Kuliah Umum Syar'iyyah 5 KIAT-KIAT DALAM MENJAGA HATI

Bersama : Ustadz Abdul Mu'thi Al-Maidany
Insya Allah Sabtu, 17 Rajab 1435 H / 17 Mei 2014 M

SEMUA TENTANG UKHUWAH

Bersama Ustadz Abdul Mu’thi Al-Maidany Ahad, 18 Rajab 1435 / 18 Mei 2014

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنِي إِلَى رَمَضَانَ ، وَسَلِّمْ لِي رَمَضَانَ ، وَتُسلمهُ مِنِّي مُتَقَبَّلاً

Ya Allah, selamatkanlah aku agar bisa berjumpa dengan Ramadhan, selamatkanlah aku agar berhasil menjalani Ramadhan, dan terimalah amalku


Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh.
Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu).
Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan ilmu.

Minggu, 19 Desember 2010

Download Daurah Nasional Tabligh Akbar Bantul Yogyakarta Juli 2010

Alhamdulillah Daurah Nasional Tabligh Akbar Masyayikh di Bantul Yogyakarta pada tanggal 27—29 Rajab 1431 H (10-12 Juli 2010) telah berjalan dengan lancar. Jazahumullah khairan katsiran kepada segenap panitia dari berbagai daerah yang telah berusaha semaksimal mungkin untuk mensukseskan Daurah Nasional yang ke 6 ini. Berikut link Download Dauroh Nasional bantul 2010 resmi dari pihak panitia yang telah diunggah di iLmoe.

Hari 1 Daurah Nasional Bantul 10 Juli 2010

Hari ke 2 Daurah Nasional Bantul 11 Juli 2010

Hari ke 3 Daurah Nasional Bantul 12 Juli 2010

Biografi Asy Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di

Berikut adalah kajian bersama Al Ustadz Abu ‘Ubaidah Syafruddin membahas kitab Minhajus Salikin wa Taudhihul Fiqhi Fid Diin karya Asy Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, pada hari Ahad 5 Desember 2010 pukul 09.00 – 11.00 WIB di Masid Al Hasanah Jogja.


Berikut link untuk mendowload kajiannya :

· Biografi Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di|11,3MB

Download Kajian: Ketika Virus "Futur" Menyerangku

Pemateri: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al-Atsary hafizhahullah
Waktu: Sabtu, 5 Muharram 1431 H / 11 Desember 2010 M
Tempat: Musholla DKM Jundullah PKN & STMIK LPKIA Bandung

Sesi 1 (~12 MB):
http://www.4shared.com/get/5W5BbD5j/Ketika_Virus-virus_FUTUR_menye.html

Sesi 2 (~7 MB)
http://www.4shared.com/get/4erh3wuN/Ketika_Virus-virus_FUTUR_menye.html

sumber:
http://pengejarsunnah.blogspot.com/2010/12/ketika-virus-virus-futur-menyerangku.\
html

Selasa, 07 Desember 2010

Kesalahan-Kesalahan Dalam Shalat

1. Tidak tuma’ninah dalam sholat
Masalah ini termasuk masalah yang kejahilan merebak di dalamnya, dan merupakan maksiat yang sangat jelas karena tuma`ninah adalah rukun yang sholat tidak teranggap syah tanpanya. Hadits al-musi`u sholatuhu (orang yang jelek sholatnya) sangat menunjukkan akan hal tersebut. Makna tuma`ninah adalah orang yang sholat tenang di dalam ruku’nya, i’tidalnya, sujudnya, dan ketika duduk di antara dua sujud, dengan cara dia tinggal sejenak sampai setiap tulang menempati tempatnya, dan dia jangan tergesa-gesa untuk berpindah dari suatu rukun (sholat) sampai dia tuma`ninah dan setiap persendian telah menempati posisinya.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada al-musi`u sholatuhu (orang yang jelek sholatnya) tatkala dia tergesa-gesa dan tidak tuma`ninah:
اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
”Kembali ulangi sholatmua, karena (tadi) kamu belum sholat”.
Dan dalam hadits Rifa’ah (juga) dalam kisah al-musi`:
ثُمَّ يُكَبِّرَ وَيَرْكَعَ فَيَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ وَتَسْتَرْخِي, ثُمَّ يَقُوْلُ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ, وَيَسْتَوِيَ قَائِمًا حَتَّى يَأْخُذَ كُلُّ عَظْمٍ مَأْخَذَهُ
“Kemudian dia bertakbir lalu ruku’ dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya sampai semua tulang-tulangnya tenang dan rileks. Kemudian dia membaca “Sami’allahu liman hamidah” dan tegak berdiri sampai semua tulang kembali menempati tempatnya masing-masing”.

2. Sengaja mendahului dan menyelisihi imam.
Ini membatalkan sholat atau (minimal) membatalkan raka’at. Sehingga barangsiapa yang ruku’ sebelum imamnya, maka batal raka’atnya kecuali jika dia ruku’ kembali setelah ruku’nya imam, demikian halnya pada seluruh rukun-rukun sholat. Maka yang wajib bagi orang yang sholat adalah mengikuti dan mencontoh imamnya, jangan dia mendahuluinya dan jangan pula terlambat dalam mengikutinya dalam satu rukun (gerakan) atau lebih.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan selainnya dengan sanad yang shohih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ: فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا وَلاَ تُكَبِّرُوْا حَتَّى يُكَبِّرَ, وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوْا وَلاَ تَرْكَعُوْا حَتَّى يَرْكَعَ
“Tidaklah seorang imam dijadikan sebagai imam kecuali untuk diikuti; maka jika dia bertakbir maka bertakbirlah kalian dan janganlah kalian bertakbir sampai mereka sudah bertakbir, jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian dan janganlah kalian ruku’ sampai mereka sudah ruku’ …”. sampai akhir hadits. Asal haditsnya ada dalam Ash-Shohihain, dan juga diriwayatkan semisalnya oleh Imam Al-Bukhary dari Anas -radhiyallahu ‘anhu-.
Dimaafkan dalam masalah ini orang yang lupa dan orang yang jahil.

3. Berdiri menyempurnakan raka’at yang tertinggal sebelum imam melakukan salam kedua.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لاَ تَسْبِقُوْنِي بِالرُّكُوْعِ وَلاَ السُّجُوْدِ وَلاَ الْاِنْصِرَافِ
“Janganlah kalian mendahuluiku dalam hal ruku’, tidak pula dalam hal sujud, dan juga dalam hal inshorof”.
Para ulama berkata, “Makna inshirof (pergi) adalah salam”.
Salam dikatakan inshirof karena orang yang sholat sudah dibolehkan pergi setelah salam, dan dia (imam) dianggap inshirof setelah salam yang kedua.
Maka orang yang masbuk hendaknya menunggu sampai imam menyempurnakan sholatnya, kemudian setelah itu baru dia berdiri lalu menyempurnakan dan mengqodo` raka’at yang luput darinya, wallahu A’lam.

4. Melafadzkan niat saat hendak sholat.
Ini adalah bid’ah, dan telah berlalu dalil-dalil akan haramnya berbuat bid’ah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sama sekali tidak pernah melafadzkan niat untuk sholat, Imam Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata dalam Zadul Ma’ad atau dalam Al-Hadyun Nabawy, “Kebiasaan beliau (Nabi) jika berdiri untuk sholat, beliau mengucapkan, ["Allahu Akbar"] dan tidak membaca apapun sebelumnya dan beliau juga tidak melafadzkan niat sama sekali. Beliau juga tidak pernah mengucapkan, ["Usholli lillahi sholata kadza mustaqbilal qiblati arba'a raka'atin imaman aw ma`muman" (Saya berniat melakukan sholat ini karena Allah dengan menghadap kiblat, 4 raka'at, sebagai imam atau sebagai ma`mum)]. Dan beliau juga tidak mengucapkan, ["ada-an"], tidak pula ["qodho-an"], dan tidak pula ["fardhol waqti"]. Ini adalah 10 bid’ah, yang sama sekali tidak pernah dinukil dari beliau dalam sanad yang shohih, tidak pula yang dho’if (lemah), tidak secara musnad (bersambung) dan tidak pula mursal (terputus) satupun lafadz darinya. Bahkan tidak pernah dinukil dari seorangpun dari para sahabat, tidak dianggap baik oleh seorangpun dari tabi’in dan tidak pula oleh Imam Empat”. Selesai ucapan beliau.

5. Mengangkat pandangan ke atas dalam sholat atau berpaling ke kanan dan ke kiri tanpa ada keperluan.
Adapun mengangkat pandangan ke atas, maka hal ini adalah terlarang dan telah datang ancaman bagi pelakunya. Jabir bin Samuroh telah meriwayatkan hadits, beliau berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلّيْهِمْ
”Hendaknya orang-orang yang mengangkat penglihatan mereka ke langit dalam sholat, berhenti dari perbuatan mereka itu. Atau pandangan mereka tidak akan kembali lagi kepada mereka”. Riwayat Muslim.
Adapun berpaling tanpa ada keperluan, maka hal ini mengurangi (nilai) sholat seorang hamba sepanjang tubuhnya tidak seluruhnya berubah arah, jika tubuhnya sudah berubah arah maka sholatnya batal. Dari ‘A`isyah -radhiallahu ‘anha- beliau berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- perihal berpaling dalam sholat, maka beliau bersabda:
هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ
“Itu adalah curian yang setan curi dari sholat seorang hamba”. Riwayat Al-Bukhary.
Dan dalam riwayat At-Tirmidzy dan beliau menshohihkannya:
إِيَّاكَ وَالْاِلْتِفَاتِ فِي الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ هَلَكَةٌ
“Hati-hati kalian dari menoleh dalam sholat, karena sesungguhnya itu adalah kebinasaan”. sampai akhir hadits.
Dan masih ada hadits-hadits yang lain berkenaan dengan masalah berpaling (dalam sholat).

6. Tidak mengangkat khimar ke atas kepala dalam sholat bagi wanita atau tidak menutup kedua kakinya.
Aurat wanita dalam sholat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya, tapi tidak mengapa baginya untuk menutup wajahnya jika ada lelaki yang lewat dan semisalnya. Maka yang wajib atasnya adalah memakai khimar, yaitu kain yang menutupi kepala dan dada, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima sholat wanita (yang sudah) haid (baca: balig) kecuali dengan memakai khimar”. Riwayat Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`i dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan selainnya
Dan juga wajib menutup kedua kaki berdasarkan hadits:
اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
“Wanita adalah ‘aurat”. Riwayat At-Tirmidzy dengan sanad yang shohih.
Dan semakna dengannya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Abu Daud, dan selain keduanya dari Muhammad bin Zaid bin Qonfadz dari ibunya bahwa dia bertanya kepada Ummu Salamah, istri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Pakaian apakah yang dipakai oleh seorang wanita dalam sholat?”, maka beliau menjawab:
تُصَلِّي فِي الْخِمَارِ وَالدِّرْعِ السَّابِغِ إِذَا غَيَّبَ ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ
“Dia sholat dengan memakai khimar dan pakaian yang luas sampai kedua kakinya tertutupi”.
Dan semakna dengannya juga dalam hadits Ummu Salamah, “Hendaknya dia (wanita tersebut) menurunkannya (pakaiannya) sepanjang satu dziro’ (dari mata kaki)”.

7. Tidak takbiratul ihram bagi masbuk yang mendapati imam sedang ruku’.
Ini adalah kesalahan besar karena takbiratul ihram adalah rukun sholat, maka wajib baginya melakukan takbiratul ihram dalam keadaan dia berdiri, kemudian setelah itu baru boleh baginya untuk ruku’ bersama imam. Dan takbiratul ihram sudah mencukupi takbir untuk ruku’ (takbir intiqol), tapi jika dia bertakbir untuk ihram (takbiratul ihram) lalu bertakbir juga untuk ruku’ maka maka itu yang lebih sempurna dan lebih berhati-hati. Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- meriwayatkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ يُكَبِّرُ حِيْنَ يَقُوْمُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِيْنَ يَرْكَعُ
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- jika sholat, selalu bertakbir ketika berdiri kemudian bertakbir ketika ruku’”.

