Kuliah Umum Syar'iyyah 5 KIAT-KIAT DALAM MENJAGA HATI

Bersama : Ustadz Abdul Mu'thi Al-Maidany
Insya Allah Sabtu, 17 Rajab 1435 H / 17 Mei 2014 M

SEMUA TENTANG UKHUWAH

Bersama Ustadz Abdul Mu’thi Al-Maidany Ahad, 18 Rajab 1435 / 18 Mei 2014

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنِي إِلَى رَمَضَانَ ، وَسَلِّمْ لِي رَمَضَانَ ، وَتُسلمهُ مِنِّي مُتَقَبَّلاً

Ya Allah, selamatkanlah aku agar bisa berjumpa dengan Ramadhan, selamatkanlah aku agar berhasil menjalani Ramadhan, dan terimalah amalku


Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh.
Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu).
Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan ilmu.

Sabtu, 26 Desember 2009

Keutamaan Puasa Asyura

Puasa Asyura adalah puasa sunnah yang dikerjakan pada tanggal 10 Muharram.
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Seutama-utama puasa setelah Ramadlan ialah puasa di bulan Muharram, dan seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu, ialah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma- dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
“Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mendatangi kota Madinah, lalu didapatinya orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Asyura. Maka beliau pun bertanya kepada mereka, “Hari apakah ini, hingga kalian berpuasa?” mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang agung, hari ketika Allah memenangkan Musa dan Kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun serta kaumnya. Karena itu, Musa puasa setiap hari itu untuk menyatakan syukur, maka kami pun melakukannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami lebih berhak dan lebih pantas untuk memuliakan Musa daripada kalian.” kemudian beliau pun berpuasa dan memerintahkan kaum puasa di hari itu. (HR. Al-Bukhari no. 3145, 3649, 4368 dan Muslim no. 1130)
Dari Abu Qatadah Al Anshari -radhiallahu anhu- dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari ‘Asyura`, beliau menjawab: “Ia akan menghapus dosa-dosa sepanjang tahun yang telah berlalu.” (HR. Muslim no. 1162)
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma-, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Seandainya tahun depan aku masih hidup, niscaya saya benar-benar akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram).” (HR. Muslim no. 1134)

Penjelasan ringkas:
Perintah beliau kepada para sahabat untuk berpuasa 10 muharram menunjukkan puasanya ini hukumnya wajib. Akan tetapi setelah ramadhan diwajibkan, puasa inipun menjadi sunnah, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama.
Hadits Abu Hurairah di atas menunjukkan bahwa puasa muharram merupakan puasa sunnah yang terbaik dan terutama, dan keutamaannya adalah Allah akan mengampuni semua dosa setahun yang lalu. Hanya saja yang dimaksud dengan semua dosa di sini hanyalah dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa besar tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan taubat dan rahmat dari Allah. Berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Shalat lima waktu dan shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, dan Ramadhan ke Ramadlan berikutnya adalah penghapus untuk dosa antara keduanya apabila dia menjauhi dosa besar.” (HR. Muslim no. 342)
Hadits ini termasuk dalil terbesar yang menunjukkan disyariatkannya mukhalafah (berbeda) dengan ahli kitab, karena tatkala orang-orang Yahudi juga berpuasa pada tanggal 10 muharram, Allah Ta’ala melalui lisan Rasul-Nya menurunkan syariat baru berupa berpuasa pada tanggal 9, dan syariat ini diturunkan semata-mata agar puasa kaum muslimin berbeda dengan puasa yahudi. Adapun hadits yang memberikan pilihan untuk berpuasa sehari sebelumnya (tanggal) atau sehari setelahnya (tanggal 11) maka dia adalah hadits yang lemah. Sehingga puasa hanya dilakukan pada tanggal 9 dan 10.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa syariat umat sebelum kita bisa menjadi syariat kita jika Nabi -alaihishshalatu wassalam- menyetujuinya.

Hukum-Hukum Seputar Puasa Muharram

Alhamdulillah pada saat ini kita telah berada di bulan Muharram, salah satu bulan dari empat bulan yang memiliki kehormatan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam sabda beliau: “Sesungguhnya zaman telah berputar kembali seperti bentuknya ketika Allah menciptakan langit-langit dan bumi, satu tahun itu 12 bulan dan di antaranya ada 4 bulan haram (yang memiliki kehormatan), 3 bulan (di antaranya) berturut-turut : Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan bulan Rajabnya Mudhor yang berada antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan bulan ini juga merupakan salah satu dari beberapa bulan yang Allah Ta’ala telah menurunkan syariat puasa khusus di dalamnya yaitu puasa yang kita kenal bersama dengan nama puasa asyura. Karena itu pada pembahasan kali ini, kami akan mengangkat beberapa hukum seputar puasa Asyuro, semoga kaum muslimin sekalian bisa mendapatkan ilmu dan pelajaran tentangnya sebelum terjun melaksanakannya.

1. Dalil-Dalil Tentang Disyari’atkannya.
a. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha beliau berkata, “Dulu pada hari Asyuro, orang-orang Quraisy berpuasa padanya di masa jahiliyah dan adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam dulu juga berpuasa padanya. Tatkala beliau berhijrah ke Madinah, beliau berpuasa padanya dan memerintahkan (manusia) untuk berpuasa padanya. Dan tatkala (puasa) ramadhan diwajibkan beliaupun meninggalkan (puasa) hari Asyuro. Maka (semenjak itu) siapa saja yang ingin (berpuasa padanya) maka dia berpuasa dan siapa saja yang ingin (untuk tidak berpuasa) maka dia meninggalkannya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
b. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Nabi datang (hijrah) ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyuro`, maka beliau bertanya: “Apa ini?”, mereka (orang-orang Yahudi) menjawab: “Ini adalah hari baik, ini adalah hari Allah menyelamatkan Bani Isra`il dari musuh mereka maka Musa berpuasa padanya”, beliau bersabda : “Kalau begitu saya lebih berhak dengan Musa daripada kalian” maka beliaupun berpuasa dan memerintahkan (manusia) untuk berpuasa”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
c. Hadits Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Adalah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk berpuasa pada hari ‘Asyuro`, memotivasi dan mengambil perjanjian dari kami di sisi beliau, tatkala telah diwajibkan (puasa) Ramadhan, beliau tidak memerintahkan kami, tidakpula melarang kami dan tidak mengambil perjanjian dari kami di sisi beliau”. (HR. Muslim)
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa puasa asyura awal kali disyariatkan ketika beliau tiba pertama kali di kota Madinah. Adapun sebab asal pensyari’atannya yaitu karena pada hari itu Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihissalam dari musuhnya sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas di atas, jadi bukan karena mengikuti agamanya orang-orang Yahudi. Lihat Nailul Author (4/288)

2. Hukumnya.
Nampak jelas dari hadits-hadits di atas dan juga dari hadits-hadits yang lain yang semakna dengannya bahwa dulunya hukum puasa hari ‘Asyuro` adalah wajib karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas di atas. Akan tetapi setelah turunnya kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan maka hukum wajib ini dimansukh (terhapus) menjadi sunnah sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Aisyah radhiallahu ‘anha.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (8/6), “Para ulama telah bersepakat bahwa puasa pada hari ‘Asyuro` hukumnya sekarang (yaitu ketika telah diwajibkannya puasa Ramadhan) adalah sunnah dan bukan wajib”. Dan ijma’ akan hal ini juga telah dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah sebagaimana dalam Fathul Bary (2/246)

3. Keutamaannya.
Ada beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan berpuasa pada hari ‘Asyuro`, berikut di antaranya :
a. Hadits Abu Qotadah Al-Harits bin Rib’iy radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, maka beliau menjawab : “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun yang lalu dan (setahun) yang akan datang”, dan beliau ditanya tentang puasa hari ‘Asyuro` maka beliau menjawab : “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun yang lalu”. (HR. Muslim)
b. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Saya tidak pernah melihat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam sangat bersungguh-sungguh berpuasa pada suatu hari yang dia lebih utamakan daripada selainnya kecuali pada hari ini hari ‘Asyuro` dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan“. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
c. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’, “Puasa yang paling afdhol setelah Ramadhan adalah (puasa) pada bulan Allah Muharram dan sholat yang paling afdhol setelah sholat wajib adalah sholat lail”. (HR. Muslim)

4. Orang yang telah makan sedang dia lupa atau tidak tahu bahwa hari itu adalah hari asyuro, apa yang dia lakukan ?
Masalah ini hukumnya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim (8/19), “Bab : Barangsiapa yang sudah makan pada hari ‘Asyuro` maka hendaknya dia menahan (berpuasa) pada sisa harinya”.
Ada dua dalil yang menunjukkan akan hal ini :
a. Hadits Salamah ibnul Akwa’ radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan seorang lelaki dari Bani Aslam agar mengumumkan kepada manusia bahwa barangsiapa yang yang sudah makan maka hendaknya dia berpuasa pada sisa harinya dan barangsiapa yang belum makan maka hendaknya dia berpuasa, karena hari ini adalah hari ‘Asyuro`”. (HR.Al- Bukhari dan Muslim)
b. Hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu ‘anha dia berkata, “Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam mengutus (utusan) kepada desa-desa Anshor pada subuh hari ‘Asyuro` (untuk menyerukan) : “Barangsiapa yang masuk di waktu subuh dalam keadaan berbuka (telah makan) maka hendaknya dia sempurnakan sisa harinya (dengan berpuasa) dan barangsiapa yang masuk di waktu subuh dalam keadaan berpuasa maka hendaknya dia berpuasa”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

