1. Tidak tuma’ninah dalam sholat
Masalah ini termasuk masalah yang kejahilan merebak di dalamnya, dan merupakan maksiat yang sangat jelas karena tuma`ninah adalah rukun yang sholat tidak teranggap syah tanpanya. Hadits al-musi`u sholatuhu (orang yang jelek sholatnya) sangat menunjukkan akan hal tersebut. Makna tuma`ninah adalah orang yang sholat tenang di dalam ruku’nya, i’tidalnya, sujudnya, dan ketika duduk di antara dua sujud, dengan cara dia tinggal sejenak sampai setiap tulang menempati tempatnya, dan dia jangan tergesa-gesa untuk berpindah dari suatu rukun (sholat) sampai dia tuma`ninah dan setiap persendian telah menempati posisinya.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada al-musi`u sholatuhu (orang yang jelek sholatnya) tatkala dia tergesa-gesa dan tidak tuma`ninah:
اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
”Kembali ulangi sholatmua, karena (tadi) kamu belum sholat”.
Dan dalam hadits Rifa’ah (juga) dalam kisah al-musi`:
ثُمَّ يُكَبِّرَ وَيَرْكَعَ فَيَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ وَتَسْتَرْخِي, ثُمَّ يَقُوْلُ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ, وَيَسْتَوِيَ قَائِمًا حَتَّى يَأْخُذَ كُلُّ عَظْمٍ مَأْخَذَهُ
“Kemudian dia bertakbir lalu ruku’ dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya sampai semua tulang-tulangnya tenang dan rileks. Kemudian dia membaca “Sami’allahu liman hamidah” dan tegak berdiri sampai semua tulang kembali menempati tempatnya masing-masing”.
2. Sengaja mendahului dan menyelisihi imam.
Ini membatalkan sholat atau (minimal) membatalkan raka’at. Sehingga barangsiapa yang ruku’ sebelum imamnya, maka batal raka’atnya kecuali jika dia ruku’ kembali setelah ruku’nya imam, demikian halnya pada seluruh rukun-rukun sholat. Maka yang wajib bagi orang yang sholat adalah mengikuti dan mencontoh imamnya, jangan dia mendahuluinya dan jangan pula terlambat dalam mengikutinya dalam satu rukun (gerakan) atau lebih.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan selainnya dengan sanad yang shohih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ: فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا وَلاَ تُكَبِّرُوْا حَتَّى يُكَبِّرَ, وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوْا وَلاَ تَرْكَعُوْا حَتَّى يَرْكَعَ
“Tidaklah seorang imam dijadikan sebagai imam kecuali untuk diikuti; maka jika dia bertakbir maka bertakbirlah kalian dan janganlah kalian bertakbir sampai mereka sudah bertakbir, jika dia ruku’ maka ruku’lah kalian dan janganlah kalian ruku’ sampai mereka sudah ruku’ …”. sampai akhir hadits. Asal haditsnya ada dalam Ash-Shohihain, dan juga diriwayatkan semisalnya oleh Imam Al-Bukhary dari Anas -radhiyallahu ‘anhu-.
Dimaafkan dalam masalah ini orang yang lupa dan orang yang jahil.
3. Berdiri menyempurnakan raka’at yang tertinggal sebelum imam melakukan salam kedua.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لاَ تَسْبِقُوْنِي بِالرُّكُوْعِ وَلاَ السُّجُوْدِ وَلاَ الْاِنْصِرَافِ
“Janganlah kalian mendahuluiku dalam hal ruku’, tidak pula dalam hal sujud, dan juga dalam hal inshorof”.
Para ulama berkata, “Makna inshirof (pergi) adalah salam”.
Salam dikatakan inshirof karena orang yang sholat sudah dibolehkan pergi setelah salam, dan dia (imam) dianggap inshirof setelah salam yang kedua.
Maka orang yang masbuk hendaknya menunggu sampai imam menyempurnakan sholatnya, kemudian setelah itu baru dia berdiri lalu menyempurnakan dan mengqodo` raka’at yang luput darinya, wallahu A’lam.