8. Bermain-main dengan menggunakan pakaian, jam tangan, atau yang lainnya.
Amalan ini menafikan kekhusyukan, dan telah berlalu dalil-dalil (akan disyari’atkannya) khusyu’ dalam masalah ke-5. Dan sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah melarang untuk menyentuh batu kerikil dalam sholat karena bisa menafikan kekhusyukan, beliau bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاَةِ فَلاَ يَمْسَحِ الْحَصَى فَإِنَّ الرَّحْمَةَ تُوَاجِهُهُ
“Jika salah seorang di antara kalian berdiri dalam sholat, maka janganlah dia menyapu kerikil (di tempat sujudnya), karena rahmat (Allah) berada di depannya”. Riwayat Ahmad dan Ashhabus Sunan dengan sanad yang shohih.
Dan tidak jarang perbuatan sia-sia itu bertambah sampai menjadi gerakan yang banyak yang mengeluarkan sholat dari gerakan asalnya, sehingga sholat bisa menjadi batal.

9. Memejamkan kedua mata dalam sholat tanpa ada keperluan.
Ini adalah perkara yang makruh, Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk tuntunan beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memejamkan kedua mata dalam sholat”. Beliau (juga) berkata, “Para ahli fiqhi berselisih pendapat tentang makruhnya, Imam Ahmad dan selain beliau memakruhkannya, mereka berkata, ["Ini adalah perbuatan orang-orang Yahudi (dalam sholat mereka)"] dan sebagian lain membolehkannya dan tidak memakruhkannya, mereka berkata, ["Perbuatan ini lebih cepat menghasilkan kekhusyukan yang merupakan mana dia merupakan ruh, rahasia, dan maksud dari sholat.
Yang benarnya adalah dikatakan, ["Jika membuka mata tidak menghilangkan kekhusyukan maka ini yang paling afdhol. Tapi jika dengannya (membuka mata) akan menghalangi dia untuk khusyu' karena di kiblatnya ada semacam hiasan, at-tazrawiq, atau yang semacamnya dari hal-hal yang bisa mengganggu hatinya, maka ketika itu tentunya tidak dimakrukan untuk menutup mata"]. Dan pendapat yang menyatakan disunnahkannya dalam keadaan di atas lebih mendekati ushul dan maksud syari’at dibandingkan pendapat yang menyatakan makruhnya, wallahu A’lam”. Selesai ucapan Ibnul Qoyyim -rahimahullah-.

10. Tidak meluruskan dan merapatkan (arab: taswiyah) shof-shof.
Allah telah memerintahkan untuk menegakkan (arab: iqomah) sholat:
وَأَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ
“Tegakkanlah shalat”. (QS. An-Nur: 56, Ar-Rum: 31, dan Al-Muzzammil: 20)
Dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ, فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ
“Luruskanlah shof-shof kalian, karena sesungguhnya pelurusan shof termasuk menegakkan sholat”. Riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari Anas.
Dan Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dari An-Nu’man bin Basyir -radhiallahu ‘anhu-:
لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Demi Allah, kalian harus benar-benar meluruskan shof-shof kalian atau Allah betul-betul akan membuat hati-hati kalian saling berselisih”.
Dan telah datang perintah untuk meluruskan dan merapatkan shaf-shaf dan anjuran terhadapnya dalam beberapa hadits.

11. Kurang perhatian untuk sujud di atas tujuh tulang, yakni: Jidad bersama hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan jari-jari kedua kaki.
Dari Al-’Abbas bin ‘Abdil Muththolib -radhiallahu ‘anhu- bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا سَجَدَ الْعَبْدُ سَجَدَ مَعَهُ سَبْعَةُ آرَابٍ: وَجْهُهُ وَكَفَّاهُ وَرُكْبَتَاهُ وَقَدَمَاهُ
“Jika seorang hamba bersujud, maka ikut pula sujud bersamanya tujuh tulang: Wajahnya, kedua telapak tangannya, kedua lututnya, dan kedua kakinya”. Riwayat Muslim sebagaimana yang disandarkan oleh Al-Majd dalam Al-Muntaqo dan Al-Mizzy, dan (hadits ini) juga diriwayatkan oleh selainnya (Muslim).
Adapun mengangkat kedua kaki dalam sujud, maka ini menyelisihi apa yang diperintahkan, berdasarkan hadits yang tsabit dalam Ash-Shohihain dari Ibnu ‘Abbas -radhiallahu ‘anhuma-:
أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْضَاءِ, وَلاَ يَكُفَّ شَعْرًا وَلاَ ثَوْبًا: اَلْجَبْهَةِ, وَالْيَدَيْنِ, وَالرُّكْبَتَيْنِ, وَالرِّجْلَيْنِ
“Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk bersujud di atas tujuh tulang, dan memerintahkan agar jangan mengikat rambut dan menggulung pakaian. (Ketujuh tulang itu adalah) Dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua kaki”.
Maka orang yang sholat diperintahkan untuk sujud di atas kedua kaki, dan bentuk sempurnanya adalah dengan menjadikan jari-jari kedua kakinya mengarah ke kiblat. Dan bentuk cukupnya adalah dengan meletakkan (merapatkan) bagian dari masing-masing kaki di atas bumi. Jika dia mengangkat salah satunya maka tidak syah sujudnya jika terangkatnya kaki terus-menerus sepanjang sujudnya.
Di antara manusia ada juga yang tidak meletakkan jidad dan hidungnya dengan baik ke bumi ketika dia sujud, atau dia mengangkat kedua kakinya atau tidak meletakkan kedua telapak tangannya dengan baik, dan semua ini menyelisihi apa yang diperintahkan.

12. Membunyikan jari-jemari.
Hal ini termasuk perkara-perkara yang dibenci dan dilarang dalam sholat. Adapun membunyikan (jari-jemari) maka Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Syu’bah maula Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang hasan, bahwa dia berkata, “Saya pernah sholat di samping Ibnu ‘Abbas lalu saya membunyikan jari-jemariku. Maka tatkala sholat sudah selesai, beliau berkata, ["Tidak ada ibu bagimu!, apakah kamu membunyikan jari-jemarimu sedangkan engkau dalam keadaan sholat?!"]“.
Dan telah diriwayatkan secara marfu’ tentang larangan membunyikan jari-jemari dari hadits ‘Ali riwayat Ibnu Majah akan tetapi haditsnya lemah dan tidak bisa dikuatkan.

13. Menyilangkan jari-jemari (arab: Tasybik) dalam sholat dan sebelum sholat.
Ini termasuk perkara yang dimakruhkan. Dari Ka’ab bin ‘Ujroh beliau berkata, saya mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الصَّلاَةِ, فَلاَ يُشَبِّكَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِي الصَّلاَةِ
“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu kemudian dia sengaja keluar untuk sholat, maka janganlah sekali-kali dia menyilangkan antara kedua tangannya, karena sesungguhnya dia sedang dalam sholat”. Riwayat Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzy sedang dalam sanadnya ada perselisihan.
Dan Imam Ad-Darimy, Al-Hakim, dan selainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’:
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ, كَانَ فِي صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ, فَلاَ يَفْعَلْ هَكَذَا -وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ-
“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu di rumahnya kemudian dia mendatangi masjid, maka dia terus-menerus dalam keadaan sholat sampai dia pulang. Karenanya, janganlah dia berbuat seperti ini -beliau menyilangkan antara jar-jari beliau-”. Zhohir sanadnya adalah shohih.
Dan dalam masalah tasybik ada hadits-hadits lain yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya.

[Diterjemah dari Al-Minzhar hal. 24-40, karya Asy-Syaikh Saleh Alu Asy-Syaikh, dengan sedikit perubahan]

http://al-atsariyyah.com/kesalahan-kesalahan-dalam-shalat-1.html

Posisi Makmum Jika Shalat Berdua

Jika yang shalat hanya berdua, maka makmum berdiri tepat di sebelah kanan imam, tidak perlu mundur sedikit. Ini tentunya berlaku jika keduanya adalah lelaki atau keduanya adalah wanita. Adapun jika si makmum adalah wanita, maka wanita harus berdiri di belakang imam.

Dalil bahwa makmum harus berdiri tepat di sebelah kanan imam jika mereka hanya shalat berdua adalah:

Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:

بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ قَالَ خَطِيطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

“Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi shalat ‘isya kemudian kembali ke rumah dan shalat sunnat empat rakaat, kemudian beliau tidur. Saat tengah malam beliau bangun dan shalat malam, aku lalu datang untuk ikut shalat bersama beliau dan berdiri di samping kiri beliau. Kemudian beliau menggeserku ke sebelah kanannya, lalu beliau shalat lima rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian tidur hingga aku mendengar suara dengkur beliau. Setelah itu beliau kemudian keluar untuk shalat (shubuh).” (HR. Al-Bukhari no. 656)

Imam Al-Bukhari rahimahullah memberikan judul bab terhadap hadits di atas:

بَابُ: يَقُوْمُ عَنْ يَمِيْنِ الإمامِ بِحِذائِهِ سَواء إِذا كانا اثْنَيْنِ

“Bab: Makmum berdiri tepat di samping kanan imam jika mereka hanya shalat berdua.”

Penjelasan Lemahnya Kisah Tsa’labah bin Hathib

Di antara keyakinan pokok ahlissunnah wal jama’ah yang tertera dalam kitab-kitab aqidah mereka adalah: Wajibnya menghormati dan memuliakan para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam serta wajibnya menjaga lisan dari ucapan yang merendahkan mereka. Insya Allah keyakinan ini akan kami bahas pada tempat yang lain.
Hanya saja di sini kami akan menyebutkan sebuah kisah yang ramai dan tersebar di kalangan kaum muslimin, dimana kisah tersebut bercerita tentang kejelekan salah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang bernama Tsa’labah bin Hathib radhiallahu anhu. Padahal mereka tidak mengetahui kalau kisah tersebut sebenarnya merupakan kisah yang mungkar dan tidak berdasar, baik dari sisi sanadnya maupun dari sisi matan (isi)nya.
Untuk lebih jelasnya, berikut penjelesannya secara lebih lengkap:

Penjelasan Lemahnya Kisah Ini Dari Sisi Sanad.
Dari Abu Umamah Al-Bahiliy -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata, “Tsa’labah bin Hathib Al-Anshory telah datang kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- seraya berkata, “Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar Dia memberikan aku harta. Maka beliau bersabda, “Celaka engkau, hai Tsa’labah. Harta yang sedikit tapi engkau syukuri lebih baik dibandingkan harta yang banyak tapi engkau tak mampu (syukuri)”.
Lalu ia mendatangi beliau lagi setelah itu seraya berkata, “Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar Dia memberikan aku harta”. Maka beliau bersabda, “Bukankah pada diriku ada contoh yang baik bagimu. Demi (Allah) Yang jiwaku ada di tangan-Nya, andaikan aku ingin gunung-gunung itu berubah jadi emas dan perak untukku, niscaya akan berubah”.
Lalu iapun datang lagi setelah itu seraya berkata,”Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar Dia memberikan aku harta. Demi (Allah) Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, andaikan Allah memberikan aku harta, niscaya aku akan memberikan haknya orang yang berhaka\”. Maka beliau bersabda (berdo’a), “Ya Allah, berikanlah rezqi kepada Tsa’labah. Ya Allah, berikanlah rezqi kepada Tsa’labah”.
Tsa’labah pun mengambil (baca: memelihara) kambing. Kambing-kambing ini lalu berkembang laksana berkembangnya ulat. Maka ia pun akhirnya hanya bisa melaksanakan sholat zhuhur dan Ashar bersama Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, sedangkan sholat-sholat lainnya dia kerjakan di tengah-tengah kambingnya. Kemudian kambingnya semakin banyak dan berkembang. Maka iapun tinggal diam (sibuk) sehingga ia tidak lagi menghadiri sholat jama’ah, kecuali sholat jum’at.
Kambingnya semakin banyak dan berkembang. Ia pun semakin sibuk, sehingga ia tak lagi menghadiri sholat jum’at dan sholat jama’ah. Apabila di hari Jum’at, ia pun menemui manusia untuk bertanya tentang berita-berita.
Pada suatu hari ia disebut-sebut oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- seraya berkata, “Apa yang dilakukan Tsa’labah?”. Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, Tsa’labah telah memelihara kambing yang tidak dimuat oleh satu lembah”. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Oh, celakanya Tsa’labah. Oh, celakanya Tsa’labah. Oh, celakanya Tsa’labah”. Allah pun menurunkan ayat sedakah (baca: zakat).
Kemudian Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mengutus seorang dari Bani Sulaim dan seorang lagi dari Bani Juhainah. Beliau menetapkan batasan-batasan umur sedekah (baca: zakat) kepada keduanya dan bagaimana caranya mereka menarik (zakat), seraya bersabda kepada keduanya: “Datangilah Tsa’labah bin Hathib dan seorang dari Bani Sulaim, lalu ambillah zakat dari keduanya”. Maka merekapun keluar sehingga keduanya mendatangi Tsa’labah seraya bertanya tentang zakatnya. Keduanya membacakan surat Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- kepada Tsa’labah. Tsa’labah kemudian berkata, “Ini tiada lain, kecuali jizyah (upeti), ini tiada lain, kecuali semacam jizyah. Pergilah kalian sampai kalian telah selesai (bertugas), lalu kembalilah kepadaku”. Keduanya pun pergi, sedangkan As-Sulamy mendengar tentang keduanya. Dia kemudian melihat kepada umur ontanya yang terbaik dan memisahkannya untuk zakat. Lalu ia mendatangi keduanya dengan membawa (onta-onta) tersebut. Tatkala keduanya melihat onta-onta zakat itu, maka keduanya berkata, “Bukanlah ini yang diwajibkan atas dirimu”. Dia berkata, “Ambillah, karena hatiku merelakan hal itu”. Keduanya pun mendatangi orang-orang dan menarik zakat. Kemudia keduanya kembali kepada Tsa’labah. Tsa’labah lalu berkata, “Perlihatkan surat kalian kepadaku”. Dia pun berkata, “Ini tiada lain, kecuali jizyah. Ini tiada lain, kecuali semacam jizyah. Pergilah sampai aku melihat pendapatku”. Keduanya pun pulang menghadap. Tatkala Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melihat keduanya, sebelum mengajak mereka berbicara, maka beliau bersabda: “Oh, celakanya Tsa’labah”. Kemudian beliau mendo’akan kebaikan bagi As-Sulamy, dan keduanya mengabarkan tentang sesuatu yang dilakukan Tsa’labah. Maka Allah -Azza wa Jalla- menurunkan (ayat):
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ ءَاتَانَا مِنْ فَضْلِهِ
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami…”. sampai kepada firman-Nya:
وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“…dan juga karena mereka selalu berdusta”. (QS. At-Taubah : 75-77)
Di sisi Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- ada seorang laki-laki dari kalangan keluarga Tsa’labah telah mendengarkan hal itu. Lalu ia keluar mendatangi Tsa’labah seraya berkata, “Celaka engkau, wahai Tsa’labah. Sungguh Allah -Azza wa Jalla- telah menurunkan demikian dan demikian tentang dirimu. Maka keluarlah Tsa’labah sampai ia datang kepada Nabi -shollallahu ‘alaihi wasallam-. Dia meminta beliau agar menerima zakatnya. Maka beliau bersabda, “Sesunnguhnya Allah -Tabaraka wa Ta’ala- mencegah untuk menerima zakatmu”. Diapun mulai menaburkan tanah di atas kepalanya. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Inilah (hasil) perbuatanmu. Aku telah memerintahkanmu, akan tetapi engkau tidak mentaatiku”.
Tatkala Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi- enggan mengambil zakatnya, maka ia kembali ke rumahnya. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- meninggal, sedang beliau tidak mengambil (zakat) sedikitpun darinya.
Kemudian Tsa’labah mendatangi Abu Bakar -radhiyallahu anhu- ketika ia menjadi kholifah seraya berkata, “Sungguh engkau telah mengetahui kedudukanku di depan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan posisiku di mata orang-orang Anshor, maka terimalah zakatku”. Abu Bakar berkata, “Rasulullah tidak (mau) menerimanya darimu, lantas aku mau menerimanya?”. Abu Bakar pun meninggal sedang beliau tidak mau menerimanya.”
Tatkala Umar berkuasa, Tsa’labah datang kepadanya seraya berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, terimalah zakatku”. Maka Umar berkata, “Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tak mau menerimanya, dan tidak pula Abu Bakar, lantas aku mau terima?”. Umar pun meninggal dalam keadaan ia tak mau menerimanya.”
Kemudian Utsman -radhiyallahu anhu- memerintah. Maka Tsa’labah datang kepadanya memintanya untuk menerima zakatnya. Maka Utsman berkata, “Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tak mau menerimanya, dan tidak pula Abu Bakar dan Umar, lantas aku mau menerimanya?”. Tsa’labah mati di zaman khilafah Utsman”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thobary dalam Jami’ul Bayan (6/425/17002), Ath-Thobrony dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (8/218, 219/no.7873), Al-Baihaqiy dalam Syu’ab Al-Iman (4/79, 80/no.4357), Al-Baghowiy dalam Ma’alim At-Tanzil (4/75-77), Ibnul Atsir dalam Usdul Ghobah (1/283-285), Ibnu Abdil Barr dalam Al-Isti’ab (1/201-via footnote Al-Ishobah), dan selainnya. Semuanya dari jalan Mu’an bin Rifa’ah dari Ali bin Yazid Al-Alhany dari Al-Qosim bin Abdurrahman dari Abu Umamah Al-Bahily -radhiyallahu ‘anhu-.
Ibnu Hazm Al-Andalusy -rahimahullah- berkata, “Di antara rawi-rawinya ada Mu’an bin Rifa’ah, Al-Qosim bin Abdirrahman, dan Ali bin Yazid bin Abdul Malik. Semuanya adalah orang-orang yang lemah”. (Al-Muhalla: 11/208)
Al-Bukhary berkata tentang Ali bin Yazid dalam At-Tarikh Al-Kabir (6/301), “Mungkar haditsnya”. Al-Uqoily menetapkannya dalam Adh-Dhu’afa’ Al-Kabir (3/254). An-Nasa’i berkata, “Tidak tsiqoh (terpercaya)”. Pada tempat lain, ia berkata, “Orangnya matruk”. Abu Zur’ah berkata, “Dia bukan orang yang kuat”. Ad-Daruquthny, Al-Barqy, dan Al-Azdy berkata, “Dia matruk”. Abu Nu’aim Al-Ashbahany berkata, “Munkar haditsnya”. (Asy-Syihab Ats-Tsaqib hal. 10-11, karya Syaikh Salim Al-Hilaliy)

Kesimpulan hukum hadits ini adalah dha’if jiddan (lemah sekali), tidak bisa dikuatkan oleh hadits lain dan juga tidak bisa menguatkan hadits lainnya.

Pendukung Hadits Di Atas.
Hadits di atas mempunyai pendukung dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Beliau berkata ketika menafsirkan firman Allah:
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ ءَاتَانَا مِنْ فَضْلِهِ
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami…” al-ayat.
Beliau berkata, “Demikian itu, karena ada seorang Anshor yang bernama Tsa’labah bin Hathib telah menghadiri suatu majelis seraya memberikan persaksian kepada mereka, lalu berkata: “Jika Allah memberikan karunia-Nya kepadaku, niscaya aku akan memberikan haknya orang yang berhak, bersedekah darinya, aku akan menyambung tali kekerabatan darinya”. Kemudian Allah mengujinya, dan memberikan sebagian karunia-Nya kepadanya. Tsa’labah pun kemudian menyalahi apa yang dia janjikan, dan membuat Allah murka akibat ia menyalahi apa yang dia janjikan tersebut. Maka Allah mengisahkan kondisinya dalam Al-Qur’an:
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ ءَاتَانَا مِنْ فَضْلِهِ
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami…”. Al-ayat. Sampai kepada firman-Nya:
وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“…dan juga karena mereka selalu berdusta”. (QS. At-Taubah : 75-77)”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thobary dalam Jami’ul Bayan (6/425/17001), Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya (6/1849), dan Al-Baihaqy dalam Ad-Dala’il (5/289).
Penulis Al-Isti’ab fi Bayan Al-Asbab (2/300) berkata, “Sanadnya dho’if jiddan (lemah sekali) berentetan dengan orang-orang bergelar Al-Aufiy yang semuanya dho’if (lemah)”. (Asy-Syihab Ats-Tsaqib hal.13)

Sisi Kemungkaran Matan (redaksi) Hadits Ini:
1. Hadits ini kontradiksi dengan lahiriyah ayat 75-77 dari surah At-Taubah di atas, dimana ayat ini jelas-jelas untuk orang munafiq.
2. Tidak diterimanya taubat Tsa’labah di saat ia bertaubat. Padahal taubat terus terbuka dan akan diterima sampai sebelum datangnya ajal.
3. Tidak diperanginya Tsa’labah yang enggan membayar zakat. Padahal para sahabat di zaman Abu Bakar telah menghunuskan pedang mereka untuk memerangi orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat. Lalu apa yang menyebabkan mereka tak memerangi Tsa’labah. Jelas ini ganjil!!
4. Tsa’labah adalah peserta perang Badar yang memiliki keutamaan yang tinggi, sampai-sampai Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda, “Sesungguhnya aku berharap neraka tak akan dimasuki -insya Allah- oleh orang yang pernah menghadiri perang Badar dan Hudaibiyah”. (HR. Muslim)

Komentar Para Ulama Mengenai Kisah Di Atas.
Ibnu Hazm Azh-Zhohiry Al-Andalusy -rahimahullah- berkata, “Hadits ini adalah batil -tanpa ada keraguan -, karena Allah memerintahkan untuk menarik zakat dari kaum muslimin, dan juga Nabi -’alaihis salam- telah memerintahkan -ketika akan wafat- agar tidak boleh ada dua agama yang berada di Semenanjung Arab. Tsa’labah tak lepas kondisinya sebagai seorang muslim. Maka wajib atas Abu Bakar dan Umar untuk menarik zakatnya, ini harus dan tidak ada kelonggaran dalam hal ini. Jika ia (Tsa’labah) adalah seorang yang kafir, maka wajib untuk tidak tinggal di Semenanjung Arab. Jadi, gugurlah atsar ini -tanpa ada keraguan-. Di antara rawi-rawinya ada Mu’an bin Rifa’ah, Al-Qosim bin Abdurrahman, dan Ali bin Yazid bin Abdul Malik. Semuanya adalah orang-orang yang lemah”. (Al-Muhalla: 11/208)
Al-Haitsamy berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thobrony, sedang di dalamnya terdapat Ali bin Yazid Al-Alhany dan ia adalah matruk (ditinggalkan)”. (Majma’ Az-Zawa’id: 7/31-32)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany -rahimahullah- berkata, “Dho’if Jiddan (lemah sekali).” (Adh-Dho’ifah: 4/111)

Imam Ahmad bin Hanbal, Teladan dalam Semangat dan Kesabaran

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Ahmad bin Hanbal adalah seorang tauladan dalam 8 hal: tauladan dalam bidang hadits, fiqih, bahasa arab, Al-Qur’an, kefakiran, zuhud, wara’ dan dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi shalallahu’alaihi wa sallam.

Kun-yah dan Nama Lengkap beliau rahimahullah
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qosith bin Mazin bin Syaiban Adz Dzuhli Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi.
Lahir pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriyah di kota Marwa. Beliau lebih dikenal dengan Ahmad bin Hanbal, disandarkan kepada kakeknya. Karena sosok kakeknya lebih dikenal daripada ayahnya. Ayahnya meninggal ketika beliau masih berusia 3 tahun. Kemudian sang ibu yang bernama Shafiyah binti Maimunah membawanya ke kota Baghdad. Ibunya benar-benar mengasuhnya dengan pendidikan yang sangat baik hingga beliau tumbuh menjadi seorang yang berakhlak mulia.

Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu
Sungguh mengagumkan semangat Al-Imam Ahmad bin Hanbal di dalam menuntut ilmu. Beliau hafal Al-Qur’an pada masa kanak-kanak. Beliau juga belajar membaca dan menulis. Semasa kecil beliau aktif mendatangi kuttab (semacam TPA di zaman sekarang).
Kemudian pada tahun 179 Hijriyah, saat usianya 15 tahun, beliau memulai menuntut ilmu kepada para ulama terkenal di masanya. Beliau awali dengan menimba ilmu kepada para ulama Baghdad, di kota yang ia tinggali.
Di kota Baghdad ini, beliau belajar sejumlah ulama, diantaranya:
1. Al-Imam Abu Yusuf, murid senior Al-Imam Abu Hanifah.
2. Al-Imam Husyaim bin Abi Basyir. Beliau mendengarkan dan sekaligus menghafal banyak hadits darinya selama 4 tahun.
3. ‘Umair bin Abdillah bin Khalid.
4. Abdurrahman bin Mahdi.
5. Abu Bakr bin ‘Ayyasy.
Pada tahun 183 Hijriyah pada usia 20 tahun, beliau pergi untuk menuntut ilmu kepada para ulama di kota Kufah. Pada tahun 186 H beliau belajar ke Bashrah. Kemudian pada tahun 187 H beliau belajar kepada Sufyan bin ‘Uyainah di Qullah, sekaligus menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Kemudian pada tahun 197 H beliau belajar kepada Al-Imam ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani di Yaman bersama Yahya bin Ma’in.
Yahya bin Ma’in menceritakan: “Aku keluar ke Shan’a bersama Ahmad bin Hanbal untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani. Dalam perjalanan dari Baghdad ke Yaman, kami melewati Makkah. Kami pun menunaikan ibadah haji. Ketika sedang thawaf, tiba-tiba aku berjumpa dengan ‘Abdurrazaq, beliau sedang thawaf di Baitullah. Beliau sedang menunaikan ibadah haji pada tahun itu. Aku pun mengucapkan salam kepada beliau dan aku kabarkan bahwa aku bersama Ahmad bin Hanbal. Maka beliau mendoakan Ahmad dan memujinya. Yahya bin Ma’in melanjutkan, “Lalu aku kembali kepada Ahmad dan berkata kepadanya, “Sungguh Allah telah mendekatkan langkah kita, mencukupkan nafkah atas kita, dan mengistirahatkan kita dari perjalanan selama satu bulan. Abdurrazaq ada di sini. Mari kita mendengarkan hadits dari beliau!”
Maka Ahmad berkata, “Sungguh tatkala di Baghdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq di Shan’a. Tidak demi Allah, aku tidak akan mengubah niatku selamanya.’ Setelah menyelesaikan ibadah haji, kami berangkat ke Shan’a. Kemudian habislah bekal Ahmad ketika kami berada di Shan’a. Maka ‘Abdurrazaq menawarkan uang kepadanya, tetapi dia menolaknya dan tidak mau menerima bantuan dari siapa pun. Beliau pun akhirnya bekerja membuat tali celana dan makan dari hasil penjualannya.” Sebuah perjalanan yang sangat berat mulai dari Baghdad (‘Iraq) sampai ke Shan’a (Yaman). Namun beliau mengatakan: “Apalah arti beratnya perjalanan yang aku alami dibandingkan dengan ilmu yang aku dapatkan dari Abdurrazaq.”
Al-Imam Abdurrazaq sering menangis jika disebutkan nama Ahmad bin Hanbal dihadapannya, karena teringat akan semangat dan penderitaannya dalam menuntut ilmu serta kebaikan akhlaknya.
Beliau melakukan perjalanan dalam rangka menuntut ilmu ke berbagai negeri seperti Syam, Maroko, Aljazair, Makkah, Madinah, Hijaz, Yaman, Irak, Persia, Khurasan dan berbagai daerah yang lain. Kemudian barulah kembali ke Baghdad.
Pada umur 40 tahun, beliau mulai mengajar dan memberikan fatwa. Dan pada umur tersebut pula beliau menikah dan melahirkan keturunan yang menjadi para ulama seperti Abdullah dan Shalih. Beliau tidak pernah berhenti untuk terus menuntut ilmu. Bahkan, walaupun usianya telah senja dan telah mencapai tingkatan seorang Imam, beliau tetap menuntut ilmu.

Guru-guru beliau
Beliau menuntut ilmu dari para ulama besar seperti Husyaim bin Abi Basyir, Sufyan bin Uyainah, Al-Qadhi Abu Yusuf, Yazid bin Harun, Abdullah bin Al-Mubarak, Waki’, Isma’il bin ‘Ulayyah, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Imam Asy-Syafi’i, Abdurrazaq, Muhammad bin Ja’far (Ghundar), Jarir bin Abdul Hamid, Hafsh bin Ghiyats, Al-Walid bin Muslim, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain dan lain-lain.
Al-Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam kitab As-Siyar, jumlah guru-guru Al-Imam Ahmad yang beliau riwayatkan dalam Musnadnya lebih dari 280 orang.

Murid-murid beliau
Para ulama yang pernah belajar kepada beliau adalah para ulama besar pula seperti Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Qilabah, Baqi bin Makhlad, Ali bin Al-Madini, Abu Bakr Al-Atsram, Shalih dan Abdullah (putra beliau), dan sejumlah ulama besar lainnya.
Bahkan yang dulunya pernah menjadi guru-guru beliau, kemudian mereka meriwayatkan hadits dari beliau seperti Al-Imam Abdurrazaq, Al-Hasan bin Musa Al-Asyyab, Al-Imam Asy-Syafi’i.
Al-Imam Asy-Syafi’i ketika meriwayatkan dari Al-Imam Ahmad tidak menyebutkan namanya bahkan dengan gelarnya, “Telah menghaditskan kepadaku Ats-Tsiqat (seorang yang terpercaya).
Demikian pula teman-temannya seperjuangan dalam menuntut ilmu, mereka juga meriwayatkan dari beliau, seperti Yahya bin Ma’in.

Ahlak dan Ibadah Beliau rahimahullah
Pertumbuhan beliau berpengaruh terhadap kematangan dan kedewasaannya. Sampai-sampai sebagian ulama menyatakan kekaguman akan adab dan kebaikan akhlaknya, “Aku mengeluarkan biaya untuk anakku dengan mendatangkan kepada mereka para pendidik agar mereka mempunyai adab, namun aku lihat mereka tidak berhasil. Sedangkan ini (Ahmad bin Hanbal) adalah seorang anak yatim, lihatlah oleh kalian bagaimana dia!”
Beliau adalah seorang yang menyukai kebersihan, suka memakai pakaian berwarna putih, paling perhatian terhadap dirinya, merawat dengan baik kumisnya, rambut kepalanya dan bulu tubuhnya.
Orang-orang yang hadir di majelis beliau tidak sekedar menimba ilmunya saja bahkan kebanyakan mereka hanya sekedar ingin mengetahui akhlaq beliau.
Majelis yang diadakan oleh beliau dihadiri oleh sekitar 5000 orang. Yang mencatat pelajaran yang beliau sampaikan jumlahnya adalah kurang dari 500 orang. Sementara sisanya sekitar 4500 orang tidak mencatat pelajaran yang beliau sampaikan namun sekedar memperhatikan akhlak dan samt (baiknya penampilan dalam perkara agama) beliau.
Yahya bin Ma’in berkata: “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad. Kami bersahabat dengannya selama 50 tahun. Dan belum pernah kulihat ia membanggakan dirinya atas kami dengan sesuatu yang memang hal itu ada pada dirinya.”
Beliau juga sangat benci apabila namanya disebut-sebut (dipuji) di tengah-tengah manusia, sehingga beliau pernah berkata kepada seseorang: “Jadilah engkau orang yang tidak dikenal, karena sungguh aku benar-benar telah diuji dengan kemasyhuran.”
Beliau menolak untuk dicatat fatwa dan pendapatnya. Berkata seseorang kepada beliau: “Aku ingin menulis permasalahan-permasalahan ini, karena aku takut lupa.” Berkata beliau: “Sesungguhnya aku tidak suka, engkau mencatat pendapatku.”
Beliau adalah seorang yang sangat kuat ibadahnya. Putra beliau yang bernama Abdullah menceritakan tentang kebiasaan ayahnya: ” Dahulu ayahku shalat sehari semalam sebanyak 300 rakaat. Dan tatkala kondisi fisik beliau mulai melemah akibat pengaruh dari penyiksaan yang pernah dialaminya maka beliau hanya mampu shalat sehari semalam sebanyak 150 rakaat.”
Abdullah mengatakan: “Terkadang aku mendengar ayah pada waktu sahur mendoakan kebaikan untuk beberapa orang dengan menyebut namanya. Ayah adalah orang yang banyak berdoa dan meringankan doanya. Jika ayah shalat Isya, maka ayah membaguskan shalatnya kemudian berwitir lalu tidur sebentar kemudian bangun dan shalat lagi. Bila ayah puasa, beliau suka untuk menjaganya kemudian berbuka sampai waktu yang ditentukan oleh Allah. Ayah tidak pernah meninggalkan puasa Senin-Kamis dan puasa ayyamul bidh (puasa tiga hari, tanggal 13, 14, 15 dalam bulan Hijriyah).
Dalam riwayat lain beliau berkata: “Ayah membaca Al-Qur’an setiap harinya 1/7 Al-Qur’an. Beliau tidur setelah Isya dengan tidur yang ringan kemudian bangun dan menghidupkan malamnya dengan berdoa dan shalat.
Suatu hari ada salah seorang murid beliau menginap di rumahnya. Maka beliau menyiapkan air untuknya (agar ia bisa berwudhu). Maka tatkala pagi harinya, beliau mendapati air tersebut masih utuh, maka beliau berkata: “Subhanallah, seorang penuntut ilmu tidak melakukan dzikir pada malam harinya?”
Beliau telah melakukan haji sebanyak lima kali, tiga kali diantaranya beliau lakukan dengan berjalan kali dari Baghdad dan pada salah satu hajinya beliau pernah menginfakkan hartanya sebanyak 30 dirham.

Ujian yang menimpa beliau
Beliau menerima ujian yang sangat berat dan panjang selama 3 masa kekhalifahan yaitu Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Beliau dimasukkan ke dalam penjara kemudian dicambuk atau disiksa dengan berbagai bentuk penyiksaan. Itu semua beliau lalui dengan kesabaran dalam rangka menjaga kemurnian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Di masa itu, aqidah sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (bukan kalamullah) diterima dan dijadikan ketetapan resmi oleh pemerintah.
Sedangkan umat manusia menunggu untuk mencatat pernyataan (fatwa) beliau. Seandainya beliau tidak sabar menjaga kemurnian aqidah yang benar, dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, niscaya manusia akan mengiktui beliau. Namun beliau tetap tegar dan tabah menerima semua ujian tersebut. Walaupun beliau harus mengalami penderitaan yang sangat. Pernah beliau mengalami 80 kali cambukan yang kalau seandainya cambukan tersebut diarahkan kepada seekor gajah niscaya ia akan mati. Namun beliau menerima semua itu dengan penuh kesabaran demi mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah.
Sampai akhirnya, pada masa khalifah Al-Mutawakkil, beliau dibebaskan dari segala bentuk penyiksaan tersebut.

Wafat beliau rahimahullah
Pada Rabu malam tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 241 Hijriyah, beliau mengalami sakit yang cukup serius. Sakit beliau semakin hari semakin bertambah parah. Manusia pun berduyun-duyun siang dan malam datang untuk menjenguk dan menyalami beliau. Kemudian pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awal, di hari yang ke sembilan dari sakitnya, mereka berkumpul di rumah beliau sampai memenuhi jalan-jalan dan gang. Tak lama kemudian pada siang harinya beliau menghembuskan nafas yang terakhir. Maka meledaklah tangisan dan air mata mengalir membasahi bumi Baghdad. Beliau wafat dalam usia 77 tahun. Sekitar 1,7 juta manusia ikut mengantarkan jenazah beliau. Kaum muslimin dan bahkan orang-orang Yahudi, Nasrani serta Majusi turut berkabung pada hari tersebut.
Selamat jalan, semoga Allah merahmatimu dengan rahmat-Nya yang luas dan menempatkanmu di tempat yang mulia di Jannah-Nya.

Maraji’:
1. Musthalah Hadits karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 63-66.
2. Pewaris Para Nabi hal. 49,55,91,94,173,1843. Mahkota yang hilang hal.39
4. Kitab Fadhail Ash-Shahabah jilid I hal 25-32.
5. Siyar A’lamin Nubala
6. Al-Bidayah wan Nihayah
7. Mawa’izh Al-Imam Ahmad

[sumber: http://ulamasunnah.wordpress.com/2011/05/08/imam-ahmad-bin-hanbal-teladan-dalam-semangat-dan-kesabaran/]

Jumat, 19 November 2010

Puasa Arafah dan Idul Adha, Ikut Pemerintah atau Arab Saudi?