5. Kapankah Hari ‘Asyuro` Itu?
Terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam masalah penentuannya, dan pendapat yang paling kuat adalah bahwa hari asyura itu jatuh pada tanggal 10 Muharram. Ini adalah pendapat Said ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Imam Malik, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan ini merupakan pendapat jamahir (mayoritas) ulama terdahulu dan belakangan.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dia berkata, “Tatkala Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyuro` dan beliau memerintahkan (manusia) untuk berpuasa, mereka berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani”, maka Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda : “Jika tahun depan (saya masih hidup) insya Allah, maka kita akan berpuasa pada hari kesembilan”. (Ibnu ‘Abbas) berkata : Maka tahun depan belum datang sampai Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat”. (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, “Jika saya masih hidup sampai tahun depan maka (Demi Allah) sungguh betul-betul saya akan berpuasa pada hari kesembilan”.
Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah dalam Syarh Muslim (8/18), “Maka ini jelas menunjukkan bahwa dulu beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada tanggal 10 (Muharram) bukan tanggal 9”. Dan ini juga merupakan pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah.
Hal ini lebih dipertegas oleh perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyuro`, hari kesepuluh”. (HR. At-Tirmizi dan dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmizi (1/399 no. 755))
Faedah:
Disunnahkan pula untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram karena Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berpuasa pada tanggal 10 dan berniat untuk berpuasa pada tanggal 9 tahun depannya sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas di atas, ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq dan lain-lainnya. Hal ini juga berdasarkan ucapan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah pada hari ke 9 dan ke 10”. (Riwayat Abdurrozzaq (4/287) dan Al-Baihaqi (4/287))
Wallahu a’lam bish showab.

Hukum menyambut dan merayakan hari Raya non Muslim

Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan

Sesungguhnya di antara konsekwensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir ialah menjauhi syi’ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi’ar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan meninggalkannya.

Ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepadanya (yang artinya) : ” Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang Jahiliyah yang disembah ?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya, “Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka ?” Dia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi bersabda, “Tepatillah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam”
[Hadits Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim]

Hadits diatas menunjukkan, tidak bolehnya menyembelih untuk Allah di bertepatan dengan tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah ; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi’ar-syi’ar mereka, dan juga karena menyerupai mereka atau menjadi wasilah yang mengantarkan kepada syirik. Begitu pula ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala’ (loyalitas) kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar mereka.

Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makanan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka (kini kebanyakan berpesiar, berlibur ke tempat wisata, konser, acara musik, diakhiri mabuk-mabukan atau perzinaan, red).

Dan diantaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para shahabat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.

Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata, “Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan”.

Pertama. Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal tersebut berarti mengikuti ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiaasaan Salaf. Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka. Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketetapan semata, bukan karena
mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari’atkan adalah menyelisihiya karena dengan menyelisihinya terdapat maslahat seperti yang telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apapun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.

Alasan Kedua.
Karena hal itu adalah bid’ah yang diada adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu”.

Beliau juga mengatakan, “Tidak halal bagi kaum muslimin ber-Tasyabuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka ; seperti, makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah ataupun yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak ataupun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan.

Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi’ar mereka pada hari itu. (Dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim, pentahqiq Dr Nashir Al-’Aql 1/425-426).

Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja [1] maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh. Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi’ar-syi’ar kekufuran.

Segolongan ulama mengatakan. “Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi”. Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Siapa yang mengikuti negera-negara ‘ajam (non Islam) dan melakukan perayaan Nairuz [2] dan Mihrajan [3] serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat.

Footnote :
[1] Mungkin yang dimaksud (yang benar) adalah ‘tanpa sengaja’.
[2] Nairuz atau Nauruz (bahasa Persia) hari baru, pesta tahun baru Iran yang
bertepatan dengan tanggal 21 Maret -pent.
[3] Mihrajan, gabungan dari kata mihr (matahari) dan jan (kehidupan atau
ruh), yaitu perayaan pada pertengahan musim gugur, di mana udara tidak panas
dan tidak dingin. Atau juga merupakan istilah bagi pesta yang diadakan untuk
hari bahagia -pent.

(Dinukil dari tulisan Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, dalam kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy[Edisi Indonesia, Kitab Tauhid 1])
Fatawa Seputar Perayaan Natal

Asy-Syaikh Saleh bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh berkata dalam Al-Minzhar hal. 104, ketika beliau menyebutkan beberapa kesalahan kaum muslimin berupa tasyabbuh (menyerupai) orang-orang non muslim. Beliau berkata pada kesalahan yang ketiga:

Tasyabbuh dengan mengadakan id (hari raya) yang diadakah oleh selain kaum muslimin atau turut serta dalam hari-hari raya mereka.
Ini haram, tidak halal bagi siapapun untuk merayakan dan turut serta di dalam satupun dari hari-hari raya Nashrani. Sebagian kaum muslimin ada yang merayakan ‘id untuk para karyawan (yang non muslim) di yayasan atau di perusahaan atau di rumah-rumah. Perbuatan ini adalah dukungan kepada mereka (orang-orang kafir) dalam menegakkan syiar-syiar agama dan kesyirikan mereka. Dan barangsiapa yang tasyabbuh (menyerupai) suatu kaum maka dia termasuk dari mereka, sebagaimana yang tsabit (shahih) bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari mereka”. (HR. Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang jayyid)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullahu Ta’ala- berkata, “Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka, walaupun lahiriah hadits ini menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka (orang-orang kafir)”.

Maka tidak halal untuk turut serta bersama ahli kitab dan orang-orang musyrik dalam menyelenggarakan hari-hari raya mereka, baik dengan cara memberikan hadiah -sekecil apapun- kepada mereka atau dengan memberikan ucapan selamat hari raya kepada mereka. Semua ini dalam rangka memutuskan benih-benih kesyirikan, menampakkan kemuliaan dan keistimewaan Islam di atas para pengiktu kesesatan, dan sebagai perwujudan dari perintah Allah dan Rasul-Nya.

Allah -Ta’ala- berfirman, “Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16)
Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Allah telah melarang kaum mukminin untuk tasyabbuh dengan mereka (ahli kitab) dalam semua perkara, baik dalam perkara ushul (pokok) maupun yang furu’ (cabang)”.

Berikut beberapa fatawa yang menguatkan penjelasan di atas:
1. Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin mengenai: Hukum Ucapan Merry Christmas (Selamat Natal
Tanya:
Bagaimana hukum mengucapkan “Merry Christmas” (Selamat Natal) kepada orang-orang Kafir? Bagaimana pula memberikan jawaban kepada mereka bila mereka mengucapkannya kepada kita? Apakah boleh pergi ke tempat-tempat pesta yang mengadakan acara seperti ini? Apakah seseorang berdosa, bila melakukan sesuatu dari yang disebutkan tadi tanpa sengaja (maksud yang sebenarnya) namun dia melakukannya hanya untuk berbasa-basi, malu, nggak enak perasaan atau sebab-sebab lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka di dalam hal itu?

Jawab:
Mengucapkan ‘Merry Christmas’ atau perayaan keagamaan mereka lainnya kepada orang-orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama sebagaimana dinukil dari Ibnu Al-Qayyim -rahimahullah- di dalam kitabnya Ahkam Ahlu Adz-Dzimmah’. Beliau berkata,
“Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syiar-syiar kekufuran yang menjadi kekhususan mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar dan puasa mereka, sembari mengucapkan, ‘semoga hari raya anda diberkahi’ atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya tidak terjatuh ke dalam kekufuran, maka dia telah terjatuh ke dalam hal yang diharamkan. Ucapan semacam ini sama saja dengan ucapan selamat kepada perbuatan mereka sujud terhadap salib, bahkan ucapan ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat seperti lebih dimurkai Allah daripada memberikan ucapan selamat kepada orang yang meminum khamar, membunuh jiwa, melakukan perzinaan, dan selainnya dari perbuatan maksiat. Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut. Karenanya, barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seseorang karena melakukan suatu maksiat, bid’ah, atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi kemurkaan dan kebencian dari Allah.”