4. Melafadzkan niat saat hendak sholat.
Ini adalah bid’ah, dan telah berlalu dalil-dalil akan haramnya berbuat bid’ah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sama sekali tidak pernah melafadzkan niat untuk sholat, Imam Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata dalam Zadul Ma’ad atau dalam Al-Hadyun Nabawy, “Kebiasaan beliau (Nabi) jika berdiri untuk sholat, beliau mengucapkan, ["Allahu Akbar"] dan tidak membaca apapun sebelumnya dan beliau juga tidak melafadzkan niat sama sekali. Beliau juga tidak pernah mengucapkan, ["Usholli lillahi sholata kadza mustaqbilal qiblati arba'a raka'atin imaman aw ma`muman" (Saya berniat melakukan sholat ini karena Allah dengan menghadap kiblat, 4 raka'at, sebagai imam atau sebagai ma`mum)]. Dan beliau juga tidak mengucapkan, ["ada-an"], tidak pula ["qodho-an"], dan tidak pula ["fardhol waqti"]. Ini adalah 10 bid’ah, yang sama sekali tidak pernah dinukil dari beliau dalam sanad yang shohih, tidak pula yang dho’if (lemah), tidak secara musnad (bersambung) dan tidak pula mursal (terputus) satupun lafadz darinya. Bahkan tidak pernah dinukil dari seorangpun dari para sahabat, tidak dianggap baik oleh seorangpun dari tabi’in dan tidak pula oleh Imam Empat”. Selesai ucapan beliau.
5. Mengangkat pandangan ke atas dalam sholat atau berpaling ke kanan dan ke kiri tanpa ada keperluan.
Adapun mengangkat pandangan ke atas, maka hal ini adalah terlarang dan telah datang ancaman bagi pelakunya. Jabir bin Samuroh telah meriwayatkan hadits, beliau berkata, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلّيْهِمْ
”Hendaknya orang-orang yang mengangkat penglihatan mereka ke langit dalam sholat, berhenti dari perbuatan mereka itu. Atau pandangan mereka tidak akan kembali lagi kepada mereka”. Riwayat Muslim.
Adapun berpaling tanpa ada keperluan, maka hal ini mengurangi (nilai) sholat seorang hamba sepanjang tubuhnya tidak seluruhnya berubah arah, jika tubuhnya sudah berubah arah maka sholatnya batal. Dari ‘A`isyah -radhiallahu ‘anha- beliau berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- perihal berpaling dalam sholat, maka beliau bersabda:
هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ
“Itu adalah curian yang setan curi dari sholat seorang hamba”. Riwayat Al-Bukhary.
Dan dalam riwayat At-Tirmidzy dan beliau menshohihkannya:
إِيَّاكَ وَالْاِلْتِفَاتِ فِي الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ هَلَكَةٌ
“Hati-hati kalian dari menoleh dalam sholat, karena sesungguhnya itu adalah kebinasaan”. sampai akhir hadits.
Dan masih ada hadits-hadits yang lain berkenaan dengan masalah berpaling (dalam sholat).
6. Tidak mengangkat khimar ke atas kepala dalam sholat bagi wanita atau tidak menutup kedua kakinya.
Aurat wanita dalam sholat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya, tapi tidak mengapa baginya untuk menutup wajahnya jika ada lelaki yang lewat dan semisalnya. Maka yang wajib atasnya adalah memakai khimar, yaitu kain yang menutupi kepala dan dada, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima sholat wanita (yang sudah) haid (baca: balig) kecuali dengan memakai khimar”. Riwayat Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`i dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan selainnya
Dan juga wajib menutup kedua kaki berdasarkan hadits:
اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
“Wanita adalah ‘aurat”. Riwayat At-Tirmidzy dengan sanad yang shohih.
Dan semakna dengannya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Abu Daud, dan selain keduanya dari Muhammad bin Zaid bin Qonfadz dari ibunya bahwa dia bertanya kepada Ummu Salamah, istri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Pakaian apakah yang dipakai oleh seorang wanita dalam sholat?”, maka beliau menjawab:
تُصَلِّي فِي الْخِمَارِ وَالدِّرْعِ السَّابِغِ إِذَا غَيَّبَ ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ
“Dia sholat dengan memakai khimar dan pakaian yang luas sampai kedua kakinya tertutupi”.
Dan semakna dengannya juga dalam hadits Ummu Salamah, “Hendaknya dia (wanita tersebut) menurunkannya (pakaiannya) sepanjang satu dziro’ (dari mata kaki)”.