Tahun ini, pemerintah Indonesia secara resmi menetapkan bahwa hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 17 November 2010 Masehi, berbeda dengan pemerintah Arab Saudi yang menetapkan bahwa hari raya yang juga disebut hari haji akbar itu jatuh pada sehari sebelumnya, bertepatan 16 November 2010. Ini berarti bahwa jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah pada tanggal 15 November 2010.

Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan, kapan kita yang berada di Indonesia ini berpuasa Arafah dan berhari raya kurban? Apakah tetap mengikuti pemerintah kita atau mengikuti Arab Saudi? Dan apakah memungkinkan kalau puasa Arafahnya mengikuti waktu wukufnya jama’ah haji, sementara idul adhanya mengikuti pemerintah?

Kami akan menyebutkan dua pendapat yang pernah dijelaskan oleh para ulama, yaitu:

Pendapat pertama: puasa Arafah dan idul adha tetap mengikuti pemerintah walaupun berbeda dengan negara Arab Saudi

Ini adalah pendapat yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau pernah ditanya oleh para pekerja yang bertugas di kedutaan Arab Saudi (di negara lain), ketika mereka menghadapi masalah terkait dengan puasa Ramadhan dan puasa Arafah. Mereka tepecah menjadi tiga kelompok:

Kelompok pertama mengatakan: “Kami akan berpuasa dan berbuka mengikuti kerajaan Arab Saudi”.

Kelompok kedua mengatakan: “Kami berbuka dan berpuasa mengikuti negara yang kami bertugas di sana.”

Dan kelompok ketiga mengatakan: “Kami akan berpuasa Ramadhan sesuai dengan negara tempat kami bertugas, namun untuk puasa Arafah, kami mengikuti kerajaan Arab Saudi.”

Maka beliau menjawab:

Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat, apakah jika hilal telah tampak di suatu negeri,

- Kemudian mengharuskan kaum muslimin di seluruh negeri untuk mengikuti negeri tersebut,

- ataukah kewajiban itu hanya bagi yang melihat hilal saja dan juga bagi negeri yang satu mathla’ dengannya,

- atau kewajiban itu juga berlaku bagi yang melihat hilal dan siapa saja yang berada di pemerintahan (negara) yang sama.

Dalam permasalahan ini terdapat beberapa pendapat,

Yang rajih (kuat) adalah bahwasannya permasalahan ini dikembalikan kepada ahlul ma’rifah. Jika dua negeri berada dalam satu mathla’ yang sama, maka keduanya terhitung seperti satu negeri, sehingga jika di salah satu negeri tersebut sudah terlihat hilal, maka hukum ini juga berlaku bagi negeri yang satunya tadi.

Adapun jika dua negeri tadi tidak berada pada satu mathla’, maka setiap negeri memiliki hukum tersendiri. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala. Dan inilah yang sesuai dengan zhahir Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta qiyas.

Dalil dari Al-Qur’an:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [Al-Baqarah: 185]

Dipahami dari ayat ini adalah barangsiapa yang tidak melihat maka tidak diwajibkan baginya berpuasa.

Adapun dalil dari As-Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا

“Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka berpuasalah, dan apabila melihat hilal (syawwal), maka berbukalah (beridul fithrilah.”

Dipahami dari hadits ini adalah jika kita tidak melihat hilal, maka tidak wajib berpuasa ataupun berbuka (beridul fithri).

Adapun dalil qiyas adalah:

Karena waktu mulainya berpuasa dan berbuka itu hanya berlaku untuk negeri itu sendiri dan negeri lain yang waktu terbit dan tenggelamnya matahari adalah sama. Ini adalah hal yang telah disepakati, sehingga anda saksikan bahwa kaum muslimin di Asia sebelah timur mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah baratnya, demikian pula dengan waktu berbukanya. Hal ini terjadi karena fajar di belahan bumi timur terbit lebih dahulu daripada di belahan barat, begitu juga dengan tenggelamnya matahari. Jika perbedaan seperti ini bisa terjadi pada waktu mulainya berpuasa dan berbuka yang itu terjadi setiap hari, maka demikian juga hal itu bisa terjadi pada waktu mulainya berpuasa di awal bulan dan waktu mulainya berhari raya. Tidak ada bedanya antara keduanya.

Namun jika ada dua negeri yang berada dalam satu pemerintahan, dan pemerintah negeri tersebut telah memerintahkan untuk berpuasa atau berbuka (berhari raya), maka wajib mengikuti perintah (keputusan) pemerintah tersebut. Masalah seperti ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan pemerintahlah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.

Berdasarkan ini semua, hendaklah kalian berpuasa dan berbuka (berhari raya) sebagaimana puasa dan berbuka (berhari raya) yang dilakukan di negeri kalian berada (yaitu mengikuti keputusan pemerintah). Sama saja apakah keputusan ini sesuai dengan negeri asal kalian atau berbeda. Begitu juga dengan hari (puasa) Arafah, hendaklah kalian mengikuti negeri yang kalian berada di sana.

Pada kesempatan yang lain, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala juga ditanya:

“Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah dari negeri-negeri yang berbeda disebabkan perbedaan mathla’, apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami berada padanya, ataukah mengikuti ru’yah Haramain (Arab Saudi)?”

Beliau menjawab:

“Permasalahan ini dibangun (muncul) dari perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah munculnya hilal (di suatu daerah) itu berlaku untuk seluruh dunia, ataukah berbeda-beda tergantung perbedaan mathla’nya.

Pendapat yang benar adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan mathla’nya. Misalnya di Makkah terlihat hilal tanggal 9 Dzulhijjah, namun di negari lain, hilal tersebut sudah terlihat sehari sebelumnya, sehingga hari Arafah (di Makkah) menurut negeri itu adalah sudah memasuki tanggal 10 Dzulhijjah. Maka tidak boleh bagi penduduk negeri tersebut untuk berpuasa pada hari itu, karena hari itu adalah hari ‘Idul Adha.

Demikian juga jika munculnya hilal Dzulhijjah di negeri itu sehari setelah ru’yatul hilal di Makkah, maka tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu adalah bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di negeri tersebut. Sehingga penduduk negeri tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka, yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.

Inilah pendapat yang kuat dalam permasalahan ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا

“Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) hendaklah kalian berpuasa, dan jika kalian melihat hilal (Syawwal) hendaknya kalian berbuka (berhari raya).”

Penduduk di daerah yang tidak tampak oleh mereka hilal, maka mereka bukan termasuk orang yang melihatnya.

Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar dan tenggelamnya matahari itu sesuai (mengikuti) daerahnya masing-masing yang berbeda-beda, maka demikian juga penetapan (awal) bulan itu, sebagaimana penetapan waktu harian (mengikuti daerahnya masing-masing).”

Pendapat kedua: puasa Arafah mengikuti Arab Saudi, namun idul adha mengikuti pemerintah

Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Utsman bin ‘Abdillah As-Salimi hafizhahullah, salah seorang ulama besar di Yaman, dan termasuk murid senior Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimauhllah. Dalam salah satu pelajaran yang disampaikan ba’da zhuhur tanggal 3 Dzulhijjah yang lalu, beliau ditanya:

Apakah kita beridul Adha (yakni mulai menyembelih hewan kurban) dengan mengikuti Arab Saudi, sementara kami di Maroko, meskipun hal ini menyelisihi dan mendahului waliyul amr (pemerintah), dan hal ini juga bisa menimbulkan fitnah sebagaimana yang anda ketahui?

Maka beliau menjawab:

Idul Adha wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikuti negeri Al-Haramain (Arab Saudi), karena pelaksanaan ibadah haji berada di sana, sehingga yang dijadikan patokan adalah pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah (sesuai dengan yang di Arab Saudi), maka hendaknya kalian melaksanakan puasa hari Arafah ketika di negara Arab Saudi juga berpuasa, yaitu ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah.

Adapun waliyul amr (pemerintah), baik di Maroko maupun negeri yang lain, tidak boleh bagi mereka untuk menyelisihi umat Islam (yang berpatokan pada pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah di Saudi tersebut).

Namun apabila kalian khawatir terjadinya fitnah, jika kalian sanggup, maka hendaknya kalian menyembelih hewan kurban pada hari nahr secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak mampu, maka pada hari keduanya tidak mengapa. Hari-hari penyembelihan itu banyak, yaitu hari nahr (10 Dzulhijjah), tanggal 11, tanggal 12, dan menurut pendapat yang benar adalah juga tanggal 13 sebagaimana yang dikatakan Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama yang lain.

Sehingga kalian boleh memilih, tidak mengapa bagi kalian untuk mengakhirkan dan mengikuti negeri kalian dalam menyembelih hewan kurban jika khawatir timbul fitnah. Wabillahit taufiq.

Akan tetapi hendaknya kalian tetap merasa bahwa hari Id (yang benar) adalah bersama dengan negeri Saudi Arabia. Semoga Allah memberikan taufik kepada kalian.

Adapun untuk shalat id, maka dilakukan pada hari kedua (dari hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah) selama di negeri tersebut semuanya melaksanakan id bersama dengan pemerintah setempat, sehingga jika khawatir terjadi fitnah, maka boleh mengakhirkan shalat id pada hari kedua.

Kesimpulan

Kaum muslimin di Indonesia -sebagaimana yang telah diumumkan sendiri oleh pemerintah-, diberi keleluasaan untuk memilih waktu puasa Arafah dan hari Id-nya, silakan mengikuti pemerintah atau boleh juga mengikuti Arab Saudi. Dari keterangan para ulama di atas, maka Insya Allah tidak mengapa bagi setiap muslim di negeri ini untuk menentukan waktu puasa dan hari rayanya sesuai dengan pendapat yang menurut dia lebih tepat (tentunya dalam memilih pendapatnya itu harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan kelompoknya), karena masing-masing pendapat tersebut berdasarkan ijtihad para ulama yang bersumber dari dalil-dalil yang syar’i.

Bagi yang mengikuti pendapat pertama, maka dia memiliki dasar:

* Bahwa dari keterangan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin tadi, dalam menentukan waktu masuknya bulan Dzulhijjah, insya Allah Pemerintah Indonesia sudah menempuh upaya-upaya yang sesuai dengan syar’i, yaitu ru’yatul hilal[1], yang kenyataannya pada 29 Dzulqa’dah petang, hilal bulan Dzulhijjah belum nampak, sehingga dilakukan ikmal (menyempurnakan/menggenapkan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari). Ini semua adalah upaya yang sudah sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.[2]
* Dengan mengikuti pemerintah, syi’ar kebersamaan umat Islam di negeri ini akan lebih terjaga, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

الصوم يوم تصومون ، و الفطر يوم تفطرون ، و الأضحى يوم تضحون

“Berpuasa (adalah dilakukan di) hari kalian semua berpuasa, beridul fithri (adalah dilakukan di) hari kalian beridul fithri, dan beridul adha (adalah dilakukan di) kalian beridul adha (melakukan penyembelihan).” [HR. At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah]

Dan bagi yang mengikuti pendapat kedua, dia memiliki dasar:

* Puasa Arafah disesuaikan waktunya dengan waktu wukufnya jama’ah haji di Arafah. Sesuai dengan namanya, bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilakukan ketika jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah. Wallahu a’lam.
* Pemerintah memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih waktu puasa dan hari rayanya, sehingga kalau dia berpuasa dan berhari raya tidak bersamaan waktunya dengan pemerintah, ini bukan termasuk bentuk ketidaktaatan kepada waliyul amr.
* Adapun untuk shalat id-nya, boleh bagi dia untuk melakukannya bersamaan dengan pemerintah karena biasanya mayoritas umat Islam di negeri ini mengikuti pemerintah, sehingga jika dikhawatirkan timbul fitnah, tidak mengapa untuk melakukan shalat id sesuai dengan pemerintah negeri ini, berbeda dengan puasa yang itu merupakan amalan yang tidak nampak.

Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Walaupun pemerintah juga menggunakan metode hisab, namun metode ini tidak teranggap karena tidak sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua dan kepada pemerintah negeri ini.

