparkan cincinnya, anting-antingnya dan perhiasan lainnya (sebagai sedekah).” (HR. Al-Bukhari no. 1449 dan Muslim no. 2042)
Kepada para wanita yang hadir tersebut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasehatkan:

تَصَدَّقْنَ، فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ. فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ

“Bersedekahlah kalian, karena mayoritas kalian adalah kayu bakar Jahannam.” Salah seorang wanita yang hadir di tengah-tengah para wanita, yang kedua pipinya kehitam-hitaman, berdiri lalu berkata: “Kenapa kami mayoritas kayu bakar Jahannam, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Karena kalian itu banyak mengeluh dan mengingkari kebaikan suami.” (HR. Muslim no. 2045)

Puasa Sunnah di Bulan Syawwal
Selain kegembiraan di hari awal bulan Syawwal dengan datangnya Idul Fithri, ada keutamaan yang dijanjikan bagi setiap insan beriman di bulan yang datang setelah Ramadhan ini, yaitu disunnahkannya ibadah puasa selama enam hari. Sebenarnya, ulama berbeda pendapat tentang sunnah atau tidaknya puasa ini. Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad, Dawud, dan orang-orang yang sepakat dengan mereka berpendapat sunnah. Sedangkan Al-Imam Malik dan Abu Hanifah memakruhkannya. Al-Imam Malik berkata dalam Al-Muwaththa`: “Aku tidak melihat seorang pun dari ahlul ilmi yang mengerjakan puasa ini.” Mereka mengatakan: Puasa ini dimakruhkan agar tidak disangka puasa ini termasuk kewajiban (karena dekatnya dengan Ramadhan).
Namun pendapat yang rajih/kuat adalah pendapat yang mengatakan sunnahnya puasa enam hari di bulan Syawwal, karena adanya hadits shahih lagi sharih/jelas dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Shahabat yang mulia Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu 'anhu menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Siapa yang puasa Ramadhan, kemudian ia mengikutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka puasanya itu seperti puasa setahun.” (HR. Muslim no. 2750)
Tentunya keberadaan hadits yang shahih tidak boleh ditinggalkan karena mengikuti pendapat sebagian atau mayoritas orang, bahkan pendapat semua orang sekalipun. (Al-Minhaj, 8/297)
Udzur paling bagus yang diberikan kepada Al-Imam Malik rahimahullah dengan pendapat beliau yang memakruhkan puasa enam hari di bulan Syawwal adalah udzur yang dinyatakan oleh Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah : “Hadits ini tidak sampai kepada Al-Imam Malik. Seandainya sampai kepada beliau, niscaya beliau akan berpendapat sebagaimana hadits tersebut.” (Taudhihul Ahkam, 3/534)
Ulama kita menafsirkan hadits di atas dengan menyatakan kebaikan itu dilipat-gandakan pahalanya menjadi sepuluh kali. Sehingga Ramadhan yang dikerjakan selama sebulan dilipatgandakan senilai sepuluh bulan. Sementara puasa enam hari bila dilipat-gandakan sepuluh berarti memiliki nilai enam puluh hari yang berarti sama dengan dua bulan. Sehingga bila seseorang menyempurnakan puasa Ramadhan ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, jadilah nilai puasanya sama dengan puasa setahun penuh (12 bulan). Tercapailah pahala ibadah setahun dengan tidak memberikan kepayahan dan kesulitan, sebagai keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan nikmat-Nya atas hamba-hamba-Nya. (Al-Hawil Kabir, 3/475, Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3/413, Taudhihul Ahkam, 3/534)
Adapun pelaksanaan puasa enam hari di bulan Syawwal ini bisa dilakukan di awal atau di akhir bulan, secara berurutan atau dipisah-pisah, karena haditsnya menyebutkan secara mutlak tanpa pembatasan waktu. (Al-Mughni, kitab Ash-Shiyam, mas’alah Wa Man Shama Syahra Ramadhan, wa Atba’ahu bi Sittin min Syawwal)

Dzulhijjah Bulan Haji
Bulan Dzulhijjah yang datang setelah Syawwal dan Dzulqa’dah adalah bulan yang juga memiliki keutamaan untuk memperbanyak amal shalih di dalamnya. Terutama di sepuluh hari yang awal, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلىَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هذِهِ اْلأَياَّمِ الْعَشْرِ. فقَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ لاَ جِهَادٌ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ جِهَادٌ فِي سَبِيْلِ اللهِ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذلِكَ بِشَيْءٍ

“Tidak ada hari di mana amal shalih pada saat itu lebih dicintai Allah Subhanahu wa Ta'ala daripada hari-hari yang sepuluh ini.” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, tidak pula jihad fi sabilillah?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang keluar berjihad membawa jiwa dan hartanya, kemudian tidak ada sesuatupun yang kembali darinya (ia kehilangan jiwanya dan hartanya dalam peperangan).” (HR.At-Tirmidzi no. 757 dan selainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: mencakup shalat, puasa, sedekah, dzikir, takbir, membaca Al-Qur`an, birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua), silaturahim, berbuat baik kepada makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala dan selainnya.
Di bulan Dzulhijjah ini dilaksanakan satu ibadah akbar yang merupakan rukun kelima dari agama kita yang mulia, yakni ibadah haji ke Baitullah. Di sana, di tanah suci, di sisi Baitul ‘Atiq dan di tempat-tempat syiar haji lainnya, jutaan kaum muslimin dan muslimah berkumpul dari segala penjuru dunia dengan satu tujuan, mengagungkan syiar Allah Subhanahu wa Ta'ala, memenuhi panggilan-Nya:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala pujian, kenikmatan, dan kerajaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Ketika tamu-tamu Allah Subhanahu wa Ta'ala sedang wuquf di Arafah, kita yang tidak berhaji disunnahkan untuk puasa di hari tersebut (tanggal 9 Dzulhijjah). Puasa hari Arafah ini dinyatakan sebagai puasa sunnah yang paling utama (afdhal) menurut kesepakatan ulama. (Taudhihul Ahkam, 3/530)
Dalam pelaksanaan puasa di hari ini ada keutamaan besar yang dijanjikan sebagaimana berita dari Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu. Ia berkata:

سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ، قَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari Arafah? Beliau bersabda: “Puasa Arafah (keutamaannya) akan menghapus dosa5 di tahun yang telah lewat dan tahun yang tersisa (mendatang).” (HR. Muslim no. 2739)
Penghapusan dosa di tahun mendatang maksudnya adalah seseorang itu diberi taufik untuk tidak melakukan perbuatan dosa, atau bila ia jatuh dalam perbuatan dosa, ia diberi taufik untuk melakukan perkara-perkara yang dengannya akan menghapuskan dosanya. (Subulus Salam, 2/265)
Keesokan harinya, tanggal 10 Dzulhijjah, ada lagi kegembiraan yang bisa kita rasakan sebagai anugerah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan rahmat-Nya. Yaitu datangnya hari raya haji yang dikenal dengan Idul Adhha, yang di dalamnya ada ibadah penyembelihan hewan kurban. Gema takbir, tahlil dan tahmid yang telah dikumandangkan sejak fajar hari Arafah terus terdengar pada hari berbahagia ini sampai akhir hari Tasyriq.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ

“Allah Maha Besar Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar, dan segala puji hanya milik Allah.”
Demikianlah wahai saudariku. Bulan-bulan yang kita lewati dalam hidup kita sebenarnya senantiasa menjanjikan kebaikan dan pahala, asalkan kita memang berniat mendulangnya sebagai bekal untuk menuju pertemuan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala di akhirat kelak.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Jawari atau ‘awatiq adalah anak perempuan yang telah baligh atau mendekati baligh, atau wanita yang sudah pantas untuk menikah, atau wanita yang mulia di tengah keluarganya. (Fathul Bari, 1/548, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/418)
2 Mungkin mereka dulunya melarang gadis-gadis untuk keluar rumah karena adanya kerusakan yang terjadi setelah masa yang awal. Namun para shahabat tidak memandang demikian. Bahkan para shahabat memandang hukum yang ditetapkan di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus berlaku. (Fathul Bari, 1/549)
3 Ada yang mengatakan nama saudara perempuannya adalah Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu 'anha (Fathul Bari, 1/549)
4 Seperti hadir di Muzdalifah, Mina, dan selainnya.
5 Jumhur ulama berpendapat bahwa dosa yang dihapuskan hanyalah dosa kecil. Adapun dosa besar harus dengan taubat atau beroleh rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan keutamaan-Nya. (Al-Minhaj, 3/106)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Yang dimaukan dengan dosa yang dapat dihapuskan dengan ibadah puasa adalah dosa kecil. Kalau seseorang ternyata tidak memiliki dosa kecil, diharapkan dengan puasa itu akan diringankan dosa besarnya. Bila ia juga tidak memiliki dosa besar maka akan diangkat derajatnya.” (Al-Minhaj, 3/107, 8/292)
Al-Imam Al-Haramain rahimahullah mengatakan: “Setiap pengabaran yang menunjukkan penghapusan dosa maka menurutku hal itu dibawa kepada dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa (besar) yang membinasakan.” (Taudhihul Ahkam, 3/530)
Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah hadits ‘Utsman radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوْبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهَا وَخُشُوْعَهَا وَرُكُوْعَهَا إِلاَّ كَانَتْ لَهُ كَفَّارَةٌ لِمَا قَبْلَها مِنَ الذُّنُوْبِ، مَا لَمْ تُؤْتَ كَبِيْرَةً وَذلِكَ الدَّهْرُ كُلُّهُ

“Tidak ada seorang muslimpun yang mendatanginya shalat wajib, lalu ia membaguskan wudhunya, khusyunya dan rukunya, melainkan hal itu menjadi penghapus baginya dari dosa yang sebelumnya, selama ia tidak melakukan dosa besar. Yang demikian itu terus diperoleh di seluruh masa.” (HR. Muslim no. 542)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:

الصَّلاَةُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu dan Jum’at ke Jum’at merupakan kaffarah (penghapus ) dari dosa-dosa yang terjadi di antaranya, selama tidak dilakukan kaba`ir/dosa besar.” (HR. Muslim no. 549)


http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=392

Kemungkaran-kemungkaran yang terjadi di Hari Raya

Ketahuilah wahai saudaraku muslim -semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu- sesungguhnya kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang-kadang membuat manusia lupa atau sengaja melupakan perkara-perkara agama mereka dan hukum-hukum yang ada dalam Islam. Sehingga engkau melihat mereka banyak berbuat kemaksiatan dan kemungkaran-kemungkaran dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan mengingatkan mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya[Kemungkinan-kemungkinan yang disebutkan secara umum dilakukan pada waktu haru raya ataupun di luar hari raya, akan tetapi kemungkaran itu lebih besar dan bertambah dilakukan pada hari-hari raya].

Diantara kemungkaran itu adalah :

Pertama : Berhias dengan mencukur jenggot
Perkara ini banyak dilakukan manusia. Padahal mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih yang berisi perintah untuk memanjangkan jenggot agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang kita diperintah untuk menyelisihi mereka. Selain berkaitan dengan hal itu, memanjangkan jenggot termasuk fithrah (bagi laki-laki) yang tidak boleh kita rubah. Dalil-dalil tentang keharaman mencukur jenggot terdapat dalam kitab-kitab Imam Madzhab yang empat yang telah dikenal [Lihat Fathul Bari 10/351, Al-Ikhtiyar Al-Ilmiyah 6, Al-Muhalla 2/220, Ghidza'ul Albab 1/376 dan selainnya. Al-Akh Syaikh Muhammad bin Ismail telah meneliti dalam kitabnya "Adillah Tahrim Halqil Lihyah" hadits-hadits yang ada dalam masalah ini, kemudian ia kemenyebutkan penjelasan ulama tentangnya, dan juga nukilan-nukilan dari kitab-kitab madzhab yang jadi sandaran. Lihatlah kitab yang berharga itu. dan lihat juga "Majallah Al-Azhar" 7/328. Aku telah menulis risalah berjudul "Hukum Ad-Dien Fil Lihyah wat tadkhin" -Alhamdulillah- Kitab itu telah dicetak beberapa kali.] Hendaklah hal itu diketahui.

Kedua : Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya

Ini merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah. Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “ Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" [Hadits Shahih, Lihat takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku. Diriwayatkan ar Rauyaani dalam musnadnya 227/2 dari Ma’qil bin Yasaar dan sanadnya jayyid lihat Silsilah Ahadits ash Shohihah karya Al Albani no 226]

Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]

Ketiga : Tasyabbuh (meniru) orang-orang kafir dan orang-orang barat dalam berpakaian dan mendengarkan alat-lat musik serta perbuatan mungkar lainnya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda (yang artinya) : “ Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka" [Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 2/50 dan 92 dari Ibnu Umar dan isnadnya Hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Musykil Al Atsar 1/88 dari Hassan bin Athiyah, Abu Nu'aim dalam Akhbar Ashbahan 1/129 dari Anas, meskipun ada pembicaraan padanya, tetapi dengan jalan-jalan tadi, hadits ini derajatnya Shahih, insya Allah]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya) : “ Benar-benar akan ada pada umatku beberapa kaum yang mereka menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki ,-pent), khamr dan alat-alat musik. Dan benar-benar akan turun beberapa kaum menuju kaki gunung untuk melepaskan gembalaan mereka sambil beristirahat, kemudian mereka didatangi seorang fasik untuk suatu keperluan. Kemudian mereka berkata : 'Kembalilah kepada kami besok!' Lalu Allah membinasakan dan menimpakan gunung itu pada mereka dan sebagian mereka dirubah oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-babi hingga hari kiamat" [Hadits Riwayat Bukhari 5590 secara muallaq dan bersambung menurut Abu Daud 4039, Al-Baihaqi 10/221 dan selainnya. berkata Al-Hafidzh dalam Hadyu As-Sari 59 : Al-Hasan bin Sufyan menyambungnya dalam Musnadnya, dan Al-Isma'ili, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Abu Nua'im dari empat jalan, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan selain mereka. Aku katakan : Dalam hadits ini ada lafadh-lafadh yang asing, aku akan menjelaskannya dengan berurutan. Sabdanya, al Hira ialah al Faraj (kemaluan), maksudnya perzinaan. AL Ma’azif, Ibnu Atsir dalam an Nihayah 3/230 menjelaskan al Azf bermakna memainkan alat musik, yaitu rebana dan selainnya yang dipukul. Berkata adz Dzahabi (at Tadzkirah 4/1337) : Al Maazif ialah nama untuk semua yang dibunyikan seperti gendang dan lain-lain dari peralatan musik. Lihat Ta’liq yang sebelumnya. Sabdanya, ‘alamun ialah puncak gunung. Sabdanya Bisaarihatin, ialah hewan ternak yang keluar pada pagii hari ke pemiliknya. Fayubayituhum, yaitu dibinasakan. Yadah’ul Alam : menghancurkan mereka. Lihat Tahtim an Nard wasy Syathranji wal Malaahi, oleh al Ajurri (292-299), penting !!!]

Keempat : Masuk dan becengkerama dengan wanita-wanita yang bukan mahram.

Hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabda beliau (yang artinya) : “ Hati-hatilah kalian masuk untuk menemui para wanita". Maka berkata salah seorang pria Anshar : "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang Al-Hamwu" Beliau berkata : "Al-Hamwu adalah maut" [Hadits Riwayat Bukhari 5232, Muslim 2172 dari 'Uqbah bin Amir].