Mengenai kenapa Ibnu Al-Qayyim sampai menyatakan bahwa mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir berkenaan dengan perayaan hari-hari besar keagamaan mereka adalah haram, maka karena hal itu mengandung persetujuan kepada syiaar-syiar kekufuran yang mereka lakukan dan meridlai hal itu dilakukan. Sekalipun dirinya sendiri tidak rela terhadap kekufuran itu akan tetapi tetap haram atas seorang muslim untuk meridlai syiar-syiar kekufuran atau mengucapkan selamat kepada orang lain berkenaan dengannya, karena Allah Ta’ala tidak meridlai hal itu sebagaimana dalam firman-Nya, “Jika kalian kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) kalian dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-hambaNya, dan jika kalian bersyukur, niscaya Dia meridhai bagi kalian kesyukuran itu.” (QS. Az-Zumar: 7)
Juga dalam firman-Nya, “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama kalian.” (QS. Al-Maidah :3)

Jadi, mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengan hal itu adalah haram, baik mereka itu rekan-rekan satu pekerjaan dengannya maupun bukan.

Bila mereka mengucapkan selamat berkenaan dengan hari-hari besar mereka kepada kita, maka kita tidak boleh menjawabnya karena hari-hari besar itu bukanlah hari-hari besar kita. Juga karena dia adalah hari besar yang tidak diridlai Allah Ta’ala, walaupun hari besar itu muncul karena perbuatan mengada-ada ataupun memang hari raya itu disyari’atkan dalam agama mereka, akan tetapi hal itu semua telah dihapus oleh Dienul Islam yang dengannya Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam diutus Allah kepada seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman, Barangsiapa yang mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran :85)

Karena itu, hukum bagi seorang muslim yang memenuhi undangan mereka dalam menghadiri hari raya mereka adalah haram karena itu lebih besar dosanya ketimbang mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengannya. Memenuhi undangan tersebut mengandung makna ikut berpartisipasi bersama mereka di dalamnya.

Demikian pula, haram hukumnya bagi kaum muslimin untuk menyerupai orang-orang kafir, seperti mengadakan pesta-pesta berkenaan dengan hari besar mereka tersebut, saling berbagi hadiah, membagi-bagikan kue, hidangan makanan, meliburkan pekerjaan, dan yang semisalnya.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata di dalam kitabnya Iqtidha` Ash-Shirath Al-Mustaqim fii Mukhalafah Ashhab Al-Jahim, “Menyerupai mereka di dalam sebagian hari-hari besar mereka mengandung konsekuensi timbulnya rasa senang di hati mereka atas kebatilan yang mereka lakukan, dan barangkali hal itu membuat mereka antusias untuk mencari-cari kesempatan (dalam kesempitan) dan menghinakan kaum yang lemah (imannya).”

Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah berdosa, baik melakukannya karena berbasa-basi, ingin mendapatkan simpati, rasa malu atau sebab-sebab lainnya karena dia termasuk bentuk peremehan terhadap agama Allah dan menjadi sebab hati orang-orang kafir menjadi kuat dan bangga terhadap agama mereka.

Kepada Allah kita memohon agar memuliakan kaum Muslimin dengan dien mereka, menganugerahkan kemantapan hati dan memberikan pertolongan kepada mereka terhadap musuh-musuh mereka, sesungguh Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
[Diterjemah dari Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin: 3/44-46, fatwa no.403]

2. Fatwa Asy-Syaikh Saleh bin Abdillah Al-Fauzan mengenai: Menyambut dan Ikut Merayakan Hari Raya atau Pesta Orang-Orang Kafir Serta Berbela Sungkawa (Ta’ziah) Dalam Hari Berduka Mereka:
Tidak boleh memberi ucapan selamat (tahniah) atau ucapan belangsungkawa (ta’ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala’ (bantuan) dan mahabbah (kecintaan) kepada mereka, dan juga dikarenakan hal tersebut mengandung pengagungan (penghormatan) terhadap mereka. Maka hal itu diharamkan berdasarkan larangan-larangan ini, sebagaimana haramnya mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka atau membuka jalan bagi mereka.
Ibnu Al-Qayyim berkata, “Hendaklah berhati-hati jangan sampai terjerumus -sebagaimana orang-orang bodoh- ke dalam ucapan-ucapan yang menunjukkan ridha terhadap agamanya (orang kafir). Seperti ucapan mereka (sebagian orang bodoh), “Semoga Allah membahagiakan kamu dengan agamamu”, atau “memberkatimu dalam agamamu”, atau berkata, “semoga Allah memuliakannmu”. Kecuali jika dia (muslim) berkata, “Semoga Allah memuliakanmu dengan Islam”, atau yang senada dengan itu. Itu semua tahniah dengan perkara-perkara umum.
Tetapi jika tahni’ah itu dengan syi’ar-syi’ar kufur yang khusus milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, “Selamat hari raya natal” umpamanya atau “berbahagialah dengan hari raya ini” atau yang senada dengan itu, maka jika yang mengucapakannya selamat dari kekufuran, maka dia tidak lepas dari maksiat dan keharaman. Sebab itu sama halnya dengan memberikan ucapan selamat terhadap sujud mereka kepada salib, bahkan di sisi Allah hal itu lebih dimurkai daripada memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr, membunuh orang atau berzina atau sebangsanya.
Banyak sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyadari keburukannya. Maka barangsiapa memberikan ucapan selamat kepada seseorang melakukan bid’ah, maksiat atau kekufuran maka dia telah menantang murka Allah. Para ulama yang wara’ (menjauhi yang namanya makruh apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari tahni’ah kepada para pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat sebagai hakim, qadhi, dosen, atau mufti , semuanya demi menghindari murka dan laknat Allah dan laknat-Nya.” (Ahkam Ahli Adz-Dzimmah: 1/205-206)

Dari uraian tersebut jelaslah bahwa memberi tahniah kepada orang-orang kafir atas hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika mengandung makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun memberikan tahni’ah atas hari-hari raya mereka atau syi’ar-syi’ar mereka adalah haram hukumnya dan sangat dikhawatirkan pelakunya jatuh pada kekufuran.
[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy, Edisi Indonesia, Kitab Tauhid 1, Penulis Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan]

3. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 8848.
Tanya:
Apakah seorang muslim diperbolehkan bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam perayaan Natal yang biasa dilaksanakan pada akhir bulan Desember? Di sekitar kami ada sebagian orang yang menyandarkan pada orang-orang yang dianggap berilmu bahwa mereka duduk di majelis orang Nashrani dalam perayaan mereka. Mereka mengatakan bahwa hal ini boleh-boleh saja. Apakah perkataan mereka semacam ini benar? Apakah ada dalil syar’i yang membolehkan hal ini?

Jawab:
Tidak boleh bagi kita bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam melaksanakan hari raya mereka, walaupun ada sebagian orang yang dikatakan berilmu melakukan semacam ini. Hal ini diharamkan karena dapat membuat mereka semakin bangga dengan jumlah mereka yang banyak. Di samping itu pula, hal ini termasuk bentuk tolong menolong dalam berbuat dosa. Padahal Allah berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)
Semoga Allah memberi taufik pada kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikut dan sahabatnya.”

SUMBER : http://al-atsariyyah.com/?p=1432

Fatawa Seputar Perayaan Natal

sy-Syaikh Saleh bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh berkata dalam Al-Minzhar hal. 104, ketika beliau menyebutkan beberapa kesalahan kaum muslimin berupa tasyabbuh (menyerupai) orang-orang non muslim. Beliau berkata pada kesalahan yang ketiga:
Tasyabbuh dengan mengadakan id (hari raya) yang diadakah oleh selain kaum muslimin atau turut serta dalam hari-hari raya mereka.
Ini haram, tidak halal bagi siapapun untuk merayakan dan turut serta di dalam satupun dari hari-hari raya Nashrani. Sebagian kaum muslimin ada yang merayakan ‘id untuk para karyawan (yang non muslim) di yayasan atau di perusahaan atau di rumah-rumah. Perbuatan ini adalah dukungan kepada mereka (orang-orang kafir) dalam menegakkan syiar-syiar agama dan kesyirikan mereka. Dan barangsiapa yang tasyabbuh (menyerupai) suatu kaum maka dia termasuk dari mereka, sebagaimana yang tsabit (shahih) bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari mereka”. (HR. Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang jayyid)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullahu Ta’ala- berkata, “Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka, walaupun lahiriah hadits ini menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka (orang-orang kafir)”.
Maka tidak halal untuk turut serta bersama ahli kitab dan orang-orang musyrik dalam menyelenggarakan hari-hari raya mereka, baik dengan cara memberikan hadiah -sekecil apapun- kepada mereka atau dengan memberikan ucapan selamat hari raya kepada mereka. Semua ini dalam rangka memutuskan benih-benih kesyirikan, menampakkan kemuliaan dan keistimewaan Islam di atas para pengiktu kesesatan, dan sebagai perwujudan dari perintah Allah dan Rasul-Nya.
Allah -Ta’ala- berfirman, “Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16)
Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Allah telah melarang kaum mukminin untuk tasyabbuh dengan mereka (ahli kitab) dalam semua perkara, baik dalam perkara ushul (pokok) maupun yang furu’ (cabang)”.