7. Tidak takbiratul ihram bagi masbuk yang mendapati imam sedang ruku’.
Ini adalah kesalahan besar karena takbiratul ihram adalah rukun sholat, maka wajib baginya melakukan takbiratul ihram dalam keadaan dia berdiri, kemudian setelah itu baru boleh baginya untuk ruku’ bersama imam. Dan takbiratul ihram sudah mencukupi takbir untuk ruku’ (takbir intiqol), tapi jika dia bertakbir untuk ihram (takbiratul ihram) lalu bertakbir juga untuk ruku’ maka maka itu yang lebih sempurna dan lebih berhati-hati. Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- meriwayatkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ يُكَبِّرُ حِيْنَ يَقُوْمُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِيْنَ يَرْكَعُ
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- jika sholat, selalu bertakbir ketika berdiri kemudian bertakbir ketika ruku’”.
8. Bermain-main dengan menggunakan pakaian, jam tangan, atau yang lainnya.
Amalan ini menafikan kekhusyukan, dan telah berlalu dalil-dalil (akan disyari’atkannya) khusyu’ dalam masalah ke-5. Dan sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah melarang untuk menyentuh batu kerikil dalam sholat karena bisa menafikan kekhusyukan, beliau bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاَةِ فَلاَ يَمْسَحِ الْحَصَى فَإِنَّ الرَّحْمَةَ تُوَاجِهُهُ
“Jika salah seorang di antara kalian berdiri dalam sholat, maka janganlah dia menyapu kerikil (di tempat sujudnya), karena rahmat (Allah) berada di depannya”. Riwayat Ahmad dan Ashhabus Sunan dengan sanad yang shohih.
Dan tidak jarang perbuatan sia-sia itu bertambah sampai menjadi gerakan yang banyak yang mengeluarkan sholat dari gerakan asalnya, sehingga sholat bisa menjadi batal.
9. Memejamkan kedua mata dalam sholat tanpa ada keperluan.
Ini adalah perkara yang makruh, Ibnul Qoyyim -rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk tuntunan beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memejamkan kedua mata dalam sholat”. Beliau (juga) berkata, “Para ahli fiqhi berselisih pendapat tentang makruhnya, Imam Ahmad dan selain beliau memakruhkannya, mereka berkata, ["Ini adalah perbuatan orang-orang Yahudi (dalam sholat mereka)"] dan sebagian lain membolehkannya dan tidak memakruhkannya, mereka berkata, ["Perbuatan ini lebih cepat menghasilkan kekhusyukan yang merupakan mana dia merupakan ruh, rahasia, dan maksud dari sholat.
Yang benarnya adalah dikatakan, ["Jika membuka mata tidak menghilangkan kekhusyukan maka ini yang paling afdhol. Tapi jika dengannya (membuka mata) akan menghalangi dia untuk khusyu' karena di kiblatnya ada semacam hiasan, at-tazrawiq, atau yang semacamnya dari hal-hal yang bisa mengganggu hatinya, maka ketika itu tentunya tidak dimakrukan untuk menutup mata"]. Dan pendapat yang menyatakan disunnahkannya dalam keadaan di atas lebih mendekati ushul dan maksud syari’at dibandingkan pendapat yang menyatakan makruhnya, wallahu A’lam”. Selesai ucapan Ibnul Qoyyim -rahimahullah-.
10. Tidak meluruskan dan merapatkan (arab: taswiyah) shof-shof.
Allah telah memerintahkan untuk menegakkan (arab: iqomah) sholat:
وَأَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ
“Tegakkanlah shalat”. (QS. An-Nur: 56, Ar-Rum: 31, dan Al-Muzzammil: 20)
Dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ, فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ
“Luruskanlah shof-shof kalian, karena sesungguhnya pelurusan shof termasuk menegakkan sholat”. Riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari Anas.
Dan Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dari An-Nu’man bin Basyir -radhiallahu ‘anhu-:
لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Demi Allah, kalian harus benar-benar meluruskan shof-shof kalian atau Allah betul-betul akan membuat hati-hati kalian saling berselisih”.
Dan telah datang perintah untuk meluruskan dan merapatkan shaf-shaf dan anjuran terhadapnya dalam beberapa hadits.
11. Kurang perhatian untuk sujud di atas tujuh tulang, yakni: Jidad bersama hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan jari-jari kedua kaki.