Al- Allamah Az-Zamakhsyari berkata dalam menerangkan "Al-Hamwu"

"Al-Hamwu bentuk jamaknya adalah Ahmaa' adalah kerabat dekat suami seperti ayah[Dia dikecualikan berdasarkan nash Al-Qur'anul Karim, lihat "Al-Mughni" 6/570], saudara laki-laki, pamannya dan selain mereka... Dan sabda beliau : "Al-Hamwu adalah maut" maknanya ia dikelilingi oleh kejelekan dan kerusakan yang telah mencapai puncaknya sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerupakannya dengan maut, karena hal itu merupakan sumber segala bencana dan kebinasaan. Yang demikian karena Al-Hamwu lebih berbahaya daripada orang lain yang tidak dikenal. Sebab kerabat dekat yang bukan mahram terkadang tidak ada kekhawatiran atasnya atau merasa aman terhadap mereka, lain halnya dengan orang yang bukan kerabat. Dan bisa jadi pernyataan "Al-Hamwu adalah mau" merupakan do'a kejelekan, yaitu seakan-akan kematian itu darinya, kedudukannya seperti ipar yang masuk menemuinya, jika ia meridhainya dengan itu" ["Al-Faiq fi Gharibil Hadits" 9 1/318, Lihat "An-Nihayah 1/448, Gharibul Hadits 3/351 dan Syarhus Sunnah 9/26,27]

Kelima : Wanita-wanita yang bertabarruj (berdandan memamerkan kecantikan) kemudian keluar ke pasar-pasar atau tempat lainnya.

Ini merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syari'at Allah. Allah Ta'ala berfirman :
(yang artinya) : “ Hendaklah mereka wanita-wanita) tinggal di rumah-rumah mereka dan jangan bertabarruj ala jahiliyah dulu dan hendaklah mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat" [Al-Ahzab : 33]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Dua golongan manusia termasuk penduduk neraka yang belum pernah aku melihatnya : ........ dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak-lenggok[Menyimpang dari taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan keharusan mereka untuk menjaga kemaluan, "An-Nihayah" 4/382], kepala-kepala mereka bagaikan punuk-punuk unta[Berkata Al-Qadli 'Iyadh dalam Masyariqul Anwar 1/79 : Al-Bukht adalah unta yang gemuk yang memiliki dua punuk. Maknanya -wallahu a'lam- wanita-wanita itu menggelung rambut mereka hingga kelihatan besar dan tidak menundukkan pandangan mata mereka.]. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau suurga dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian" [Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam "Shahihnya" 2128, 2856 dan 52, Ahmad 2/223 dan 236 dari Abu Hurairah]

Keenam : Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya, membagi-bagikan manisan dan makanan di pekuburan, duduk di atas kuburan, bercampur baur antara pria dan wanita, bergurau dan meratapi orang-orang yang telah meninggal, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.[Lihat perincian yang lain tentang bid'ah yang dilakukan di kuburan dalam kitab "Ahkamul Janaiz" 258-267 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah]

Ketujuh : Boros dalam membelanjakan harta yang tidak ada manfaatnya dan tidak ada kebaikan padanya.

Allah berfirman (yang artinya) : “ Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" [Al-An'am : 141]
(yang artinya) : “ Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat boros itu adalah saudaranya syaitan" [Al-Isra : 26-27]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Tidak akan berpindah kedua kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang ... dan hartanya dari mana ia perolah dan ke mana ia infakkan" [Hadits Riwayat Tirmidzi 2416, Al-Khatib dalam Tarikh-nya 12/440 dari Ibnu Mas'ud, padanya ada kelemahan. Akan tetapi ada pendukungnya dari Abi Barzah di sisi Ad-Darimi (1/131), Abu Nua’im dalam al Hulyah (10/232), Ibnu Ad Daibsyi dalam Dzail Tarikh Baghdad 2/163. Dan dari Mu'adz di sisi Al-Khatib 11/441. Maka hadits ini Hasan.]

Kedelapan : Kebanyakan manusia meninggalkan shalat berjama'ah di masjid tanpa alasan syar'i atau mengerjakan shalat Id tetapi tidk shalat lima waktu. Demi Allah, sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar.

Kesembilan : Berdatangannya sebagian besar orang-orang awam ke kuburan setelah fajar hari raya, mereka meninggalkan shalat Id, dirancukan dengan bid'ah mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya. [Al-Madkhal 1/286 oleh Ibnu Hajj, Al-Ibda hal.135 oleh Ali Mahfudh dan Sunnanul Iedain hal.39 oleh Al-Syauqani]

Sebagian mereka meletakkan pada kuburan itu pelepah kurma[Lihat Ahkamul Jazaiz hal. 253, Ma'alimus Sunan 1/27 dan ta'liq Syaikh Ahmad Syakir atas Sunan Tirmidzi 1/103] dan ranting-ranting pohon !!
Semua ini tidak ada asalnya dalam sunnah.

Kesepuluh : Tidak adanya kasih sayang terhadap fakir miskin.
Sehingga anak-anak orang kaya memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan dengan bebagai jenis makanan yang mereka pamerkan di hadapan orang-orang fakir dan anak-anak mereka tanpa perasaan kasihan atau keinginan untuk membantu dan merasa bertanggung jawab. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “ Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya" [Hadits Riwayat Bukhari 13 dan Muslim 45, An-Nasa'i 8/115 dan Al-Baghawi 3474 meriwayatkan dengan tambahan ; "dari kebaikan" dan isnadnya Shahih]

Kesebelas : Bid'ah-bid'ah yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang dianggap syaikh dengan pengakuan bertaqqarub kepada Allah Ta'ala, padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam agama Allah. Bid'ah itu banyak sekali dilakukan muslimin [Lihat beberapa di antaranya dalam kitab A'yadul Islam 58 pasal Bida'ul Iedain]. Aku hanya menyebutkan satu saja di antaranya, yaitu kebanyakan para khatib dan pemberi nasehat menyerukan untuk menghidupkan malam hari Id (dengan ibadah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya sebatas itu yang mereka perbuat, bahkan mereka menyandarkan hadits palsu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu hadits yang berbunyi.
(yang artinya) : “ Barangsiapa yang menghidupkan malam Idul Fithri dan Idul Adha maka hatinya tidak akan mati pada hari yang semua hati akan mati" [Hadits ini palsu (maudlu'), diterangkan oleh ustazd kami Al-Albani dalam "Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah" 520-521]

Maka tidak boleh menyandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ucapan tersebut. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

(Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha dan Hukum-Hukumnya

‘Id atau Hari Raya dalam Islam hanya ada 3, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, kemudian yang ketiga adalah Hari Jum’at.

Tidak ada hari raya lain dalam Islam selain ketiga hari tersebut. Maka jika ada hari lain yang diklaim sebagai hari raya, maka bukanlah Hari Raya yang diakui oleh syari’at

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa penentuan Hari Raya merupakan wewenang syari’at, tidak bisa ditetapkan kecuali oleh syari’at.

Dinamakan ‘Id yang bermakna kembali atau berulang, karena memang hari raya tersebut senantiasa kembali dan berulang setiap tahunnya.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mendapati penduduk Madinah bergembira pada dua hari yang mereka jadikan sebagai Hari Raya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

قد أبدلكم الله بهما بخير منهما يوم الأضحى ويوم الفطر

“Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari raya yang lebih baik dari dua hari raya kalian, yaitu Hari ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha.” HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i dengan sanad shahih. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2021.

Ini di antara yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin ada hari raya dalam Islam kecuali ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha.

Pada hari tersebut Allah berikan kepada kaum muslimin kenikmatan berupa syi’ar-syi’ar ibadah dan anugrah kebaikan dan kebahagiaan yang mereka tampakkan pada dua hari tersebut. Di antaranya nikmat kembali boleh makan, minum, dan jima’ setelah sebelumnya dilarang selama sebulan penuh, keluasaan merayakan hari tersebut dengan hal-hal yang mubah dan kesenangan yang diperbolehkan. Di antaranya juga kenikmatan merayakan hari tersebut dengan lantunan takbir, tahlil, dan tahmid, kemudian shalat, serta menyempurnakan pelaksanaan manasik haji di negeri yang suci, dan bertaqarrub kepada-Nya dengan menumpahkan darah hewan qurban.