Berikut beberapa fatawa yang menguatkan penjelasan di atas:
1. Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin mengenai: Hukum Ucapan Merry Christmas (Selamat Natal
Tanya:
Bagaimana hukum mengucapkan “Merry Christmas” (Selamat Natal) kepada orang-orang Kafir? Bagaimana pula memberikan jawaban kepada mereka bila mereka mengucapkannya kepada kita? Apakah boleh pergi ke tempat-tempat pesta yang mengadakan acara seperti ini? Apakah seseorang berdosa, bila melakukan sesuatu dari yang disebutkan tadi tanpa sengaja (maksud yang sebenarnya) namun dia melakukannya hanya untuk berbasa-basi, malu, nggak enak perasaan atau sebab-sebab lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka di dalam hal itu?

Jawab:
Mengucapkan ‘Merry Christmas’ atau perayaan keagamaan mereka lainnya kepada orang-orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama sebagaimana dinukil dari Ibnu Al-Qayyim -rahimahullah- di dalam kitabnya Ahkam Ahlu Adz-Dzimmah’. Beliau berkata,
“Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syiar-syiar kekufuran yang menjadi kekhususan mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar dan puasa mereka, sembari mengucapkan, ‘semoga hari raya anda diberkahi’ atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya tidak terjatuh ke dalam kekufuran, maka dia telah terjatuh ke dalam hal yang diharamkan. Ucapan semacam ini sama saja dengan ucapan selamat kepada perbuatan mereka sujud terhadap salib, bahkan ucapan ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat seperti lebih dimurkai Allah daripada memberikan ucapan selamat kepada orang yang meminum khamar, membunuh jiwa, melakukan perzinaan, dan selainnya dari perbuatan maksiat. Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut. Karenanya, barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seseorang karena melakukan suatu maksiat, bid’ah, atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi kemurkaan dan kebencian dari Allah.”

Mengenai kenapa Ibnu Al-Qayyim sampai menyatakan bahwa mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir berkenaan dengan perayaan hari-hari besar keagamaan mereka adalah haram, maka karena hal itu mengandung persetujuan kepada syiaar-syiar kekufuran yang mereka lakukan dan meridlai hal itu dilakukan. Sekalipun dirinya sendiri tidak rela terhadap kekufuran itu akan tetapi tetap haram atas seorang muslim untuk meridlai syiar-syiar kekufuran atau mengucapkan selamat kepada orang lain berkenaan dengannya, karena Allah Ta’ala tidak meridlai hal itu sebagaimana dalam firman-Nya, “Jika kalian kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) kalian dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-hambaNya, dan jika kalian bersyukur, niscaya Dia meridhai bagi kalian kesyukuran itu.” (QS. Az-Zumar: 7)
Juga dalam firman-Nya, “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama kalian.” (QS. Al-Maidah :3)

Jadi, mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengan hal itu adalah haram, baik mereka itu rekan-rekan satu pekerjaan dengannya maupun bukan.

Bila mereka mengucapkan selamat berkenaan dengan hari-hari besar mereka kepada kita, maka kita tidak boleh menjawabnya karena hari-hari besar itu bukanlah hari-hari besar kita. Juga karena dia adalah hari besar yang tidak diridlai Allah Ta’ala, walaupun hari besar itu muncul karena perbuatan mengada-ada ataupun memang hari raya itu disyari’atkan dalam agama mereka, akan tetapi hal itu semua telah dihapus oleh Dienul Islam yang dengannya Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam diutus Allah kepada seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman, Barangsiapa yang mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran :85)

Karena itu, hukum bagi seorang muslim yang memenuhi undangan mereka dalam menghadiri hari raya mereka adalah haram karena itu lebih besar dosanya ketimbang mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengannya. Memenuhi undangan tersebut mengandung makna ikut berpartisipasi bersama mereka di dalamnya.

Demikian pula, haram hukumnya bagi kaum muslimin untuk menyerupai orang-orang kafir, seperti mengadakan pesta-pesta berkenaan dengan hari besar mereka tersebut, saling berbagi hadiah, membagi-bagikan kue, hidangan makanan, meliburkan pekerjaan, dan yang semisalnya.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata di dalam kitabnya Iqtidha` Ash-Shirath Al-Mustaqim fii Mukhalafah Ashhab Al-Jahim, “Menyerupai mereka di dalam sebagian hari-hari besar mereka mengandung konsekuensi timbulnya rasa senang di hati mereka atas kebatilan yang mereka lakukan, dan barangkali hal itu membuat mereka antusias untuk mencari-cari kesempatan (dalam kesempitan) dan menghinakan kaum yang lemah (imannya).”

Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah berdosa, baik melakukannya karena berbasa-basi, ingin mendapatkan simpati, rasa malu atau sebab-sebab lainnya karena dia termasuk bentuk peremehan terhadap agama Allah dan menjadi sebab hati orang-orang kafir menjadi kuat dan bangga terhadap agama mereka.

Kepada Allah kita memohon agar memuliakan kaum Muslimin dengan dien mereka, menganugerahkan kemantapan hati dan memberikan pertolongan kepada mereka terhadap musuh-musuh mereka, sesungguh Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
[Diterjemah dari Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin: 3/44-46, fatwa no.403]

2. Fatwa Asy-Syaikh Saleh bin Abdillah Al-Fauzan mengenai: Menyambut dan Ikut Merayakan Hari Raya atau Pesta Orang-Orang Kafir Serta Berbela Sungkawa (Ta’ziah) Dalam Hari Berduka Mereka:
Tidak boleh memberi ucapan selamat (tahniah) atau ucapan belangsungkawa (ta’ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala’ (bantuan) dan mahabbah (kecintaan) kepada mereka, dan juga dikarenakan hal tersebut mengandung pengagungan (penghormatan) terhadap mereka. Maka hal itu diharamkan berdasarkan larangan-larangan ini, sebagaimana haramnya mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka atau membuka jalan bagi mereka.
Ibnu Al-Qayyim berkata, “Hendaklah berhati-hati jangan sampai terjerumus -sebagaimana orang-orang bodoh- ke dalam ucapan-ucapan yang menunjukkan ridha terhadap agamanya (orang kafir). Seperti ucapan mereka (sebagian orang bodoh), “Semoga Allah membahagiakan kamu dengan agamamu”, atau “memberkatimu dalam agamamu”, atau berkata, “semoga Allah memuliakannmu”. Kecuali jika dia (muslim) berkata, “Semoga Allah memuliakanmu dengan Islam”, atau yang senada dengan itu. Itu semua tahniah dengan perkara-perkara umum.
Tetapi jika tahni’ah itu dengan syi’ar-syi’ar kufur yang khusus milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, “Selamat hari raya natal” umpamanya atau “berbahagialah dengan hari raya ini” atau yang senada dengan itu, maka jika yang mengucapakannya selamat dari kekufuran, maka dia tidak lepas dari maksiat dan keharaman. Sebab itu sama halnya dengan memberikan ucapan selamat terhadap sujud mereka kepada salib, bahkan di sisi Allah hal itu lebih dimurkai daripada memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr, membunuh orang atau berzina atau sebangsanya.
Banyak sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyadari keburukannya. Maka barangsiapa memberikan ucapan selamat kepada seseorang melakukan bid’ah, maksiat atau kekufuran maka dia telah menantang murka Allah. Para ulama yang wara’ (menjauhi yang namanya makruh apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari tahni’ah kepada para pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat sebagai hakim, qadhi, dosen, atau mufti , semuanya demi menghindari murka dan laknat Allah dan laknat-Nya.” (Ahkam Ahli Adz-Dzimmah: 1/205-206)

Dari uraian tersebut jelaslah bahwa memberi tahniah kepada orang-orang kafir atas hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika mengandung makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun memberikan tahni’ah atas hari-hari raya mereka atau syi’ar-syi’ar mereka adalah haram hukumnya dan sangat dikhawatirkan pelakunya jatuh pada kekufuran.
[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy, Edisi Indonesia, Kitab Tauhid 1, Penulis Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan]

3. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 8848.
Tanya:
Apakah seorang muslim diperbolehkan bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam perayaan Natal yang biasa dilaksanakan pada akhir bulan Desember? Di sekitar kami ada sebagian orang yang menyandarkan pada orang-orang yang dianggap berilmu bahwa mereka duduk di majelis orang Nashrani dalam perayaan mereka. Mereka mengatakan bahwa hal ini boleh-boleh saja. Apakah perkataan mereka semacam ini benar? Apakah ada dalil syar’i yang membolehkan hal ini?

Jawab:
Tidak boleh bagi kita bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam melaksanakan hari raya mereka, walaupun ada sebagian orang yang dikatakan berilmu melakukan semacam ini. Hal ini diharamkan karena dapat membuat mereka semakin bangga dengan jumlah mereka yang banyak. Di samping itu pula, hal ini termasuk bentuk tolong menolong dalam berbuat dosa. Padahal Allah berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)
Semoga Allah memberi taufik pada kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikut dan sahabatnya.”