[2] Berbeda dengan yang dituduhkan oleh kelompok sempalan yang dalam pergerakannya banyak menyelisihi syari’at semisal Majelis Mujahidin (Indonesia) yang menyatakan bahwa penetapan awal Dzulhijjah oleh pemerintah RI adalah tidak sah sebagai pegangan Syar’i karena menyalahi penetapan wukuf Arafah. Demikian maklumat yang mereka keluarkan. Wallahu a’lam, sebagaimana yang biasa mereka lakukan, apakah keputusan ini lebih dominan didorong dari sikap kebencian mereka kepada pemerintah atau karena yang lain?

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=556)

Minggu, 07 November 2010

Rekaman Kajian Buku Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah (Fiqih Berkurban, Idul Adha, dan Hari Tasyrik)

Alhamdulillah link download "Kajian Buku Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah (Fiqih Berkurban, Idul Adha, dan Hari Tasyrik)" yang diadakan hari Jum’at, tanggal 25 Dzulqa’dah 1431 H / 05 Oktober 2010 saat ini sudah kami sediakan untuk didownload. Kajian ini diadakan di Masjid Al-Markaz Al-Islamy Jend. M. Yusuf Makassar dengan moderator Prof. Ali Parman dan pemateri Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi. Silahkan disebar tanpa tujuan komersil, semoga bermanfaat.

Muqaddimah Prof. Ali Parman (Moderator).mp3 (1MB) Muqaddimah Prof. Ali Parman (Moderator).mp3 (1MB, 5th November 2010)

1.   Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah - Ustadz Dzulqarnain.mp3 (11.3MB) 1. Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah – Ustadz Dzulqarnain.mp3 (11.3MB, 5th November 2010)

3.  (Tanya-Jawab) Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah - Ustadz  Dzulqarnain.mp3 (2.4MB) 3. (Tanya-Jawab) Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah – Ustadz Dzulqarnain.mp3 (2.4MB, 5th November 2010)

2.  Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah - Ustadz Dzulqarnain.mp3 (5.5MB) 2. Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah – Ustadz Dzulqarnain.mp3 (5.5MB, 5th November 2010)


Sabtu, 30 Oktober 2010

Kajian Buku Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah (Fiqih Berqurban, Sepuluh Hari Dzulhijjah, dan Hari-hari Tasyriq)

InsyaAllah dengan kemudahan dari Allah, Popes As-Sunnah Makassar dan Pengurus Masjid Al-Markaz Al-Islamy akan mengadakan Kajian Buku “Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah (Fiqih Berqurban, Sepuluh Hari Dzulhijjah, dan Hari-hari Tasyriq)” yang akan diadakan di Masjid Al-Markaz Al-Islamy Jend. M. Jusuf Makassar . Berikut ini adalah rincian info kajian buku tersebut :

Waktu : Hari Jum’at, 25 Dzulqa’dah 1431 H / 5 November 2010
Pukul : Ba’da Shalat Jum’at – Selesai
Tempat : Masjid Al-Markaz Al-Islamy Jend. M. Jusuf Makassar
Pemateri : Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi (Penulis Buku)
Tema : “Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah (Fiqih Berqurban, Sepuluh Hari Dzulhijjah, dan Hari-hari Tasyriq)

Peserta : Umum (Ikhwan dan Akhwat)

InsyaAllah Kajian Buku ini disiarkan Live via www.an-nashihah.com / www.almakassari.com / www.syiarsunnah.com dan disiarkan melalui Radio An-Nashihah 107.5 FM.

Info Panitia : 085242920351

Mohon disebarkan kepada kaum muslimin. Jazakumullah khoir.

Kajian Intensif Sabtu-Ahad (Aqidah Salaf dari Uraian Imam Sufyan Ats-Tsaury dan Al-Manzhumah Al-Mimiyah (Akhlak dan Kriteria Penuntut Ilmu))

InsyaAllah akan diadakan Daurah Kajan Intensif Sabtu-Ahad. Daurah intensif ini akan membahas tuntas 2 kitab aqidah, yaitu Aqidah Salaf dari Uraian Imam Sufyan Ats-Tsaury dan Al-Manzhumah Al-Mimiyah (Akhlak dan Kriteria Penuntut Ilmu). Berikut ini adalah info daurah tersebut :

1. Aqidah Salaf dari Uraian Imam Sufyan Ats-Tsaury
Waktu : 23-24 Syawal 1431 H / 2-3 Oktober 2010
Pukul 09.00 – 14.00 WITA
Pemateri : Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi
Tempat : Ponpes As-Sunnah Makassar

2. Al-Manzhumah Al-Mimiyah (Akhlak dan Kriteria Penuntut Ilmu)
Waktu : 15-16 & 29-30 Dzulqa’dah 1431 H
(23-24 Oktober 2010 & 6-7 November 2010)
Pukul 09.00-14.00 WITA
Pemateri : Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi
Tempat : Ponpes As-Sunnah Makassar

InsyaAllah jika tidak ada halangan, daurah ini bisa didengarkan via www.an-nashihah.com / www.an-nashihah.net / www.almakassari.com. Dan bagi kaum muslimin yang berada di sekitar Kota Makassar bisa mendengarkannya via Radio An-Nashihah di 107.5 FM.

Info : Abu Mu’adz 085242920351

Rabu, 20 Oktober 2010

Penyakit Demam Menghapuskan Dosa

Dari Abu Said Al-Khudri dan dari Abu Hurairah radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5642 dan Muslim no. 2573)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dia berkata: Aku pernah menjenguk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sakit, sepertinya beliau sedang merasakan rasa sakit yang parah. Maka aku berkata:
إِنَّكَ لَتُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا قُلْتُ إِنَّ ذَاكَ بِأَنَّ لَكَ أَجْرَيْنِ قَالَ أَجَلْ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى إِلَّا حَاتَّ اللَّهُ عَنْهُ خَطَايَاهُ كَمَا تَحَاتُّ وَرَقُ الشَّجَرِ
“Sepertinya anda sedang merasakan rasa sakit yang amat berat, oleh karena itukah anda mendapatkan pahala dua kali lipat.” Beliau menjawab, “Benar, tidaklah seorang muslim yang terkena gangguan melainkan Allah akan menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana gugurnya daun-daun di pepohonan.” (HR. Al-Bukhari no. 5647 dan Muslim no. 2571)
Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang berkunjung ke rumah Ummu Sa`ib atau Ummu Musayyab, maka beliau bertanya:
مَا لَكِ يَا أُمَّ السَّائِبِ أَوْ يَا أُمَّ الْمُسَيَّبِ تُزَفْزِفِينَ قَالَتْ الْحُمَّى لَا بَارَكَ اللَّهُ فِيهَا فَقَالَ لَا تَسُبِّي الْحُمَّى فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ كَمَا يُذْهِبُ الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ
“Ada apa denganmua wahai Ummu Sa`ib -atau Ummu Musayyab- sampai menggigil begitu?” Dia menjawab, “Demam! Semoga Allah tidak memberkahinya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kamu mencela penyakit demam, karena dia dapat menghilangkan kesalahan (dosa-dosa) anak Adam, seperti halnya kir (alat peniup atau penyala api) membersihkan karat-karat besi.” (HR. Muslim no. 4575)

Penjelasan ringkas:
Di antara bentuk kesabaran terhadap takdir Allah yang menyakitkan adalah bersabar atas semua penyakit yang menimpa. Dan sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa kesabaran hukumnya adalah wajib dan bukan sunnah. Karenanya barangsiapa yang tidak bersabar menghadapi penyakit yang menimpanya maka sungguh dia telah terjatuh ke dalam dosa yang sangat besar.

Bagaimana caranya seseorang bisa bersabar?
Banyak faktor yang bisa membantu dan memudahkan seseorang untuk bersabar. Di antaranya adalah dengan mengetahui keutamaan orang yang terkena musibah termasuk sakit. ‘Tidak kenal maka tak sayang’, karenanya siapa yang tidak mengenal hakikat dari musibah dan penyakit niscaya dia tidak akan senang untuk sakit, dan sebaliknya siapa yang mengetahui hakikat dari semua musibah dan penyakit niscaya dia bukan hanya akan bersabar tapi justru dia akan bersyukur karena telah tertimpa musibah dan penyakit.

Trus, apa keutamaan orang yang tertimpa musibah dan penyakit?
Sebagiannya sudah disebutkan dalam hadits-hadits di atas yaitu dosa-dosanya akan diampuni selama dia terkena musibah dan penyakit. Dan banyak lagi yang lain bisa dibaca dalam kitab Riyadh Ash-Shalihin karya Imam An-Nawawi pada bab-bab pertama tentang keutamaan sabar.
Karenanya, semakin lama seseorang sakit atau semakin sering seseorang tertimpa musibah maka dosa-dosa yang terhapus akan lebih banyak. Kalau begitu, bukankah orang yang terkena musibah dan penyakit sangat pantas untuk bersyukur kepada Allah.
Karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah menyebutkan 4 tingkatan manusia dalam menghadapi musibah, mulai dari yang terendah sampai ke yang tertinggi:
1. Marah dan tidak bersabar. Baginya dosa yang besar.
2. Sabar. Dia telah selamat dari dosa dan mendapatkan pahala karena kesabarannya
3. Ridha terhadap musibah yang menimpa. Dia mendapatkan pahala tambahan yang jauh lebih besar daripada pahala kesabaran.
4. Syukur. Inilah jenjang tertinggi dalam menghadapi musibah.

Apakah terhapusnya dosa dipersyaratkan sabar?
Ada silang pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Hanya saja yang lebih tepat insya Allah: Bahwa terhapusnya dosa itu sudah terjadi hanya dengan seseorang tertimpa musibah atau penyakit, baik dia bersabar menghadapinya maupun tidak. Hal itu karena dalil-dalil di atas bersifat umum bahwa Allah akan mengampuni dosa hanya dengan seseorang terkena musibah, tanpa menyinggung apakah dia bersabar atau tidak.
Yang jelas orang yang tertimpa musibah dan penyakit akan terhapus dosa-dosanya. Jika dia bersabar maka dia mendapatkan tambahan pahala, tapi jika dia tidak bersabar maka dia telah berbuat dosa yang besar.

http://al-atsariyyah.com/akhlak-dan-adab/penyakit-demam-menghapuskan-dosa.html

Perbedaan Mani, Madzi, Kencing, dan Wadi

Tahukan anda apa perbedaan antara keempat perkara di atas?
Mengetahui hal ini adalah hal yang sangat penting, khususnya perbedaan antara mani dan madzi, karena masih banyak di kalangan kaum muslimin yang belum bisa membedakan antara keduanya. Yang karena ketidaktahuan mereka akan perbedaannya menyebabkan mereka ditimpa oleh fitnah was-was dan dipermainkan oleh setan. Sehingga tidaklah ada cairan yang keluar dari kemaluannya (kecuali kencing dan wadi) yang membuatnya ragu-ragu kecuali dia langsung mandi, padahal boleh jadi dia hanyalah madzi dan bukan mani. Sudah dimaklumi bahwa yang menyebabkan mandi hanyalah mani, sementara madzi cukup dicuci lalu berwudhu dan tidak perlu mandi untuk menghilangkan hadatsnya.

Karenanya berikut definisi dari keempat cairan di atas, yang dari definisi tersebut bisa dipetik sisi perbedaan di antara mereka:
1. Kencing: Masyhur sehingga tidak perlu dijelaskan, dan dia najis berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, dan ijma’.
2. Wadi: Cairan tebal berwarna putih yang keluar setelah kencing atau setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan, misalnya berolahraga berat. Wadi adalah najis berdasarkan kesepakatan para ulama sehingga dia wajib untuk dicuci. Dia juga merupakan pembatal wudhu sebagaimana kencing dan madzi.
3. Madzi: Cairan tipis dan lengket, yang keluar ketika munculnya syahwat, baik ketika bermesraan dengan wanita, saat pendahuluan sebelum jima’, atau melihat dan mengkhayal sesuatu yang mengarah kepada jima’. Keluarnya tidak terpancar dan tubuh tidak menjadi lelah setelah mengeluarkannya. Terkadang keluarnya tidak terasa. Dia juga najis berdasarkan kesepakatan para ulama berdasarkan hadits Ali yang akan datang dimana beliau memerintahkan untuk mencucinya.
4. Mani: Cairan tebal yang baunya seperti adonan tepung, keluar dengan terpancar sehingga terasa keluarnya, keluar ketika jima’ atau ihtilam (mimpi jima’) atau onani -wal ‘iyadzu billah-, dan tubuh akan terasa lelah setelah mengeluarkannya.