● Hukum Shalat ‘Id
Di antara syi’ar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha adalah pelaksanaan shalat ‘id, yang dilakukan di tempat lapang dan terbuka, yang dihadiri oleh kaum muslimin. Para ‘ulama sepakat bahwa Shalat ‘Id masyru’. Namun para ‘ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah sunnah, fardhu kifayah, ataukah fardhu ‘ain.

1. Pendapat Pertama : Sunnah Mu`akkad.

Dalilnya adalah :

a. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang arab badui yang bertanya tentang hal-hal yang wajib dalam agama, maka jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خمس صلوات كتبهن الله على عباده

Shalat lima waktu yang telah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya.

Kemudian si arab badui tersebut bertanya lagi, “Apakah ada lagi kewajiban lain atasku?”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Tidak.

b. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz tatkala beliau memberikan pengarahkan kepada Mu’adz yang hendak beliau utus ke Yaman sebagai da’i. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Mu’adz kewajiban-kewajiban yang harus disampaikan kepada ahlul kitab Yaman, di antaranya :

فإن هم أطاعوك لذلك، فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في يوم وليلة

“Jika mereka telah mentaatimu dalam hal itu (yakni mau memenuhi ajakan kepada tauhid/syahadatain) maka berikutnya ajarkan kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari dan semalam.”

Sisi pendalilan : pada hadits di atas, dengan tegas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa yang wajib adalah shalat lima waktu saja. Berarti semua shalat selain shalat lima waktu maka hukumnya adalah sunnah atau tidak wajib.

Dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan shalat ‘id, maka tingkat sunnah di sini adalah sunnah mu`akkad.

Namun pendalilan di atas kurang tepat. Karena jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan kewajiban shalat yang bersifat harian. Karena tidak diragukan ada shalat-shalat lain yang hukumnya wajib di luar shalat lima waktu. Misalnya shalat Jum’at, Shalat Kusuf (Gerhana), dan Shalat Tahiyyatul Masjid.

2. Pendapat Kedua : Fardhu / Wajib.

Berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada semua kaum muslimin, baik pria maupun wanita, bahkan wanita yang padanya ada halangan sekalipun.

Dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha berkata :

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan mereka pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, yaitu para gadis, wanita-wanita yang sedang haidh, dan para wanita pingitan. Adapun para wanita haidh maka dia harus menjauhi shalat. Hendaknya mereka semua menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.

Maka aku (Ummu ‘Athiyyah) berkata : Wahai Rasulullah, ada di antara kami tidak memiliki jilbab?

Maka beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ) menjawab : Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbab kepadanya. Muttafaqun ‘alaihi

Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita untuk keluar, sampai wanita yang sedang haidh pun beliau perintah untuk turut serta juga, bahkan yang tidak punya jilbab beliau perintah untuk dipinjami agar ia bisa turut serta juga, kecuali karena untuk perintah yang bersifat fardhu ‘ain.

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :

“Perintah tersebut menunjukkan kewajiban. Jika keluar (menuju mushalla ‘id) adalah wajib, maka tentu shalat lebih wajib lagi, sebagaimana itu sudah sangat jelas.

Maka yang benar adalah wajibnya (shalat ‘id) bukan sekedar sunnah. Dan di antara dalil yang menunjukkan wajib adalah bahwa shalat ‘Id bisa menggugurkan shalat Jum’at apabila jatuh pada hari yang sama. … ” (Tamamul Minnah)

● Fardhu ‘Ain ataukah Fardhu Kifayah?

Sebagian ‘ulama berpendapat hukum fardhu di sini adalah fardhu kifayah.

Sebagian lagi berpendapat Fardhu ‘Ain. Pendapat ini lebih kuat, karena perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum wanita, seandainya fardhu kifayah, maka cukup kaum pria yang diperintah untuk mengerjakan. Tapi ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum wanita, bahkan yang tidak punya jilbab diperintahkan untuk dipinjami. Pendapat terakhir ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.


Perhatian :

1. Namun yang perlu menjadi catatan penting adalah, bahwa keluarnya kaum wanita untuk shalat ‘Id adalah harus tetap memperhatikan ketentuan syari’at, yaitu harus mengenakan hijab syar’i, tidak berhias, menghindari ikhtilath (campur baur antara kaum pria dan kaum wanita), dll.

2. Wanita haidh harus menjauhi tempat shalat.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah berkata :

“Shalat ‘Id hukumnya fardhu kifayah menurut kebanyakan ‘ulama, boleh untuk tidak mengerjakannya bagi sebagian orang. Namun hadir dan turut serta (shalat ‘Id) bersama saudara-saudaranya kaum muslimin merupakan sunnah yang ditekankan yang tidak sepantasnya ditinggalkan kecuali karena adanya ‘udzur (alasan) syar’i.

Sementara itu, sebagian ‘ulama lainnya berpendapat bahwa Shalat ‘Id hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana Shalat Jum’at. Tidak boleh bagi seorang mukallaf pun dari kalangan pria merdeka penduduk setempat untuk tidak mengerjakannya. Pendapat ini lebih kuat dalilnya dan lebih dekat kepada kebenaran. Dan disunnahkan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat ‘id juga, namun dengan tetap memperhatikan hijab, menutup aurat, dan tidak mengenakan wewangian. Hal berdasarkan hadits yang sah dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Kami diperintah (oleh Nabi) mengajak keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, para gadis, wanita-wanita yang sedang haidh, dan para wanita pingitan. Agar mereka juga bisa turut menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Adapun para wanita haidh maka dia harus menjauhi tempat shalat.

Pada sebagian riwayat :

Salah seorang wanita berkata : Wahai Rasulullah, ada di antara kami tidak memiliki jilbab?

Maka beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ) menjawab : Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbab kepadanya. Muttafaqun ‘alaihi

Tidak diragukan, bahwa hadits ini menunjukkan ditekankannya bagi kaum wanita untuk turut hadir dalam shalat ‘Id agar mereka juga bisa menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.” (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XIII/7-8).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

“Shalat ‘Id merupakan sunnah yang wajib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, bahkan beliau juga memerintahkan kaum wanita untuk hadir pula dalam shalat ‘Id. Namun tidak boleh bagi wanita untuk mendatangi tempat shalat ‘id dalam keadaan berdandan, atau memakai wewangian, atau berhias, atau terbuka wajahnya. Karena itu semua haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Wanita manapun yang memakai bukhur (salah satu jenis wewangian) maka jangan hadir shalat ‘Isya’ bersama kami (di masjid).”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita yang memaki bukhur, maka bagaimana dengan wanita yang memakai wewangian paling wangi, lalu datang ke masjid? Maka dia berdosa, sejak ia keluar rumah sampai ia kembali lagi ke rumah.

Maka wajib atas kaum wanita untuk keluar (untuk shalat ‘Id) dengan penampilan yang diizinkan oleh syari’at. Yaitu keluar tidak dengan berhias, tidak memakai wewangian, tidak pula bersolek. Berjalan dengan sopan, tidak berbicara dengan pria. Karena itu termasuk fitnah.

Kaum wanita hadir shalat ‘id hanyalah dalam rangka barakah dari berkumpulnya kaum muslimin dalam menjalankan ketaatan dan peribadatan kepada Allah, dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVI/165)

● Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Id

Shalat ‘Id dilaksanakan di Mushalla, yaitu tempat terbuka dan lapang di pinggir kota, desa, atau perkampungan.

Berdasarkan hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu :

كان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha menuju mushalla. Muttafaqun ‘alaihi

Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ‘ulama, bahwa shalat ‘Id dikerjakan di mushalla, kecuali jika ada ‘udzur seperti hujan atau lainnya, maka ketika itu dikerjakan di masjid.

Adapun ‘ulama syafi’iyyah berpendapat bahwa Shalat ‘Id lebih utama dikerjakan di masjid jika masjidnya memang luas. Karena masjid merupakan tempat yang paling mulia dan paling bersih dari pada tempat-tempat lainnya. Namun jika masjidnya sempit maka ketika itu baru dikerjakan di mushalla.