Jumat, 11 Desember 2009

DOWNLOAD REKAMAN DAURAH NOVEMBER 2009 / DZULQAIDAH 1430

1. Hari Sabtu (14 November 2009) Fiqh dan Adab Khilaf Ustadz Ibnu Yunus
a.) Sesi 1 [Download]

b.) Sesi 2 [Download]

c.) Tanya Jawab [Download]

2. Hari Ahad (15 November 2009) Bersabarlah Wahai Ahlussunnah Ustadz Luqman Jamal
a.) Sesi 1 [Download]

b.) Sesi 2 [Download]

c.) Tanya Jawab [Download]


SUMBER : http://almakassari.com/download

Kamis, 10 Desember 2009

Hukum Memperingati Tahun Baru Islam

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.

Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at Islam?

Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.

Pertanyaan : Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.

Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :

تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.

ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً محذور آخر.

كتبه محمد بن صالح العثيمين

24/1/1418 هـ

Jawab : Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“

Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.

Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.

Ditulis oleh :

Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn

24 - 1 - 1418 H

[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]

Para pembaca sekalian,

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena :

- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.

- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.

Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.

Wallâhu a’lam bish shawâb

وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=290)

Senin, 07 Desember 2009

Kesalahan-Kesalahan Pada Hari Jum’at

1. Mengkhususkan malam Jum’at untuk sholat malam dan berpuasa di siang harinya.
Ini terlarang berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja’far, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, ["Apakah Rasululah -Shallallahu 'alaihi wasallam- melarang untuk berpuasa pada hari Jum'at?"], beliau menjawab, ["Ya"]“.
Dan diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohihnya bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لاَ تَخْتَصُّوْا لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي, وَلاَ تَخْتَصُّوْا يَوْمَ الْجُمْعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ, إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ فِي صَوْمٍ يَصُوْمُهُ أَحَدُكُم
“Jangan kalian mengkhususkan sholat malam pada malam Jum’at dan jangan pula kalian mengkhususkan berpuasa pada hari Jum’at, kecuali puasa yang salah seorang di antara kalian biasa berpuasa padanya”.
Larangan (dalam hadits) ini -menurut jumhur- adalah bermakna makruh, dan menurut sekelompok ulama -di antaranya Syaikhul Islam- adalah bermakna haram. Dan tidak masuk ke dalam larangan jika pengkhususan (terhadap hari Jum’at untuk berpuasa) dikarenakan berpuasa Hari Arafah atau ‘Asyura` atau bagi orang yang berpuasa sehari dan berbuka sehari (1). Kebanyakan ulama menyatakan karena hal itu termasuk ke dalam sabda beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, “Kecuali puasa yang salah seorang di antara kalian biasa berpuasa padanya”.

2. Bergampangan dalam mendengarkan khutbah Jum’at atau berbicara ketika imam berkhutbah.
Mendengarkan khutbah dan diam untuk mendengarnya adalah perkara yang sangat dituntut, dan larangan untuk berbicara dan (larangan) untuk tidak memperhatikan (khutbah) disebutkan dalam hadits-hadits yang banyak. Di antaranya sada beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ: (أَنْصِتْ) وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika kamu berkata kepada temanmu pada hari Jum’at, “Diamlah kamu” sementara imam sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berbuat kesia-siaan”. Muttafaqun ‘alaihi
Ucapan “diamlah kamu” teranggap memutuskan perhatian dari mendengar khutbah walaupun sebentar sehingga menghasilkan kesia-siaan. Ini adalah keadaan orang yang menasehati (baca: menegur), maka bagaimana lagi dengan orang yang berbicara pertama kali (yang ditegur-pent.)
Al-Hafzh menyatakan dalam Al-Fath, “Maka jika beliau (Nabi) menghukumi ucapan “diamlah kamu” -padahal dia adalah orang yang beramar ma’ruf- sebagai kesia-siaan, maka ucapan yang lainnya lebih pantas dianggap sebagai kesia-siaan”(2).

3. Berjual beli setelah adzan kedua.
Tidak halal mengadakan transaksi jual beli setelah adzan(3) dan jual belinya teranggap fasid (rusak/tidak syah), berdasarkan firman Allah -Ta’ala-:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”. (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Maka dalam ayat ini Allah melarang berjual beli setelah adzan, yakni adzan kedua. Jual belinya fasid karena (melanggar) larangan mengharuskan fasad (rusak/tidak syah).

4. Sholat setelah adzan ketika khathib masuk, yang dikenal dengan nama (sholat) sunnah (qabliyah) Jum’at.
Sholat ini bukanlah sunnah dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan petunjuk Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam masalah ini, “Jika Bilal sudah selesai adzan maka NaBi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- langsung berkhutbah dan tidak ada seorangpun yang berdiri mengerjakan (sholat) dua raka’at sama sekali, dan tidak ada adzan (pada hari Jum’at-pent.) kecuali satu kali. Hal ini menunjukkan bahwa (sholat) Jum’at sama seperti (sholat) ‘Id yang tidak mempunyai (sholat) sunnah sebelumnya. Inilah yang paling benar di antara 2 pendapat ulama dan inilah yang ditunjukkan oleh sunnah”. Kemudian beliau berkata, “Dan barangsiapa yang menyangka bahwa mereka (para sahabat-pent.) semuanya berdiri -tanpa kecuali- lalu mengerjakan 2 raka’at setelah selesainya Bilal mengumandangkan adzan, maka dia adalah orang yang paling bodoh tentang sunnah. Apa yang kami sebutkan ini berupa tidak adanya (sholat) sunnah sebelum Jum’at adalah madzhab Malik, Ahmad -menurut yang paling masyhur dari beliau-, dan salah satu sisi (pendapat) di kalangan ashhab (pengikut) Syafi’i”. Sampai akhir ucapan beliau

5. Melangkahi tengkuk-tengkuk manusia (jama’ah)
Ini termasuk kesalahan yang tersebar dan merupakan bentuk gangguan kepada orang-orang yang sholat yang datang lebih dahulu. Telah ada hadits-hadits yang melarang darinya, (di antaranya) dari ‘Abdullah bin Busr -radhiallahu ‘anhuma- beliau berkata, “Seorang lelaki datang (ke masjid) pada hari Jum’at lalu melangkahi tengkuk-tengkuk jama’ah sementara Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sedang berkhutbah, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
اِجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ وَآنَيْتَ
“Duduklah kamu, sungguh kamu telah mengganggu dan membuat orang terlambat.” Riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasa`i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan yang lainnya dengan lafadz-lafadz yang hampir sama, sedang lafadz ini adalah lafadz Ahmad.

6. Memperpanjang khutbah dan mempersingkat sholat.
Ini menyelisihi sunnah, karena yang merupakan sunnah adalah mempersingkat khutbah, memendekkannya dan tidak memperbanyak ucapan yang tidak bermanfaat, serta memperpanjang sholat. Dari ‘Abdullah bin Abi ‘Aufa, beliau berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطِيْلُ الصَّلاَةَ وَيَقْصُرُ الْخُطْبَةَ
“Adalah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- biasa memperpanjang sholat dan mempersingkat khutbah”. Riwayat An-Nasa`i.
Dan dari ‘Ammar bin Yasir beliau berkata, saya mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّ طُوْلَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مُئْنَةٌ مِنْ فِقْهِهِ, فَأَطِيْلُوْا الصَّلاَةَ وَأَقْصِرُوْا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا
“Sesungguhnya panjangnya sholat dan singkatnya khutbah seseorang merupakan tanda kefaqihannya. Maka panjangkanlah sholat dan persingkatlah khutbah, sesungguhnya di antara bentuk penjelasan ada yang merupakan sihir”. Riwayat Muslim
Maka dalam hadits ini terdapat perintah untuk memperpanjang sholat dan mempersingkat khutbah, sehingga terkumpullah dalam masalah ini ucapan dan perbuatan beliau.

7. Menyentuh (baca: bermain dengan) kerikil atau melakukan perbuatan sia-sia (baca: bermain-main) dengan menggunakan tasbih (arab: misbahah) dan semisalnya(4).
Ini adalah hal yang terlarang, termasuk di dalamnya bermain dengan al-gutroh atau pakaian atau alas masjid (sajadah atau terpal atau karpet-pent.) atau dengan siwak atau selainnya, seperti: tasbih, jam tangan, dan polpen. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shohihnya, bahwa Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمْعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ, غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمْعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ, وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَى
“Barangsiapa yang berwudhu lalu memperbaiki wudhunya kemudian dia mendatangi (Sholat) Jum’at, dia mendengarkan (khutbah) dan diam, maka akan diampuni dosa-dosanya antara Jum’at ini dengan Jum’at yang akan datang ditambah tiga hari. Dan barangsiapa yang menyapu kerikil (dengan tangannya) maka sungguh dia telah berbuat sia-sia”.