Berhubung kencing dan wadi sudah jelas kapan waktu keluarnya sehingga mudah dikenali, maka berikut kesimpulan perbedaan antara mani dan madzi:
a. Madzi adalah najis berdasarkan ijma’, sementara mani adalah suci menurut pendapat yang paling kuat.
b. Madzi adalah hadats ashghar yang cukup dihilangkan dengan wudhu, sementara mani adalah hadats akbar yang hanya bisa dihilangkan dengan mandi junub.
c. Cairan madzi lebih tipis dibandingkan mani.
d. Mani berbau, sementara madzi tidak (yakni baunya normal).
e. Mani keluarnya terpancar, berbeda halnya dengan madzi. Allah Ta’ala berfirman tentang manusia, “Dia diciptakan dari air yang terpencar.” (QS. Ath-Thariq: 6)
f. Mani terasa keluarnya, sementara keluarnya madzi kadang terasa dan kadang tidak terasa.
g. Waktu keluar antara keduanyapun berbeda sebagaimana di atas.
h. Tubuh akan melemah atau lelah setelah keluarnya mani, dan tidak demikian jika yang keluar adalah madzi.
Karenanya jika seseorang bangun di pagi hari dalam keadaan mendapatkan ada cairan di celananya, maka hendaknya dia perhatikan ciri-ciri cairan tersebut, berdasarkan keterangan di atas. Jika dia mani maka silakan dia mandi, tapi jika hanya madzi maka hendaknya dia cukup mencuci kemaluannya dan berwudhu. Berdasarkan hadits Ali -radhiallahu anhu- bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda tentang orang yang mengeluarkan madzi:
اِغْسِلْ ذَكَرَكَ وَتَوَضَّأْ
“Cucilah kemaluanmu dan berwudhulah kamu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)

[Update: Anas bin Malik -radhiallahu anhu- berkata:
أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ حَدَّثَتْ أَنَّهَا سَأَلَتْ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمَرْأَةِ تَرَى فِي مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ, فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا رَأَتْ ذَلِكِ الْمَرْأَةُ فَلْتَغْتَسِلْ. فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: وَاسْتَحْيَيْتُ مِنْ ذَلِكَ. قَالَتْ: وَهَلْ يَكُونُ هَذَا؟ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ, فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ الشَّبَهُ؟! إِنَّ مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيظٌ أَبْيَضُ وَمَاءَ الْمَرْأَةِ رَقِيقٌ أَصْفَرُ فَمِنْ أَيِّهِمَا عَلَا أَوْ سَبَقَ يَكُونُ مِنْهُ الشَّبَهُ
“Bahwa Ummu Sulaim pernah bercerita bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam tentang wanita yang bermimpi (bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila perempuan tersebut bermimpi keluar mani, maka dia wajib mandi." Ummu Sulaim berkata, "Maka aku menjadi malu karenanya". Ummu Sulaim kembali bertanya, "Apakah keluarnya mani memungkinkan pada perempuan?" Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Ya (wanita juga keluar mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan (anak dengan ibunya)? Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani perempuan itu encer dan berwarna kuning. Manapun mani dari salah seorang mereka yang lebih mendominasi atau menang, niscaya kemiripan terjadi karenanya." (HR. Muslim no. 469)
Imam An-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (3/222), "Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung dalam menjelaskan bentuk dan sifat mani, dan apa yang tersebut di sini itulah sifatnya di dalam keadaan biasa dan normal. Para ulama menyatakan: Dalam keadaan sehat, mani lelaki itu berwarna putih pekat dan memancar sedikit demi sedikit di saat keluar. Biasa keluar bila dikuasai dengan syahwat dan sangat nikmat saat keluarnya. Setelah keluar dia akan merasakan lemas dan akan mencium bau seperti bau mayang kurma, yaitu seperti bau adunan tepung.
Warna mani bisa berubah disebabkan beberapa hal di antaranya: Sedang sakit, maninya akan berubah cair dan kuning, atau kantung testis melemah sehingga mani keluar tanpa dipacu oleh syahwat, atau karena terlalu sering bersenggama sehingga warna mani berubah merah seperti air perahan daging dan kadangkala yang keluar adalah darah.”]

Tambahan:
1. Mandi junub hanya diwajibkan saat ihtilam (mimpi jima’) ketika ada cairan yang keluar. Adapun jika dia mimpi tapi tidak ada cairan yang keluar maka dia tidak wajib mandi. Berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri secara marfu’:
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Sesungguhnya air itu hanya ada dari air.” (HR. Muslim no. 343)
Maksudnya: Air (untuk mandi) itu hanya diwajibkan ketika keluarnya air (mani).
2. Mayoritas ulama mempersyaratkan wajibnya mandi dengan adanya syahwat ketika keluarnya mani -dalam keadaan terjaga. Artinya jika mani keluar tanpa disertai dengan syahwat -misalnya karena sakit atau cuaca yang terlampau dingin atau yang semacamnya- maka mayoritas ulama tidak mewajibkan mandi junub darinya. Berbeda halnya dengan Imam Asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm yang keduanya mewajibkan mandi junub secara mutlak bagi yang keluar mani, baik disertai syahwat maupun tidak. Wallahu a’lam.
Demikian sekilas hukum dalam masalah ini, insya Allah pembahasan selengkapnya akan kami bawakan pada tempatnya.

http://al-atsariyyah.com/fiqh/perbedaan-mani-madzi-kencing-dan-wadi.html

Makalah Ringkas Manasik Haji & Umrah

Al-Ustadz .Abdul Qodir Abu Fa’izah,Lc

Manasik Haji & Umroh

Manasik haji yang afdhol dan utama adalah tamattu’, yaitu seorang melakukan
umrah pada bulan-bulan haji (Syawwal, Dzulqo’dah, dan awal bulan
Dzulhijjah) yang diakhiri tahallul. Kemudian dilanjutkan kegiatan haji pada
tanggal 8 Dzulhijjah dengan memakai ihram menuju Mina.Intinya, dimulai
dengan umrah, lalu dilanjutkan dengan haji.


Tata Cara Umrah (bagi haji tamattu’)

Ihram:

Sebelum pakai ihram, maka mandilah, pakailah minyak wangi
pada badan , bukan pada pakaian.q

Lalu pakailah ihram bagi pria. Wanita tetap memakai jilbab
panjang/kerudung.q

Ketika di miqot ,menghadaplah ke kiblat sambil
membaca doa masuk ihram:q

لَبََّيْـكَ اللهُمَّ بعُمْرَََةٍ

“Ya Allah aku penuhi panggilanmu melaksanakan umrah”.

Setelah itu, perbanyak membaca talbiyah yang berbunyi:q

لـَبَّيْـكَ اللهُمَّ لـَبَّيْكَ, لـَبََّيْكَ لا شَريْكَ لَكَ لَبَّيْكَ,
إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَة لَكَ وَالْمُلْكَ لا شَريْكَ لَكَ

Talbiyah ini dibaca hingga tiba di Makkah.

Jika seorang sudah ihram dan baca doa ihram di miqot, maka
telahq
diharamkan baginya melakukan perkara berikut: Jimak beserta
pengantarnya,melakukan dosa, debat dalam perkara sia-sia,memakai pakaian biasa
yang berjahit, tutup kepala bagi pria, pakai parfum, memotong/cabut rambut dan
bulu, memotong kuku, berburu, melamar, dan akad nikah.

Namun dibolehkan perkara berikut: Mandi, garuk badan,
menyisiriq
kepala, bekam, cium bau harum, menggunting kuku yang hampir patah,melepas gigi
palsu, bernaung pada sesuatu yang tak menyentuh kepala-seperti, payung, mobil,
pohon, bangunan, dll-, memakai ikat pinggang, memakai sandal, cincing, jam dan
kaca mata.


Tawaf

Putuskan talbiyah, jika tiba di Makkah.q

Masuk masjidil Haram sambil baca doa masuk masjid:q

اللّهُمَّ افـْتَحْ لِيْ أبْوَابَ رَحْمَتِكَ

Tawaflah dari Hajar Aswad sambil menampakkan lengan kananq

Jika tiba di Hajar Aswad , bacalah doa: “Bismillahi wallahu
akbar”q
sambil cium Hajar Aswad atau jika tak bisa diisyaratkan dengan tangan kanan.
Lalu mulailah berputar dengan perbanyak doa dan dzikir.

Tiba di Rukun Yamani, maka usap Rukun Yamani. Setelah itu
baca doa ini:q

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَة وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَة وَقِـنَا
عَـذَابَ النَّار

Baca doa ini dari Rukun Yamani Sampai ke Hajar Aswad.

Demikianlah seterusnya sampai selesai 7 putaran yang
diakhiri di Hajar Aswad atau garis lurus ke Hajar Aswad.q

Usai tawaf, sholat sunnatlah dua raka’at di belakang maqom
Ibrahim q
menghadap kiblat dengan membaca Al-Fatihah dan Al-Kafirun dalam raka’at
pertama.Lalu Al-Fatihah dan Al-Ikhlash dalam raka’at.

Belakangilah kiblat untuk menuju ke kran-kran air Zam-Zam.
Minumq
air Zam-Zam sebanyaknya, lalu siram kepala, tapi jangan mandi atau wudhu
disitu!!

Usai minum, datanglah ke Hajar Aswad/garis lurus HajarAswad
untukq
mencium atau isyarat kepadanya sambil baca: “Bismillahi wallahu akbar”.

Setelah itu, belakangi kiblat. Maka disana anda temukan
bukit Shofa untuk melaksanakan sa’i.q


Sa’i

Mendakilah ke shofa sambil berdoa:q

إنَّ الصَّفا وَالْمَرْوَة مِنْ شَعَائِر ِاللهَ, أبْدَأ بمَا بَدَأ اللهُ
به

Jika telah berada di atas Shofa, menghadap ke kiblat , maka
bacalahq
Allahu akbar (3X), dan Laa ilaaha illallah (3X) sambil angkat tangan berdoa:

لا إلهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَريْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ
الْحمد وهو على كل شيئ قدير

لا إله إلا الله وحده , أنجز وعده ونصر عبده وهزم الأحزاب وحده

Ini dilakukan tiga kali. Setiap kali selesai membaca doa ini, maka dianjurkan
berdoa banyak dan doanya bebas. Tak ada doa khusus. Silakan pilih doa sendiri.

Setelah itu berjalanlah dengan pelan menuju bukit Marwah. Jika
tibaq
dibatas/isyarat lampu hijau, berlarilah semampunya hingga diisyarat berikutnya
yang juga warna hijau.

Jika telah lewat isyarat tsb, jalanlah pelan hingga tiba di
Marwah.q

Kalau sudah di atas Marwah, baca lagi Allahu akbar (3X), dan
Laa ilaaha illallah (3X) sambil angkat tangan berdoa:q

لا إله إلا الله وحده لا شريك له, له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير

لا إله إلا الله وحده , أنجز وعده ونصر عبده وهزم الأحزاب وحده

Ini dilakukan tiga kali. Setiap kali selesai membaca doa ini, maka dianjurkan
berdoa banyak dan doanya bebas. Tak ada doa khusus. Silakan pilih doa sendiri.

Dari Shofa ke Marwah, terhitung satu putaran. Lalu dari
Marwah keq
Shofa, itu sudah dua putaran. Intinya: bilangan genap selalu di Shofa, dan
ganjil di Marwah. Jadi, 7 putaran yang akan kita lakukan berakhir di Marwah

Jika selesai 7 putaran yang tetap diakhiri doa di atas, makaq
keluarlah dari Marwah ke tukang cukur dan lakukan tahallul. Bagi pria rambut
dicukur rata-tanpa digundul-, dan bagi wanita potong ujung rambut seukuran 1
ruas jari.Wanita usahakan bawa gunting sendiri sehingga bisa potong sendiri.