Namun pendapat Jumhur ‘ulama lebih tepat. Karena itulah yang sesuai dengan sunnah dan cara pelaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menjelaskan permasalahan ini secara panjang lebar, diiring dengan argumentasi-argumentasi ilmiah nan kokoh dalam risalah beliau berjudul Shalatul ‘Idain fil Mushalla hiyas Sunnah (Shalat Dua Hari Raya di Mushalla itulah Sunnah).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya :

Apa hukum shalat ‘Id di masjid?

Maka beliau rahimahullah menjawab :

“Tuntunan Sunnah dalam pelaksanaan Shalat ‘id adalah dilaksanakan di tempat terbuka dan lapang. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu keluar untuk Shalat ‘Id ke tempat terbuka dan lapang, padahal beliau sendiri yang telah memberitakan tentang nilai shalat di Masjid Nabawi “lebih baik daripada seribu kali shalat di tempat lain.” Meskipun demikian beliau meninggalkan shalat ‘Id di Masjid Nabawi, dan beliau memilih keluar menuju mushalla, mengerjakan shalat ‘Id di situ.

Atas dasar ini, maka sunnah adalah kaum muslimin keluar menuju tanah terbuka dan lapang dalam melaksanakan shalat ‘Id, yang merupakan salah satu syi’ar dari syi’ar-syi’ar Islam.

Namun berbeda dengan di dua tanah haram (Makkah dan Madinah) sejak dulu. Shalat ‘Id dilaksanakan di Masjidil Haram (Makkah), dan juga di Masjid Nabawi. Demikianlah praktek kaum muslimin sejak masa lalu.”

* * *

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah juga ditanya :

Apakah Shalat ‘Id di tanah lapang terbuka afdhal (lebih utama) walaupun di Makkah dan Madinah? Ataukah Al-Haram (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) lebih utama?

Beliau rahimahullah menjawab :

“Shalat ‘Id di mushallah lebih utama. Namun di Makkah sudah berlangsung praktek sejak dahulu bahwa kaum muslimin shalat ‘Id di Masjdil Haram. Demikian juga di Madinah kaum muslimin sejak dahulu shalat ‘Id di Masjid Nabawi.

Untuk Madinah, tidak diragukan shalat ‘Id di mushalla lebih utama, sebagaimana praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khalafa`ur Rasyidini radhiyallahu ‘anhum. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan Shalat ‘Id di mushalla.

(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVI/142)

* * *

Hukum-Hukum dan Adab-adab

terkait Hari Raya

1. Mengenakan Pakaian yang Bagus

Dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :

كان يلبس يوم العيد بردة حمراء

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Id mengenakan burdah merah. HR. Ath-Thabarani. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 1279.

Perhatian :

a. Mengenakan Pakaian Bagus ini berlaku hanya bagi pria. Adapun kaum wanita tidak diperkenankan mengenakan pakaian yang indah ketika berangkat ke mushalla. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kaum wanita yang keluar ke masjid, “namun hendaknya mereka keluar dengan tidak mengenakan wewangian.” HR. Abu Dawud, yakni dengan mengenakan pakaian biasa, bukan pakaian berdandan atau bersolek. Haram bagi kaum wanita keluar dalam keadaan memakai wewangian dan berdandan.

b. Pakaian bagus di sini bukan berarti baju yang baru, apalagi baju mewah yang mahal.

2. Mandi

Sebagian ‘ulama berpendapat disunnahkan mandi terlebih dahulu sebelum berangkat shalat ‘Id. Hal ini diriwayatkan dari sebagian Salaf.

3. Makan terlebih dahulu Sebelum Berangkat menuju Shalat ‘Idul Fithri

Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata :

كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - لَا يَغْدُو يَوْمَ اَلْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ

Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berangkat pada Hari ‘Idul Fithri (menuju shalat ‘id) sebelum beliau memakan beberapa kurma terlebih dahulu. HR. Al-Bukhari

Dalam riwayata lain dengan tambahan keterangan : Memakan kurma dalam jumlah ganjil. HR. Ibnu Khuzaimah, Al-Bukhari secara mu’allaq.

4. Adapun Pada ‘Idul Adh-ha Mengakhirkan Makan, dan Baru Makan setelah Kembali.

كَانَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - لَا يَخْرُجُ يَوْمَ اَلْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ, وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ اَلْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّي

Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari ‘Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan pada ‘Idul Adh-ha beliau tidak makan sampai beliau mengerjakan shalat. HR. At-Tirmidz.

Dalam riwayat lain dengan lafazh :

… وكان لا يأكل يوم النحر حتى يرجع .

… dan pada ‘Idul Adh-ha beliau tidak makan sampai beliau kembali (dari shalat ‘Id)HR. Ibnu Majah

Kedua hadits di atas dari shahabat Buraidah radhiyallahu ‘anhu , dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

5. Menuju ke Mushalla Shalat ‘Id dengan melewati Jalan yang Berbeda antara berangkat dan pulangnya

Dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma :

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا كان يوم عيد خالف الطريق

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila Hari Raya, beliau menempuh jalan yang berbeda. Muttafaqun ‘alaihi

Dari shahabat Abu Hurairah :

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا خرج إلى العيدين رجع في غير الطريق الذي خرج فيه

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila keluar menuju shalat ‘Id, beliau pulang melewati jalan yang berbeda dengan jalan berangkat. HR. Ahmad, At-Tirmidz, Ibnu Majah.

6. Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Id

Waktu Shalat ‘Id adalah seperti waktu Shalat Dhuha, yaitu sejak Matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya Matahari. Dalilnya :

Pertama : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa`ur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum tidaklah mengerjakan shalat ‘id kecuali setelah Matahari setinggi tombak.

Kedua : Bahwa sebelum itu (yakni mulai selesai shubuh, sampai matahari terbit namun masih belum setinggi tombak) adalah waktu terlarang untuk shalat.

(lihat Asy-Syarhul Mumti’, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin)

Al-Imam Abu Dawud rahimahullah dalam kitab Sunan-nya meletakkan bab berjudul : “Waktu Berangkat untuk Shalat ‘Id“. Kemudian beliau menyebutkan atsar dari salah seorang Shahabat Nabi bernama ‘Abdul bin Bisr radhiyallahu ‘anhu :

خرج عبد الله بن بسر صاحب النبي صلى الله عليه وسلم مع الناس في يوم عيد فطر أو أضحى فأنكر إبطاء الإمام وقال : إنا كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم قد فرغنا ساعتنا هذه وذلك حين التسبيح

‘Abdullah bin Bisr salah seorang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama kaum muslimin pada hari ‘Idul Fithri atau ‘Idul Adh-ha. Maka beliau mengingkari keterlambatan imam. Beliau berkata : “Dulu ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada waktu seperti ini sudah selesai shalat.” Saat ini adalah sudah masuk waktu shalat Dhuha. HR. Abu Dawud. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Irwa`ul Ghalil III/101.

Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah berkata ketika menjelaskan riwayat di atas :

Abu Dawud menyebutkan bab : “Waktu Berangkat Untuk Shalat ‘Id”, yakni berangkat pada awal siang. Khathib tiba apabila Matahari sudah tinggi. Waktu boleh untuk shalat datang setelah waktu terlarang untuk shalat, yaitu ketika Matahari sudah setinggi tombak. Terdapat satu hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu menyegerakan pelaksanaan Shalat ‘Idul Adh-ha, dan mengakhirkan pelaksanaan Shalat ‘Idul Fithri.

Shalat ‘Idul Fithri jika engkau akhirkan sedikit dari masuknya waktu, maka akan memberikan kesempatan lebih luas untuk pembagian Zakat Fitri. Adapun Shalat ‘Idul Adh-ha jika disegerakan, maka memberikan kesempatan lebih luas untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban.