8. Menyendirikan hari Jum’at untuk berpuasa.
Ada banyak hadits yang menerangkan tentang larangan menyendirikan hari Jum’at untuk berpuasa, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- beliau berkata, saya mendengar Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لاَ يَصُوْمَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمْعَةِ إِلاَّ أَنْ يَصُوْمَ يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ
“Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at, kecuali dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”. Muttafaqun ‘alaih dan ini adalah lafadz Imam Al-Bukhari.
Dalam Shohih Muslim, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لاَ تُخُصُّوْا يَوْمَ الْجُمْعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ سَائِرِ الْأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ فِي صَوْمٍ يَصُوْمُهُ أَحَدُكُمْ
“Jangan kalian mengkhususkan hari Jum’at dari hari-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali puasa yang kalian biasa berpuasa dengannya “.
Dan dalam Shohih Al-Bukhari dari Juwairiyah bintu Al-Harits (beliau bercerita) bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah masuk kepada beliau pada hari Jum’at sedang beliau dalam keadaan berpuasa, maka Nabi bersabda:
أَصُمْتِ أَمْسِ؟ قَالَتْ: لاَ. قَالَ: فَتُرِيْدِيْنَ أَنْ تَصُوْمِي غَدًا؟ قَالَتْ: لاَ. قَالَ: فَأَفْطِرِي
“Apakah kamu berpuasa kemarin?”, dia menjawab, “Tidak”. Beliau bersabda, “Apakah kamu akan berpuasa besok?”, dia menjawab, “Tidak”. Beliau bersabda, “Kalau begitu berbukalah kamu sekarang”.
Dan hadits-hadits (dalam masalah ini) sangat banyak.

Adapun hikmah larangan -wallahu a’lam- adalah apa yang disebutkan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam ucapan beliau, “Untuk menutup sarana masuknya apa-apa yang bukan agama ke dalam agama, dan wajib untuk menyelisihi ahli kitab dalam hal mengkhususkan sebagian hari untuk tidak mengerjakan amalan-amalan duniawi. Dan juga ditambahkan bahwa hari ini (Jum’at), tatkala keutamaannya dibandingkan hari-hari lainnya sangat jelas maka alasan untuk berpuasa padanya sangat kuat, sehingga jadilah dia (Jum’at) sebagai hari yang manusia berbondong-bondong berpuasa padanya dan merayakannya dengan apa-apa yang mereka tidak rayakan dengan berpuasa pada hari-hari lainnya, dan dalam hal ini ada perbuatan menambahkan ke dalam syari’at apa-apa yang bukan bagian darinya. Karena hal inilah -wallahu A’lam- dilarang untuk mengkhususkan malam Jum’at untuk sholat dibandingkan malam-malam lainnya karena dia merupakan malam yang paling utama …”.
Dan telah berlalu dalam point pertama tentang hukum menyendirikan hari Jum’at untuk berpuasa jika dia bertepatan dengan (puasa) ‘Arafah atau Asyuro` bahwa hal tersebut tidaklah mengapa.
___________
(1) Maksudnya jika kebetulan puasa-puasa ini jatuhnya pada hari Jum’at.

(2) Termasuk di dalamnya ketika seseorang berbicara menyuruh orang lain untuk mengedarkan celengan jumat atau ucapan lain yang diucapkan jamaah sementara khutbah berlangsung. Maka tidak termasuk ucapan sia-sia, ucapan yang diucapkan ketika khatib sedang duduk di antara dua khutbah dan tidak termasuk darinya percakapan yang terjadi antara khatib dan jamaah, sebagaimana yang tersebut dalam beberapa hadits.
(3) Yakni bagi orang yang wajib untuk menghadiri jum’at. Adapun kaum wanita atau anak lelaki yang belum balig maka diperbolehkan bagi mereka berjual beli walaupun telah azan jum’at karena mereka tidak diwajibkan shalat jum’at.
(4) Termasuk hal yang dimakruhkan adalah menyilangkan jari-jari kedua tangan sebelum shalat, berdasarkan beberapa hadits yang hasan dari seluruh jalan-jalannya, di antaranya adalah hadits Ka’ab bin Ujrah, Abu Hurairah, dan selainnya. Dan bisa termasuk di dalamnya perbuatan mengedarkan celengan jumat karena hal itu bisa membuat seseorang lalai dari mendengar khutbah sebagaimana yang telah berlalu. Karenanya hendaknya celengan jumat diedarkan sebelum khutbah atau setelah shalat jumat, wallahu a’lam.

[Diterjemah dari Al-Minzhar fii Bayan Al-Akhtha` karya Asy-Syaikh Saleh Alu Asy-Syaikh hal. 44-47, dan footnote dari penerjemah]
http://al-atsariyyah.com/?p=1397#more-1397

Rabu, 25 November 2009

Download Daurah Fadhlul Islam

Ustadz Dzulqarnain

Bismillahirrahmanirrahiim

Berikut rekaman daurah yang telah dilaksanakan di MAsjid Al-Baythar Banjarbaru
pada tanggal 21-22 Nopember 2009, Bersama Al-Ustadz Dzulqarnain. Jazakumullahu khayran kepada Ustadz Dzulqarnain, Panita, Ta’mir Masjid, dan segenap ikhwah yang telah membantu
terselenggaranya acara ini. Mohon maaf kami tidak disiarkan langsung via paltalk kerana kendala teknis.
Untuk mendapatkan rekamannya silahkan download pada link berikut:

http://www.4shared.com/file/158433081/c9cbd9e6/1_091121_Ust_Dzulqarnain_Fadhl.html
http://www.4shared.com/file/158433141/64bcfcdd/Bjm_091122_Ust_Dzulqarnain_Seb.html
http://www.4shared.com/file/158433166/c8ee0bfc/4_091122_Ust_Dzulqarnain_Fadhl.html
http://www.4shared.com/file/158433173/a19fce32/3_091122_Ust_Dzulqarnain_Fadhl.html
http://www.4shared.com/file/158433193/3f1ce3bc/2_091121_Ust_Dzulqarnain_Fadhl.html

Senin, 23 November 2009

Kiamat 2012? Tidak Mungkin

Ramalan akan terjadinya kiamat pada tahun 2012 disadur dari sistem penanggalan Kalender Bangsa Maya yangg -menurut mereka- merupakan kalender paling akurat hingga kini yang pernah ada di bumi, yang mana perhitungan Maya Calendar dimulai dari 3113 SM sampai 2012 M. Mereka (bangsa Maya) menyatakan pada tahun 2012 -tepatnya tanggal 21 Desember 2012- merupakan “End of Times”, hanya saja maksud dari “End of Times” itu sendiri masih diperdebatkan oleh para ilmuwan dan arkeolog.
Ala kulli hal, tidak mungkin ada seorang muslim yang baik islamnya lantas dia membenarkan ramalan ‘basi’ seperti ini. Sungguh sudah pernah ada ramalan-ramalan seperti ini sebelumnya akan tetapi tentu saja tidak ada satupun yang benar bahkan mendekati kebenaran juga tidak [1]. Dan cukuplah menjadi dalil tertolaknya ‘ramalan’ ini bahwa ini merupakan ramalan orang-orang musyrik (bangsa maya) yang agamanya sama sekali tidak bersumber dari langit. Kalau Allah dan Rasul-Nya menyuruh kita untuk tidak mempercayai ‘ramalan’ seorang yang mengaku muslim, maka bagaimana lagi dengan ramalan kaum musyrikin?!

Kemudian yang perlu diketahui adalah bahwa kiamat itu tidak hanya terbatas pada hancurnya bumi, akan tetapi kiamat itu adalah hancurnya seluruh alam: Ketujuh langit dan ketujuh bumi beserta penghuninya dari kalangan malaikat dan manusia, serta segala sesuatu selain Allah, kecuali makhluk-makhluk yang Allah kecualikan untuk tidak hancur. Allah Ta’ala berfirman, “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah.” (QS. Az-Zumar: 68)
Sementara kejadian yang mereka sebutkan yang akan terjadi pada tahun 2012 adalah musnahnya 2/3 penduduk bumi akibat tsunami, gempa bumi, naiknya panas dibumi sampai 5 kali biasanya, dan seterusnya. Atau paling ngerinya adalah musnahnya semua penduduk bumi lalu digantikan lagi dengan peradaban yang baru dan tidak berhubungan dengan peradaban sebelumnya, demikianlah yang mereka sebutkan.
Anggaplah seandainya apa yang mereka sebutkan itu betul terjadi, maka -sekali lagi anggaplah itu terjadi- kejadian itu paling tinggi hanya dikatakan sebagai bencana alam yang mendunia, tapi sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai hari kiamat. Karena mereka tidak mengatakan bahwa pada tahun 2012 bintang-bintang akan berguguran, langit akan terbelah, semua planet akan hancur, dan seterusnya. Mereka hanya membatasi bencana ini pada bumi saja. Maka tentu saja itu bukan hari kiamat atau hari akhir, karena masih ada lagi hari setelahnya -walaupun itu tidak didapati lagi adanya manusia-.