Dari Al-’Abbas bin ‘Abdil Muththolib -radhiallahu ‘anhu- bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا سَجَدَ الْعَبْدُ سَجَدَ مَعَهُ سَبْعَةُ آرَابٍ: وَجْهُهُ وَكَفَّاهُ وَرُكْبَتَاهُ وَقَدَمَاهُ
“Jika seorang hamba bersujud, maka ikut pula sujud bersamanya tujuh tulang: Wajahnya, kedua telapak tangannya, kedua lututnya, dan kedua kakinya”. Riwayat Muslim sebagaimana yang disandarkan oleh Al-Majd dalam Al-Muntaqo dan Al-Mizzy, dan (hadits ini) juga diriwayatkan oleh selainnya (Muslim).
Adapun mengangkat kedua kaki dalam sujud, maka ini menyelisihi apa yang diperintahkan, berdasarkan hadits yang tsabit dalam Ash-Shohihain dari Ibnu ‘Abbas -radhiallahu ‘anhuma-:
أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْضَاءِ, وَلاَ يَكُفَّ شَعْرًا وَلاَ ثَوْبًا: اَلْجَبْهَةِ, وَالْيَدَيْنِ, وَالرُّكْبَتَيْنِ, وَالرِّجْلَيْنِ
“Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk bersujud di atas tujuh tulang, dan memerintahkan agar jangan mengikat rambut dan menggulung pakaian. (Ketujuh tulang itu adalah) Dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua kaki”.
Maka orang yang sholat diperintahkan untuk sujud di atas kedua kaki, dan bentuk sempurnanya adalah dengan menjadikan jari-jari kedua kakinya mengarah ke kiblat. Dan bentuk cukupnya adalah dengan meletakkan (merapatkan) bagian dari masing-masing kaki di atas bumi. Jika dia mengangkat salah satunya maka tidak syah sujudnya jika terangkatnya kaki terus-menerus sepanjang sujudnya.
Di antara manusia ada juga yang tidak meletakkan jidad dan hidungnya dengan baik ke bumi ketika dia sujud, atau dia mengangkat kedua kakinya atau tidak meletakkan kedua telapak tangannya dengan baik, dan semua ini menyelisihi apa yang diperintahkan.
12. Membunyikan jari-jemari.
Hal ini termasuk perkara-perkara yang dibenci dan dilarang dalam sholat. Adapun membunyikan (jari-jemari) maka Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Syu’bah maula Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang hasan, bahwa dia berkata, “Saya pernah sholat di samping Ibnu ‘Abbas lalu saya membunyikan jari-jemariku. Maka tatkala sholat sudah selesai, beliau berkata, ["Tidak ada ibu bagimu!, apakah kamu membunyikan jari-jemarimu sedangkan engkau dalam keadaan sholat?!"]“.
Dan telah diriwayatkan secara marfu’ tentang larangan membunyikan jari-jemari dari hadits ‘Ali riwayat Ibnu Majah akan tetapi haditsnya lemah dan tidak bisa dikuatkan.
13. Menyilangkan jari-jemari (arab: Tasybik) dalam sholat dan sebelum sholat.
Ini termasuk perkara yang dimakruhkan. Dari Ka’ab bin ‘Ujroh beliau berkata, saya mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الصَّلاَةِ, فَلاَ يُشَبِّكَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِي الصَّلاَةِ
“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu kemudian dia sengaja keluar untuk sholat, maka janganlah sekali-kali dia menyilangkan antara kedua tangannya, karena sesungguhnya dia sedang dalam sholat”. Riwayat Ahmad, Abu Daud, dan At-Tirmidzy sedang dalam sanadnya ada perselisihan.
Dan Imam Ad-Darimy, Al-Hakim, dan selainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’:
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ, كَانَ فِي صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ, فَلاَ يَفْعَلْ هَكَذَا -وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ-
“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu di rumahnya kemudian dia mendatangi masjid, maka dia terus-menerus dalam keadaan sholat sampai dia pulang. Karenanya, janganlah dia berbuat seperti ini -beliau menyilangkan antara jar-jari beliau-”. Zhohir sanadnya adalah shohih.
Dan dalam masalah tasybik ada hadits-hadits lain yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya.
[Diterjemah dari Al-Minzhar hal. 24-40, karya Asy-Syaikh Saleh Alu Asy-Syaikh, dengan sedikit perubahan]
http://al-atsariyyah.com/kesalahan-kesalahan-dalam-shalat-1.html
0 komentar:
Posting Komentar