Yang jelas, waktu Shalat ‘Id dimulai sejak Matahari setinggi tombak, sebagaimana hadits shahabat ‘Abdullah bin Bisr …. .” (Syarh Sunan Abi Dawud - Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

“Waktu Shalat ‘Id dimulai semenjak Matahari setinggi tombak dan berakhir ketika zawal (Matahari mulai tergelincir). Namun disunnahkan untuk menyegerakan pelaksanaan Shalat ‘Idul Adh-ha, dan mengakhirkan pelaksanaan Shalat ‘Idul Fithri. Berdasarkan keterangan yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau dulu melaksanakan shalat ‘Idul Adh-ha ketika Matahari setinggi tombak, dan melaksanakan Shalat ‘Idul Fithri ketika Matahari setinggi dua tombak. Karena umat ketika ‘Idul Fithri butuh waktu yang longgar untuk memberikan kesempatan membagikan Zakat Fitri. Adapun pada ‘Idul Adh-ha yang dituntunkan untuk bersegera menyembelih hewan qurban, dan ini tidak bisa terwujud kecuali jika shalat disegerakan pada awal waktu.”

(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVI/141)

7. Apakah ada Adzan dan Iqamah?

Dari ‘Atha rahimahullah dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhum, berkata : “Tidak pernah ada adzan pada hari ‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adh-ha.”

Kemudian aku (‘Atha`) bertanya kepadanya setelah beberapa waktu, maka Ibnu ‘Abbas berkata, Jabir bin ‘Abdillah memberitakan bahwa tidak ada adzan untuk shalat ‘Idul Fithri ketika keluarnya imam atau pun setelahnya, tidak ada pula iqamah, tidak ada seruan, dan tidak ada sesuatupun. Tidak ada adzan pada hari itu, dan tidak ada pula iqamah.” Muttafaqun ‘alaihi.

Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Saya shalat dua hari raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari sekali atau dua kali, semuanya tanpa adzan dan tanpa iqamah.” HR. Muslim

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (Fatwa no. 1002)

Pertanyaan :

bagaimana dengan penggunaan mikrophon sebelum shalat ‘idul Fithri dan Shalat ‘idul Adh-ha, untuk mengajak kaum muslimin menghadiri shalat ‘id dan memahamkan mereka bahwa shalat ‘id adalah shalat yang wajib?

Jawab :

Termasuk bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak melakukan seruan apapun untuk shalat ‘idul fithri maupun shalat ‘idul ‘Adh-ha, baik untuk mengajak kaum muslimin menghadiri shalat ‘id maupun memahamkan mereka tentang hukum shalat ‘id. Tidak boleh melakukan itu, baik dengan mikrophon atau pun yang lainnya. Karena waktu pelaksanaan shalat ‘id sudah diketahui, walhamdulillah. Allah Ta’ala telah berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ

Sungguh telah ada untuk kalian suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah, yaitu bagi barangsiapa yang mengharap ridha Allah dan Hari Akhir. (Al-Ahzab : 21)

Dan semestinya bagi Waliyyul Amr, baik pemerintah maupun ‘ulama, untuk menjelaskan hukum shalat ‘id ini sebelum tiba Hari ‘Id, serta menjelaskan kepada mereka tata caranya, apa yang semestinya dilakukan padanya, baik sebelum maupun setelahnya, sehingga kaum muslimin bersemangat datang ke mushalla ketika pelaksanaan shalat ‘id dan menunaikannya sesuai dengan ketentuan syari’at.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`

Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan

Anggota : ‘Abdullah bin Mani’

8. Tata Cara Shalat ‘Id

Shalat ‘Id dua rakaat. Setelah Takbiratul Ihram sebelum membaca Al-Fatihah, takbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama, dan takbir sebanyak 5 kali pada rakaat kedua.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

التكبير في الفطر سبع في الأولى، وخمس في الآخرة، والقراءة بعدهما كلتيهما

Takbir pada Shalat ‘Idul Fithri tujuh kali pada rakaat pertama, lima kali pada rakaat kedua. Dan qiraah dilakukan setelahnya pada dua rakaat tersebut.” HR. Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi. Lihat Al-Irwa` III/108.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, pada rakaat pertama sebanyak 7 kali takbir, dan para rakaat kedua 5 kali takbir.”

Takbir ini hukumnya sunnah. Jika ditinggalkan, baik sengaja maupun lupa, tidak membatalkan shalat. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Saya tidak mengetahui ada perselihan dalam masalah ini.“

Asy-Syaukani rahimahullah merajihkan bahwa jika lupa tidak perlu sujud sahwi.

Apa yang dibaca antara takbir-takbir tersebut?

Dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ta’anhu tentang shalat ‘Id : “Antara tiap dua takbir (membaca) pujian untuk Allah ‘Azza wa Jalla dan sanjungan terhadap Allah.”

Apakah Mengangkat Tangan ketika Takbir?

Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Tidak mengangkat tangan pada tiap-tiap takbir, kecuali pada takbir yang mengangkat tangan pada shalat-shalat lainnya.” (Al-Muhalla - masalah 543)

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata :

“Yang benar dikatakan padanya, tidak disunnahkan mengangkat tangan, karena tidak ada riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Adapun diriwayatkan (mengangkat tangan) dari shahabat ‘Umar dan anaknya (‘Abdullah bin ‘Umar), tidak menjadikan hukumnya sunnah.” (Tamamul Minnah)

Namun keterangan di atas berbeda dengan keterangan Al-Lajnah Ad-Da`imah.

Pada fatwa no. 10.557 Al-Lajnah Ad-Da`imah menegaskan bahwa “Mengangkat kedua tangan pada tiap takbir.” (Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, dan ‘Abdullah bin Ghudayyan)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

“Yang benar, mengangkat kedua tangan pada tiap-tiap takbir, demikian juga pada takbir shalat jenazah. Karena ini diriwayatkan dari shahabat radhiyallahu ‘anhum, dan tidak ada dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat yang menyelisihinya. Amalan seperti ini tidak ada kesempatan bagi ijtihad, karena itu gerakan dalam ibadah, tidaklah seorang shahabat berpegang pada satu pendapat, kecuali ada asalnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah shahih riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “bahwa beliau dulu mengangkat kedua tangannya pada tiap-tiap takbir shalat jenazah.” Bahwa diriwayatkan secara marfu’, di antara ‘ulama ada yang menshahihkan riwayat yang marfu’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ada pula riwayat dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu : “bahwa beliau dulu mengangkat kedua tangannya pada tiap-tiap takbir shalat jenazah dan shalat ‘Id.”

Demikian juga terdapat riwayat dari Zaid. Keduanya diriwayatkan oleh Al-Atsram.”

(Asy-Syarhul Mumti’)

Surat yang dibaca dalam Shalat ‘Id

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata : “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada shalat ‘id dan shalat Jum’at membaca surat “Sabbihisma Rabbikal a’la” (yakni surat Al-A’la) dan surat “Hal Atakah Haditsul Ghasyiyah” (yakni surat Al-Ghasyiyyah). Apabila Hari ‘Id dan hari Jum’at bertemu pada satu hari yang sama, maka beliau pun membaca dua surat tersebut pada kedua shalat (yakni shalat ‘Id dan Shalat Jum’at). HR. Muslim

Dari Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu : ‘Umar bin Al-Khaththab bertanya kepadaku tentang surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Id? Maka aku jawab : “Beliau membaca surat “Iqtarabatis Sa’ah” (yakni surat Al-Qamar) dan surat “Qaf. Wal Qur`anil Majid” (yakni surat Qaf).” HR. Muslim

9. Tidak Ada Shalat Apapun Sebelum dan Sesudahnya

Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج يوم الفطر، فصلى ركعتين، لم يصل قبلها ولا بعدها، ومعه بلال

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada hari ‘Idul Fithri, maka beliau mengerjakan Shalat (‘Id) dua rakaat, beliau tidak shalat apapun sebelum atau pun sesudahnya, dan bersama beliau shahabat Bilal. Muttafaqun ‘alaihi

10. Khuthbah ‘Id setelah Shalat

Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata :

شهدت العيد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان رضي الله عنهم فكلهم كانوا يصلون قبل الخطبة

Aku menghadiri pelaksanaan shalat ‘id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bersama Khalifah Abu Bakr, Khalifah ‘Umar, dan Khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhum, mereka semua mengerjakan shalat terlebih dahulu sebelum khuthbah. Muttafaqun ‘alaihi

Dari ‘Abdullah bin Sa`ib radhiyallahu ‘anhu :

شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيد، فلما قضى الصلاة قال : إنا نخطب؛ فمن أحب أن يجلس للخطبة فليجلس، ومن أحب أن يذهب فليذهب

Aku menghadiri pelaksanaan shalat ‘Id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika selesai mengerjakan shalat, beliau bersabda : “Kami akan berkhutbah, barangsiapa ingin duduk (mendengar khuthbah), maka silakan duduk, namun barangsiapa yang ingin pergi, boleh untuk pergi. HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah.