Adapun jika kita meninjau dari sisi syariat, maka masalah kapan terjadinya hari kiamat merupakan salah satu dari perkara-perkara ghaib, dan Allah Ta’ala telah berfirman, “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml: 65)
Maka ayat ini tegas menunjukkan tidak ada satupun makhluk yang mengetahui perkara ghaib -termasuk waktu terjadinya hari kiamat-. Kalaupun Allah memberitahukan waktunya kepada makhluk-Nya, niscaya yang paling pertama kali mendapatkan pengabarannya adalah dua rasul Allah yang paling mulia secara mutlak, satu dari jenis manusia dan satu dari jenis makhluk ghaib (malaikat), yaitu Nabi Muhammad -alaihishshalatu wassalam- dan malaikat Jibril -alaihissalam-.
Akan tetapi tatkala Jibril -dalam rupa arab badui- datang bertanya kepada Nabi -alaihishshalatu wassalam- tentang kapan terjadinya hari kiamat, maka beliau -alaihishshalatu wassalam- hanya menjawab:
مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ
“Orang yang ditanya tidak lebih tahu tentangnya daripada yang bertanya.” (HR. Al-Bukhari no. 50 dan Muslim no. 9, 10)
Maksudnya: Saya dan kamu sama-sama tidak tahu. Dan masih banyak dalil-dalil lain yang menjelaskan pokok akidah ini (tidak ada yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah), akan tetapi bukan di sini tempat pemaparannya.

Di antara dalil syara’ yang menunjukkan batilnya ramalan ini adalah: Tanda-tanda besar hari kiamat yang tersebut dalam hadits belum nampak sampai sekarang. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin -dan termasuk dari rahmat Allah- bahwa kiamat tidak datang tiba-tiba, akan tetapi ada tanda-tanda besar -sebagai peringatan bagi manusia- yang akan terjadi sebelumnya. Dari Huzaifah bin Asid bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:
إِنَّهَا لَنْ تَقُومَ حَتَّى تَرَوْنَ قَبْلَهَا عَشْرَ آيَاتٍ. فَذَكَرَ الدُّخَانَ وَالدَّجَّالَ وَالدَّابَّةَ وَطُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَنُزُولَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَيَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَثَلاَثَةَ خُسُوفٍ خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنَ الْيَمَنِ تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَى مَحْشَرِهِمْ.
“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga kalian melihat sepuluh tanda.” Lalu beliau menyebutkan: Dukhan (kabut), Dajjal, Daabbah (binatang yang bisa berbicara), terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, turunnya Isa bin maryam -alaihis salam-, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, terjadinya tiga penenggelaman ke dalam bumi yang terjadi di timur, di barat, dan di jazirah Arab, dan yang terakhir adalah keluarnya api dari Yaman yang menggiring manusia ke tempat berkumpulnya mereka.” (HR. Muslim no. 2901)

Adapun tentang Dajjal, maka disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa dia keluar setelah terjadinya peperangan besar yang berakhir dengan dikuasainya konstantinopel. Adapun mengenai lamanya dia hidup di bumi, maka Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda dalam hadits An-Nawwas bin Sam’an:
أَرْبَعُوْنَ يَوْمًا: يَوْمٌ كَسَنَةٍ وَيَوْمٌ كَشَهْرِ وَيَوْمٌ كَجُمْعَةٍ وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ
“Empat puluh hari: Sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan, sehari seperti sejum’at (sepekan), dan sisa hari lainnya seperti hari-hari kalian sekarang.” (HR. Muslim no. 2937)
Jika kita jabarkan maka lama tinggalnya Dajjal di bumi adalah: 360 + 30 + 7 + 37 = 434 hari atau 1 tahun 2 bulan dan 2 pekan.

Setelah itu turunlah Isa bin Maryam yang akan membunuhnya, dan setelah membunuhnya beliau masih hidup beberapa tahun lagi sampai akhirnya beliau meninggal. Tentang berapa lamanya beliau tinggal di bumi, maka ada dua hadits shahih yang lahiriahnya bertentangan.
Hadits pertama adalah hadits Abu Hurairah: Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda tentang Isa bin Maryam -alaihissalam- setelah dia membunuh Dajjal:
فَيَمْكُثُ أَرْبَعِينَ سَنَةً ثُمَّ يُتَوَفَّى وَيُصَلِّى عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ
“Lalu beliau (Isa bin Maryam) menetap (di bumi) selama 40 tahun, kemudian beliau wafat dan jenazahnya dishalatkan oleh kaum muslimin.” (HR. Abu Daud no. 4324 dan Ahmad (2/406) serta dishahihkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar)
Hadits yang kedua adalah hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash:
فَيَبْعَثُ اللهُ عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ – كَأَنَّهُ عَرْوَةُ بْنُ مَسْعُوْدٍ – فَيَطْلُبُهُ فَيُهْلِكَهُ ثُمَّ يَمْكُثُ النَّاسُ سَبْعَ سِنِيْنَ لَيْسَ بَيْنَ اثْنَيْنِ عَدَاوَةٌ
“Lalu Allah mengutus Isa bin Maryam -yang wajahnya mirip Urwah bin Mas’ud-, lalu dia mencarinya (Dajjal) dan membunuhnya. Kemudian manusia tinggal selama 7 tahun dalam keadaan tidak pernah terjadi persengketaan antara dua orang sama sekali.” (HR. Muslim no. 2940)
Sebagian ulama memahami bahwa Nabi Isa tinggal selama 7 tahun setelah membunuh Dajjal setelah itu beliau meninggal, berdasarkan hadits ini.

Karenanya para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi kedua hadits ini. Ada yang mendahulukan hadits Abu Hurairah di atas dan ada juga yang mendahulukan hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash, dan sebagian lainnya ada yang memadukan kandungan kedua hadits ini dengan mengatakan: Bahwa tinggalnya beliau di bumi selama 40 tahun adalah total lamanya beliau hidup di bumi, termasuk sebelum diangkat ke langit. Adapun 7 tahun yang tersebut dalam riwayat Muslim maka dia dihitung sejak dari diturunkan kembali ke bumi. Sehingga umur beliau ketika diangkat ke langit adalah 33 tahun, dan inilah pendapat yang masyhur mengenai umur beliau.
Ala kulli hal, kalaupun kita memilih waktu yang paling singkat, yaitu 7 tahun, maka seharusnya Isa -alaihissalam- sudah ada sekarang.
Karena kalau memang kiamat itu 2012, maka paling lambat Isa -alaihissalam- sudah turun ke dunia pada tahun 2005 dan Dajjal seharusnya sudah mati sekarang -dibunuh oleh Nabi Isa- karena dia keluarnya setahun 2 bulan 2 pekan sebelum turunnya Isa -alaihissalam-.
Belum lagi kita menghitung tanda-tanda kiamat lainnya. Maka semua ini menunjukkan mustahilnya hari kiamat terjadi pada tahun 2012.

Sebagai penutup, kami bawakan hadits Abu Hurairah dimana Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- bersabda:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau peramal lalu membenarkan ramalannya maka sungguh dia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad -shallallahu alaihi wasallam-.” (HR. Ahmad: 2/429)
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa orang yang mempercayai ramalan baik itu berkenaan dengan masa lalu maupun masa yang akan datang, maka sungguh dia telah kafir keluar dari Islam karena dia telah mendustakan Al-Qur`an yang di dalamnya terdapat banyak ayat yang menegaskan tidak ada yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah. Karenanya hendaknya setiap muslim tidak memperdulikan ramalan seperti ini dan yang semacamnya, akan tetapi seharusnya dia menyibukkan diri dengan hal yang jauh lebih penting daripada itu, yaitu mengumpulkan perbekalan amalan guna menghadap Allah Ta’ala di hari kiamat kelak.

Demikianlah sedikit keterangan yang bisa kami sampaikan guna membantah kesesatan yang sedang merebak di sebagian kaum muslimin di zaman ini, semoga Allah Ta’ala menyelamatkan seluruh kaum muslimin dari kesesatan dan kekafiran, Allahumma amin.
__________

(1) Dulu pernah tersebar ramalan bahwa kiamat akan terjadi tanggal 19-9-1990, juga pernah ada yang meramalkan terjadinya kiamat pada tanggal 9-9-1990, ada juga yang pernah meramalkan bahwa terjadinya pada tanggal 1-1-2000, dan sekarang mereka meramalkan terjadinya pada tanggal 21-12-2012. Kalau ramalan ini salah -dan pasti salah-, nggak tahu tanggal berapa lagi yang akan mereka menyebutkan, wal iyadzu billah.