Nah, selesailah umrah kita dengan tahallul tsb. Sekarang
bolehq
pakai baju biasa dan melakukan beberapa hal yang dilarang dalam umrah, selain
ma’shiyat. Boleh jimak dengan istri, pakai parfum, potong kuku,dll.


Tata Cara Haji

Adapun tata haji secara ringkas dan sesuai sunnah, maka silakan ikuti petunjuk
dan amalan-amalan berikut ini:

Ihram

Usai melaksanakan umrah, kita tunggu tanggal 8 Dzulhijjah
yangq
disebut “Hari Tarwiyah”.Maka mulailah ihram di hotel masing-masing di Makkah
yang diawali dengan mandi, dan pakai parfum di badan, bukan di pakaian ihram.

Setelah pakai ihram, bacalah doa ihram:q

لبيك اللهم حجة


Mabit/Bermalam di Mina

Lalu berangkatlah ke Mina pada pagi hari setelah terbit
matahari, tanggal 8 Dzulhijjah tsb.q

Sesampai di Mina, qoshor ,tanpa di jama’ antara sholat
Zhuhur danq
Ashar. Artinya: Kerjakan sholat Zhuhur 2 raka’at pada waktunya dan Ashar dua
raka’at pada waktunya.

Demikian pula Sholat Maghrib dan Isya’ diqoshor, tanpa
dijama’.q

Bermalamlah di Mina agar bisa sholat Shubuh disana
sebagaimana sunnah Nabi –Shollallahu alaihi wasallam-.q


Wuquf/Berdiam Diri di Arafah

Usai sholat Shubuh di Mina, berangkatlah ke Arafah setelah
terbitq
matahari.Waktu itu sudah tanggal 9 Dzulhijjah.Sambil bertalbiyah.

Tiba di Arafah lakukan sholat Zhuhur dan Ashar dua-dua
raka’at, yaitu dijama’taqdim dan qoshor.q

Jika anda sudah jelas berada dalam batas Arafah, berdolah
sambilq
angkat tangan.Disini tak ada doa yang diwajibkan, bebas berdoa. Namun jika mau
berdoa, maka pakailah doa Nabi-Shollallahu alaih wasallam- dan perbanyak baca:

لا إله إلا الله وحده لا شريك له, له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير

Tetaplah berdoa sampai tenggelam matahari. Ingat jangan
sampaiq
waktu kalian habis bicara dan jalan. Gunakan baik-baik untuk berdoa karena
Allah Ta’ala mendekat ke langit dunia di hari Arafah.

Ingat jangan sampai tinggalkan Arafah sebelum matahari
terbenam !!q


Mabit/Bermalam di Muzdalifah

Tinggalkanlah Arafah setelah matahari terbenam menuju
Muzdalifah.q

Setiba di Muzdalifah, langsung kerjakan sholat Maghrib dan
Isya’q
dengan jama’ta’khir dan qoshor.Artinya: Maghrib dikerjakan di waktu Isya’ tetap
3 raka’at, dan Isya’ 2 raka’at.

Usai sholat, istirahat dan tidurlah, jangan ada kegiatan
karenaq
besok ada kegiatan berat. Jika mau, berwitir sebelum tidur seperti kebiasaan
anda sehari-hari. Tak usah pungut batu di malam itu seperti sebagian orang
karena itu juga tak ada sunnahnya !

Bermalamlah di Muzdalifah sampai shubuh agar bisa kerjakan
sholat shubuh disana.q

Usai sholat shubuh, duduklah banyak berdzikir dan berdoa
sambilq
angkat tangan atau bertalbiyah. Hindari dzikir jama’ah karena tak ada
tuntunannya dalam agama kita.

Jangan tinggalkan Muzdalifah selain orang-orang lemah,
sepertiq
orang tua lansia, wanita, anak kecil, dan petugas haji. Orang ini boleh pergi
setelah pertengahan malam.


Melempar Jumrah Aqobah/Kubro

Tinggalkan Muzdalifah sebelum terbit matahari pada tanggal
10q
Dzulhijjah hari ied , sambil bertakbir, dan bertalbiyah menuju Mina melempar.

Boleh pungut batu yang seukuran antara biji coklat dan biji
kacangq
dimana saja, baik di perjalanan menuju Mina atau di Mina sendiri ataupun dimana
saja.

Lemparlah Jumrah Aqobah setelah terbitnya matahari sebanyak
7q
lemaparan batu kecil yang anda pungut tadi. Ketika melempar menghadap Jumrah,
maka jadikan Makkah sebelah kirimu, dan Mina (lokasi perkemahan) sebelah
kananmu.

Setiap kali melemparkan batu kecil tsb, ucapkanlah “Allahu
akbar”q
dan usahakan masuk ke dalam kolam. Jika meleset dari kolam, ulangi.Dan Seusai
melempar, putuskan talbiyah.


Mencukur Rambut/Tahallul Pertama

Seusai melempar, maka gundullah rambut kalian atau
pendekkan/cukurq
rata. Adapun wanita, maka potong rambut sendiri dengan gunting yang dibawa
seukuran 1 ruas jari.

Dengan ini berarti anda telah melakukan tahallul awal. Maka
andaq
sekarang boleh pakaian biasa, gunakan parfum, gunting kuku dan bulu, dll. Namun
Jimak dengan istri belum boleh !!


Menyembelih Kambing

Sembelihlah kambing pada tanggal 10 Dzulhijjah atau
setelahnya pada hari-hari tasyriq (tanggal 11,12, dan 13 Dzulhijjah).q

Dilarang keras menyembelih kambing sebelum tanggal 10
Dzulhijjah.q
Barangsiapa yang menyembelih sebelum tgl tsb, maka sembelihannya tidak sah,
harus diganti, atau puasa 3 hari pada hari-hari tasyriq, dan 7 hari di
Indonesia.

Bagi petugas pembeli dan penyembelih kambing yang biasanya
dijabatq
oleh ketua kloter atau pembimbing, maka kami nasihatkan agar takut kepada Allah
jangan sampai menyembelih hadyu/kambingnya sebelum tgl 10.Jika kalian lakukan
itu, maka kalian telah berdosa karena membuat ibadah orang kurang paahalanya.
Jika pengurus ambil keuntungan dari kambing yang disembelih sebelum tgl 10
tersebut, maka ia telah memakan harta orang dengan cara yang haram dan batil.
Bertaqwalah kepada Allah dan takut pada hari kalian akan diadili di padang
Mahsyar !!

Menyembelih hewan korban bagi jama’ah haji tidaklah wajib,
yangq
wajib hari itu adalah menyembelih kambing yang memang wajib dilakukan oleh haji
tamattu’ atau qiron. Kambing ini disebut “hadyu”. Jangan sampai tertipu dengan
sebagian orang yang tidak takut kepada Allah yang mewajibkan potong hewan
korban di waktu itu, padahal tidak wajib karena hanya semata-mata ingin meraih
keuntungan yang banyak !!


Tawaf Ifadhoh

Setelah cukur dan memakai baju biasa, berangkatlah menuju
Makkah untuk tawaf ifadhoh.q

Lakukan tawaf sebagaimana waktu umrah sebanyak 7 putaran,
laluq
sholat sunnat 2 raka’at di belakang maqom Ibrahim.Kemudian mengarahlah ke
kran-kran air Zamzam untuk minum sebanyak-banyak dan siram kepala. Setelah itu
kembali ke Hajar Aswad cium atau lambaikan tangan pada garis lurus dengan Hajar
Aswad.


Sa’i

Berikutnya anda menuju ke shofa dan lakukan amalan-amalanq
sebagaimana telah dijelaskan pada “Tata Cara Umrah”, tadi di atas.

Usai 7 Putaran, maka anda dianggap telah bertahallul
kedua, namunq
tanpa bercukur lagi. Maka dengan ini anda dibolehkan melakukan jimak dengan
istri.

Tawaf Ifadhoh dan sa’I boleh dilakukan hari-hari tasyriq
atau sisaq
hari-hari haji lainnya selama Anda disana. Tapi lebih cepat lebih bagus. Namun
ingat, jangan sampai jimak sebelum lakukan 2 hal ini.


Mabit/Bermalam di Mina

Selesai tawaf Ifadhoh dan sa’I di Makkah,maka kembalilah ke
Minaq
untuk bermalam selama 2 atau 3 hari. Bermalam disana wajib.

Selama 3 hari di Mina, sholat Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan
Isya’q
dikerjakan secara qoshor. Artinya dikerjakan Zhuhur dua raka’at pada waktunya,
Ashar 2 raka’at pada waktunya, dan Maghrib tetap pada waktunya, serta Isya’ 2
raka’at pada waktunya.

Siang harinya tgl 11 setelah shalat zhuhur, berangkatlah ke
3q
jumrah untuk melempar, dan ambil batu dimana saja sebanyak 21 biji.

Berikut anda berangkat ke tempat pelemparan, dan lemparlah 3
jumrahq
tsb, yang dimulai dengan Jumrah Shughra dekat Masjid Khoif sebanyak 7 lemparan.

Di Jumrah Shughra ini, lakukan beberapa amalan berikut: 1-
Ketikaq
melempar disini menghadaplah ke arah Jumrah dengan menjadikan Makkah sebelah
kirimu & Mina (lokasi perkemahan) sebelah kananmu, 2- Lemparlah Jumrah
shughra dengan batu kecil sambil ucapkan “Allahu akbar” setiap kali melempar,
3-Carilah tempat sunyi untuk berdo’a disini menghadap kiblat sambil angkat
tangan.

Lalu anda menuju ke Jumrah Wustho (tengah) dan lakukanlah 3
amalan yang anda lakukan tadi di Jumrah Wustho.q

Selanjutnya menuju ke Jumrah Kubro yg biasa disebut “Jumrahq
Aqobah”, dan lakukan juga amalan disini yang anda lakukan di Jumrah Shughro dan
Wustho. Cuma disini anda tak dianjurkan berdoa. Tapi lansung pergi !! Inilah
yang dilakukan pada tgl 11.

Pada tgl 12q & 13 Dzulhijjah, lakukanlah saat itu apa yang anda
lakukan pada tgl 11 tadi di atas.

Jika anda tergesa-gesa karena ada hajat, anda boleh
tinggalkan Minaq
pada tgl 12 Dzulhijjah. Ingat jangan sampai kedapatan waktu maghrib. Jika
kedapatan maghrib sementara masih di Mina, maka anda harus bermalam lagi.

Jika anda selesai melempar tgl 13 Dzulhijjah-dan inilah yg
afdhol-,q
maka anda dianggap telah menyelesaikan ibadah haji. Semoga ibadah hajinya
ikhlash dan mabrur.


Tawaf Wada’/Tawaf Perpisahan

Tawaf wada’ hukumnya wajib dilakukan jika seseorang sudah
hendakq
bersafar meninggalkan Makkah. Kota kenangan dalam beribadah dan taat kepada
Allah. Semoga Allah masih perkenankan kita kembali lagi ke Makkah.

Lakukanlah tawaf wada’ sebagaimana halnya tawaf ifadhoh dan
tawaf umrah. Tapi dengan memakai pakaian biasa.q

Jika anda ingin-sebelum keluar dari Masjidil, berdoalah diq
Multazam, yaitu suatu tempat antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah. Berdoa’alah
disini banyak-banyak tanpa harus angkat tangan. Doa dengan sungguh-sungguh
sambil menempelkan dada, wajah, kedua lengan dan tangan untuk mengingat akan
kondisi kita di padang Mahsyar dan menunjukkan di hadapan Allah akan kelemahan
kita dan butuhnya kita kepada-Nya. Ini merupakan sunnah. Namun jangan diyakini
bahwa kita tempelkan badan kita disitu karena ada berkahnya. Itu hanya sekedar
menunjukkan perasaan butuh dan rendah diri kita kepada Allah,serta sekedar
ikuti sunnah.

Sebelum kembali, berilah kabar gembira keluarga di
Indonesia. Laluq
sesampai di Indonesia, jangan langsung ke rumah, tapi ke masjid dulu sholat
sebagaimana sunnah Nabi –Shollallahu alaihi wasallam.

Demikian manasik yang bisa tuliskan disini menurut sunnah.
Wallahuq
a’lam. Semoga ini merupakan amal sholeh kami. Akhir doa kami, alhamdulillah
washollallahu alaih wasallam.