11. Apakah Khuthbah ‘Id dibuka dengan Takbir?

Hukum asalnya adalah seorang khathib memulai khuthbah dengan Khutbatul Hajah. Tidak ada riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membuka Khuthbah ‘Id dengan takbir.

12. Qadha Shalat ‘Id

Dari Abu ‘Umair bin Anas bin Malik berkata, salah seorang pamanku dari Anshar dari kalangan shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan kepadaku, mereka berkata, “bahwa hilal Syawwal terhalangi dari kami. Maka keesokan harinya kami pun masih berpuasa. Pada akhir siang datanglah rombangan para pengendara, maka mereka bersaksi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka telah melihat hilal kemarin sore. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka (para shahabat) untuk membatalkan puasanya, dan melaksanakan shalat ‘Id esok harinya.

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

- Hadits ini menunjukkan bahwa shalat ‘Id jika tidak diketahui telah masuk ‘Idul Fithri kecuali setelah berakhir (keluar) waktu pelaksanaan shalat ‘Id, maka pelaksanaannya ditunda esok harinya. Namun jika diketahui ketika masih dalam rentang waktu shalat ‘Id, maka dikerjakan hari itu juga.

- Shalat yang dikerjakan esok harinya, apakah shalat ada` (tunai) atau qadha? Jawabnnya adalah shalat ada` (tunai), karena berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Segala yang diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pelaksanaannya adalah ada’ (tunai).

(lihat Syarh Bulughul Maram , Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin).

13. Jika Terlewatkan dari Shalat ‘Id

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meletakkan bab dalam Shahih-nya : “Jika Terlewatkan dari Shalat ‘Id maka Hendaknya Mengerjakan Shalat Dua Raka’at.”

Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa cara mengerjakan Shalat Dua Raka’at tersebut adalah persis dengan dengan cara pelaksanaan Shalat ‘Id itu sendiri, namun tanpa khuthbah.

Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat jika terlewatkan shalat ‘id maka tidak perlu diqadha’. Karena dua alasan :

- karena tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

- karena Shalat ‘Id adalah shalat yang dikerjakan secara bersama-sama pada waktu tertentu, tidaklah disyari’at pelaksanaannya kecuali dengan cara tersebut.

14. Takbir Pada ‘Idul Fithri

Disyari’atkan bertakbir pada ‘Idul Fithri, dimulai sejak keluar berangkat menuju shalat ‘id hingga dimulainya khutbah ‘id. Ini berdasarkan riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejumlah shahabatnya.

Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa takbir dimulai semenjak tenggelamnya Matahari malam ‘Idul Fithri.

Adapun lafazh takbir :

الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد.

Atau boleh juga :

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد.

15. Mengucapkan Selamat pada Hari Raya

Dari Jubair bin Nufair berkata, “Dulu para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika bertemu pada hari ‘Id, yang satu mengucapkan pada lain :

تقبل الله منا ومنكم

Semoga Allah menerima (amalan) dari kami dan dari anda

(diriwayatkan oleh Al-Muhamili)

Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata :

“Tidak mengapa seorang muslim mengatakan kepada saudaranya sesama muslim (pada Hari Raya) : “Taqabbalallahu minna wa minka a’malana ash-shalihah”, dan saya tidak mengetahui ada nash khusus. Seorang muslim mendoakan saudaranya dengan doa yang baik, berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XIII/25)
http://www.assalafy.org/mahad/?p=363

PUASA 6 HARI PADA BULAN SYAWWAL

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

« من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر »

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan (puasa) enam pada bulan Syawwal, maka jadilah seperti puasa setahun.”

(HR. Muslim 782, dari shahabat Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu)

Dengan berlalunya Ramadhan, tidak berarti berlalu pula amal ibadah. Justru, di antara tanda seorang berhasil meraih kesuksesan selama bulan Ramadhan adalah tampaknya pengaruh yang terus ia bawa pasca Ramadhan.

Di antara syari’at yang Allah tuntunkan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam pasca bulan Ramadhan adalah puasa selama 6 hari pada bulan Syawwal. Puasa ini sebagai kesempurnaan ibadah puasa Ramadhan. Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan sebulan penuh, kemudian dilanjutkan berpuasa 6 hari dalam bulan Syawwal, maka dia mendapat pahala puasa selama setahun.

Mari kita ikuti berbagai rincian dan pernik hukum terkait puasa 6 hari bulan Syawwal ini bersama dua ‘ulama international terkemuka abad ini, Al-‘Allamah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah dan Asy-Syaikh Al-Faqih Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam jawaban dan fatwa yang beliau berdua sampaikan menjawab pertanyaan yang diajukan kepada beliau berdua :

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah :

Bulan Syawwal semuanya merupakan waktu yang diizinkan untuk berpuasa 6 hari padanya [1]:

Pertanyaan : Bolehkah bagi seseorang memilih hari-hari tertentu pada bulan Syawwal untuk ia melaksanakan puasa 6 hari. Ataukah puasa tersebut memiliki watu-waktu khusus?dan apakah jika menjalankan puasa tersebut menjadi wajib atasnya?

Jawab : Telah pasti riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka menjadi seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari kitab Ash-Shahih.

6 hari tersebut ditentukan selama satu bulan (Syawwal). Boleh bagi seorang mukmin untuk memilih dari bagian bulan Syawwal tersebut. Jika mau ia boleh berpuasa pada awal bulan, atau pertengahan bulan, atau pada akhirnya. Kalau mau ia boleh berpuasa secara terpisah-pisah, kalau mau boleh ia berpuasa berturut-turut. Jadi sifatnya longgar/bebas, bihamdillah. Kalau ia bersegera melaksanakannya secara berturut-turut pada awal bulan (Syawwal), maka yang demikian afdhal (lebih utama). Sebab yang demikian termasuk bersegera kepada kebaikan. Dan dengan itu bukan menjadi kewajiban atasnya. Boleh baginya tidak mengerjakannya pada tahun kapanpun. Namun senantiasa melaksanakan puasa Syawwal (setiap tahunnya) adalah afdhal (lebih utama) dan akmal (lebih sempurna). Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Amal yang paling Allah cintai adalah amalan yang pelakunya kontinyu/terus-menerus dalam melaksanakannya meskipun sedikit.” Wallahul Muwaffiq

(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/390-391)

Tidak Dipersyaratkan Berturut-turut dalam Melaksakan Puasa 6 Hari Syawwal

Pertanyaan : Apakah dalam melaksanakan puasa 6 hari pada bulan Syawwal harus dikerjakan secara berturut-turut? Ataukah boleh berpuasa secara terpisah-pisah selama bulan Syawwal?

Jawab : Puasa 6 hari Syawwal merupakan sunnah yang pasti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh mengerjakannya secara berturut-turut, dan boleh juga terpisah-pisah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan puasa 6 hari secara mutlak, tidak menentukan secara beturut-turut ataupun secara terpisah, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.

Wallahul Muwaffiq (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/391)

Yang Disyari’atkan adalah Mendahulukan Qadha’ (hutang Puasa Ramadhan) sebelum puasa 6 hari Syawwal

Pertanyaan : Apakah boleh berpuasa 6 hari Syawwal sebelum melaksanakan kewajiban mengqadha’ (membayar hutang) puasa Ramadhan?

Jawab : Para ‘ulama berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Pendapat yang benar adalah bahwa yang disyari’at mendahulukan qadha’ sebelum puasa 6 hari Syawwal dan puasa-puasa sunnah lainnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.

Barangsiapa yang mendahulukan puasa 6 hari Syawwal sebelum mengqadha` maka dia belum memenuhi syarat mengikutkan puasa 6 hari Syawwal dengan puasa Ramadhan, tapi baru mengikutkannya dengan sebagian puasa Ramadhan.

Dan juga karena puasa qadha` adalah fardhu, sedangkan puasa 6 hari Syawwal adalah tathawwu’ (sunnah/tidak wajib). Yang fardhu lebih berhak untuk dipentingkan dan diperhatikan. Wabillahit Taufiq.

(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/392)

Hukum Mengqadha` Puasa 6 hari Syawwal setelah bulan Syawwal berlalu

Pertanyaan : Seorang wanita biasa berpuasa 6 hari Syawwal setiap tahun. Pada suatu tahun dia mengalami nifas karena melahirkan pada awal bulan Ramadhan, dan tidaklah ia suci/selesai dari nifasnya kecuali setelah keluar dari bulan Ramadhan. Kemudian setelah ia suci tersebut, ia melaksanakan Qadha’ puasa Ramadhan. Apakah harus baginya untuk mengqadha’ puasa 6 hari syawwal sebagaimana ia mengqadha’ Ramadhan, meskipun itu sudah di luar bulan Syawwal? Ataukah tidak ada wajib atasnya kecuali qadha` Ramadhan? Dan apakah puasa 6 hari Syawwal tersebut harus dilakukan terus menerus (setiap tahun) ataukah tidak?

Jawab : Puasa 6 hari Syawwal adalah sunnah, bukan fardhu. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.

Hadits tersebut menunjukkan bahwa tidak mengapa melakukan puasa 6 hari tersebut secara berturut-turut atau boleh juga secara terpisah-pisah, karena kemutlakan redaksinya.

Dan menyegerakan pelaksanaannya afdhal (lebih utama), berdasarkan firman Allah :

dan aku bersegera kepada-Mu. Wahai Rabb-ku, agar Engkau ridha (kepadaku)”. (Tha-ha : 84)

juga berdasarkan ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits nabawiyyah yang menunjukkan keutamaan berlomba dan bersegera kepada kebaikan.

Dan tidak wajib terus-menerus dalam melaksanakan puasa 6 hari tersebut, namun jika dilaksanakan terus menerus itu lebih utama. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Amal yang paling Allah cintai adalah amalan yang dilakukan secara terus menerus oleh pelakunya meskipun sedikit.” Muttafaqun ‘alaihi.

Tidak disyari’atkan mengqadha` puasa 6 hari tersebut jika telah berlalu/lewat bulan Syawwal, karena itu adalah ibadah sunnah yang telah berlalu waktunya. Baik ia meninggalkannya karena udzur atau pun tidak karena udzur (sama-sama tidak ada qadha`).

Wallahu waliyyut Taufiq

(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi`ah XV/388-389

* * *

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan : Apakah ada keutamaan shaum 6 hari Syawwal? Apakah melaksanakannya secara terpisah atau harus berturut-turut?

Jawab : Ya, ada keutamaan puasa 6 hari Syawwal. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.

Yakni seperti puasa setahun penuh.

Namun yang perlu diperhatikan bahwa keutamaan tersebut tidak akan terwujud kecuali apabila seseorang telah selesai dari melaksanakan puasa Ramadhan seluruhnya. Oleh karena itu, apabila seseorang berkewajiban mengqadha` Ramadhan, maka dia harus melaksanakan puasa qadha’ tersebut lebih dahulu, baru kemudian dia berpuasa 6 hari Syawwal. Kalau dia berpuasa 6 hari Syawwal namun belum mengqadha’ hutang Ramadhan, maka dia tidak memperoleh keutamaan tersebut, baik kita berpendapat dengan pendapat yang menyatakan sahnya puasa sunnah sebelum melakukan qadha` atau kita tidak perpendapat demikian. [2] Yang demikian karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan … “

Adapun orang yang masih punya kewajiban mengqadha’ (membayar hutang puasa) Ramadhan, maka dia dikatakan ‘berpuasa sebagian Ramadhan‘, tidak dikatakan “berpuasa Ramadhan“

Dan boleh melaksanakannya secara terpisah-pisah atau pun secara berturut. Namun berturut-turut lebih utama, karena padanya terdapat sikap bersegera menuju kepada kebaikan, dan tidak terjatuh pada sikap menunda-nunda, yang terkadang menyebabkan tidak melakukan puasa sama sekali.

Pertanyaan : Apakah bisa diperoleh pahala puasa 6 hari Syawwal bagi barangsiapa yang masih memiliki tanggungan qadha’ Ramadhan, namun ia mengerjakan puasa tersebut sebelum melakukan puasa qadha`?

Jawab : Puasa 6 hari Syawwal tidak akan diperoleh pahala/keutamaanya kecuali jika seseorang telah menyempurnakan puasa bulan Ramadhan. Barangsiapa yang masih memiliki kewajiban mengqadha’ Ramadhan, maka dia jangan berpuasa 6 hari Syawwal kecuali melaksakan puasa qadha’ Ramadhan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan … “

Atas dasar itu, kita katakan kepada orang yang masih punya kewajiban qadha’, “Laksanakan puasa qadha’ terlebih dahullu, kemudian baru lakukan puasa 6 hari Syawwal.”

Bila telah selesai bulan Syawwal sebelum ia sempat berpuasa 6 hari, maka ia tidak bisa memperoleh keutamaan tersebut, kecuali apabila karena udzur.

Bila pelaksanaan puasa 6 hari Syawwal ini bertepatan dengan hari Senin atau Kamis, maka dia dia bisa memperoleh dua pahala sekaligus dengan niat mendapatkan pahala puasa 6 hari Syawwal dan pahala puasa Senin - Kamis. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Amal-amal itu harus dengan niat. Dan bagi masing-masing orang akan mendapat apa yang ia niatkan.”.

Pertanyaan : Apakah boleh seseorang memilih melakukan puasa 6 hari Syawwal, ataukah 6 hari tersebut ada waktu tertentu? Dan apakah jika seorang muslim melaksakana puasa 6 hari tersebut kemudian menjadi kewajiban atasnya dan wajib melaksanakannya setiap tahun?

Jawab : telah sah riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawwal maka seperti puasa setahun.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya.

6 hari tersebut bukanlah hari-hari tertentu/terbatas dari bulan Syawwal. Namun boleh bagi seorang mukmin untuk memilihnya. Jika mau dia boleh berpuasa pada awal bulan, jika mau boleh berpuasa pada pertengahan bulan, dan jika mau boleh berpuasa pada akhir bulan, jika mau boleh mengerjakannhya secara terpisah-pisah. Sifatnya longgar, bihamdillah.

Jika dia bersegera mengerjakannya secara berturut-turut pada awal bulan, maka yang dimikian afdhal (lebih utama) karena termasuk bersegera pada kebaikan. Namun tidak ada kesempitan dalam hal ini, bihamdillah, bahkan sifatnya longgar. Jika mau berturut-turut, jika mau maka boleh terpisah-pisah. Kemudian jika dia mengerjakannya pada sebagian tahun, dan tidak mengerjakannya pada sebagian tahun lainnya, maka tidak mengapa. Karena itu ibadah tathawwu’ (sunnah), bukan ibadah fadhu.

(Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin XX/5-8)

[1] Yakni selain tanggal 1 Syawwal (pentj)

[2] Yakni ada satu permasalahan yang diperselisihkan di kalangan ‘ulama, apakah boleh/sah berpuasa sunnah sebelum mengqadha’Ramadhan. Namun permasalahan puasa 6 hari Syawwal sebelum mengqadha’ Ramadhan ini adalah permasalahan lain di luar permasalahan pertama. Karena masalah puasa 6 hari Syawwal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersyarakat harus berpuasa Ramadhan secara penuh terlebih dahulu. (pentj)
http://www.assalafy.org/mahad/?p=366

Jumat, 04 September 2009

Pengantar Ringkas Fiqh Ramadhan