Kamis, 19 November 2009

Ahkam Shalat Al-Idain

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama Islam dengan semua perkara yang dibutuhkan oleh para pemeluknya. Allah Ta’ala berfirman, “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian.” Dan di antara kesempurnaan agama ini adalah Allah menjadikan, bahkan mensyariatkan untuk mereka id (hari raya) dimana mereka berbahagia dan bergembira di dalamnya. Hal itu karena sudah menjadi tabiat manusia senang dengan hari dimana mereka bisa berkumpul dan bersenang-senang di dalamnya, karenanya Allah memenuhi kebutuhan mereka ini dengan memberikan kepada mereka hari raya dimana di dalamnya mereka bisa bergembira dan bersenang-senang sesuai dengan aturan dari-Nya.
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Syariat Islam tidak mempunyai kecuali 3 hari id saja: Id yang pertama adalah al-fithr, kemudian setelahnya adalah al-adhha, kemudian hari jum’at. Adapun idul fithr dijadikan hari raya karena saat itu kaum muslimin telah menunaikan puasa yang menjadi kewajiban dalam Islam. Adapun idul adhha dijadikan hari raya karena dia terletak setelah 10 Zulhijjah dimana pada 10 hari pertama Zulhijjah, kaum muslimin disyariatkan untuk memperbanyak zikir dan ibadah, dan juga dari sisi adanya ibadah haji sebelumnya. Maka hari id setelah wuquf di Arafah sama seperti hari id setelah puasa ramadhan. Adapun hari jumat dijadikan hari id, karena pada hari itu penciptaan dimulai, pada hari itu Adam tercipta, pada hari itu dia dikeluarkan dari surga, dan pada hari itu juga terjadi kiamat.” Diringkas dari Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/211-213) dengan sedikit perubahan.

Definisi.
Dinamakan hari raya sebagai id, karena hari itu ya’udu (kembali berulang) setiap tahunnya dengan membawa kegembiraan yang baru, berupa kebaikan dan nikmat dari Allah Ta’ala tatkala mensyariatkan untuk bergembira setelah menyelesaikan suatu ibadah yang besar. Demikian dinyatakan oleh Ibnu Al-Arabi dan Ibnu Abidin -rahimahumallahu Ta’ala-.
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/145), “Kalimat ‘Shalat Idain’ adalah bentuk penyandaran sesuatu kepada waktu pengerjaannya dan kepada sebabnya. Maka shalat id ini disebabkan karena adanya dua hari id, dan shalat ini juga tidak dikerjakan kecuali pada kedua hari id ini.”

Hukum Shalat Idain.
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
1. Sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Malik, Asy-Syafi’i, Ishak, dan Abu Yusuf.
Mereka berdalilkan dengan dalil-dalil yang menyatakan tidak ada shalat wajib kecuali shalat lima waktu, misalnya hadits Thalhah bin Ubaidillah dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim
2. Fardhu kifayah. Ini adalah zhahir mazhab Ahmad, mazhab sekelompok Al-Hanafiah, dan mazhab Asy-Syafi’iyah.
Mereka mengatakan bahwa shalat id ini tidak didahului dengan azan dan iqamah sehingga tidak diwajibkan kepada setiap orang, sebagaimana halnya shalat jenazah. Mereka juga mengatakan: Hukum fardhu kifayah ini kami petik dari mengkompromikan dalil-dalil pendapat yang menyunnahkan dengan dalil-dalil pendapat yang mewajibkan.
3. Fardhu ain bagi semua laki-laki dan perempuan yang telah balig, kecuali mereka yang diperkecualikan sebagaimana yang akan datang penjelasannya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah.
Banyak dalil yang menguatkan pendapat ketiga ini di antaranya:
a. Para sahabat tidak pernah mengerjakan shalat Id kecuali bersama Nabi -alaihishshalatu wassalam- padahal banyak lapangan di Madinah dan sekitarnya, sebagaimana mereka tidak pernah mengerjakan shalat jumat kecuali bersama beliau di masjid Nabawi padahal banyak masjid lain di Madinah. Ini menunjukkan shalat id sama dengan shalat jumat di sisi mereka, bukan merupakan shalat sunnah mutlak dan bukan pula shalat yang sejenis dengan shalat jenazah.
b. Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan para wanita untuk keluar ke lapangan, walaupun dia dalam keadaan haid. Ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Athiyah riwayat Al-Bukhari yang akan datang. Sementara pada shalat lima waktu dan jum’at beliau bersabda tentang para wanita, “Rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
c. Shalat id menggugurkan kewajiban shalat jumat bagi siapa yang menghadiri shalat id, sebagaimana yang akan datang keterangannya. Dan tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban sebuah shalat wajib kecuali dia juga merupakan shalat yang wajib atau bahkan lebih wajib daripada yang dia gugurkan hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah menguatkan pendapat yang ketiga yaitu yang menyatakan shalat id adalah fardhu ain. Lalu beliau berkata, “Pendapat yang menyatakan tidak wajibnya adalah pendapat yang sangat jauh dari kebenaran, karena shalat ini termasuk dari syiar Islam yang paling besar, dan jumlah manusia yang berkumpul padanya juga lebih banyak daripada shalat jumat, dan takbir juga disyariatkan padanya. Adapun pendapat yang menyatakan dia fardhu kifayah maka dia adalah pendapat yang tidak jelas sisi pendalilannya.” (Majmu’ Al-Fatawa: 23/161)
Adapun dalil pendapat pertama terbantahkan dengan wajibnya shalat jenazah, padahal Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak menyebutkan shalat jenazah dalam hadits Thalhah tersebut. Ini menunjukkan beliau tidak bermaksud membatasi shalat wajib hanya yang lima waktu, tapi beliau hanya menyebutkan shalat yang diwajibkan setiap harinya. Jadi tidak bertentangan jika kita mengatakan wajibnya shalat id, karena dia hanya diwajibkan dua kali dalam setahun.
Adapun dalil pendapat kedua, maka perbuatan mereka mengkiaskan shalat id kepada shalat jenazah adalah kias yang batil karena bertentangan dengan dalil-dalil yang mewajibkannya.
Adapun alasan mereka mengompromikan dalil-dalil yang ada maka itu tidak bisa diterima, karena mengharuskan shalat jum’at juga hukumnya fardhu kifayah bagi laki-laki yang telah balig. Hal itu karena shalat jum’at juga tidak tersebut dalam hadits Thalhah bin Ubaidillah sementara ada dalil lain yang mewajibkannya, maka seharusnya mereka juga mengompromikannya dan mengatakan kalau shalat jum’at itu hanya fardhu kifayah bagi laki-laki yang telah balig, dan ini tentunya adalah pendapat yang batil.

[Lihat Majmu’ Al-Fatawa: 24/179-184]

Siapa yang Wajib Shalat Id?
Shalat id diwajibkan atas seluruh laki-laki dan perempuan yang telah balig dengan syarat dia berada pada tempat tinggalnya (muqim).
Manusia secara umum ada 2 jenis: Musafir dan muqim
Yang wajib mengerjakan shalat shalat id hanyalah laki-laki dan perempuan balig yang muqim, tidak diwajibkan atas musafir laki-laki dan perempuan. Karenanya jika kita dalam keadaan safar ke sebuah tempat lalu di situ diadakan shalat id, maka tidak wajib bagi kita untuk menghadirinya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama di antaranya: Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah-.
Dalil akan hal ini adalah bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak pernah mendirikan shalat id kecuali di Madinah. Beliau pernah bersafar ke Makkah pada saat fathu Makkah lalu beliau tinggal di Makkah sampai masuk bulan Syawal, akan tetapi tidak pernah dinukil dalam satu pun riwayat bahwa beliau dan para sahabat mendirikan shalat id. Demikian pula ketika waji wada` dimana idul adhha masuk ketika beliau berada di Mina, akan tetapi beliau tidak mengerjakan shalat ini karena beliau musafir. Sebagaimana beliau juga tidak mengerjakan shalat jum’at di Arafah karena beliau musafir.
Adapun orang-orang yang sakit maka dia diberikan uzur untuk tidak shalat id jika dia tidak sanggup untuk keluar ke lapangan atau ke masjid jika didirikan di masjid tatkala ada uzur.
Berikut beberapa hukum dan adab yang harus diperhatikan mulai dari subuh hari id hingga seseorang tiba di lapangan untuk shalat id:

1. Diharamkan berpuasa pada kedua hari raya.
Dari Abu Said secara marfu’, “Sesungguhnya Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- melarang berpuasa pada dua hari: Hari al-fithr dan hari an-nahr (penyembelihan).” (HR. Muslim no. 872)

2. Disunnahkan mandi sebelum berangkat.
Diriwayatkan oleh Malik (426) dari Nafi’ dia berkata:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
“Bahwasanya Ibnu ‘Umar mandi di hari Iedul Fithri sebelum berangkat ke musholla.”
Bahkan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar (711), Ibnu Rusyd dalam Bidayah Al-Mujtahid (1/505), dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (5/7) menukil ijma’ akan disunnahkannya amalan ini.
Sebab dari sunnah ini adalah agar dia tidak mengganggu kaum muslimin lain dengan bau badannya yang tidak sedap. Maka dari sini juga dikiaskan padanya disunnahkannya memakai wangi-wangian dan semacamnya pada tubuh dan juga pada pakaian. Hanya saja hukumini hanya berlaku bagi kaum lelaki, adapun kaum wanita maka mereka dilarang untuk memakai wangi-wangian ketika mereka akan keluar dari rumahnya. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, “Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu dia melewati sebuah kaum agar mereka bisa mencium bau wanginya maka dia adalah wanita pezina.” (HR. Ahmad)

3. Berhias untuk menghadiri shalat id.
Dari Ibnu Umar dia berkata:
أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنِ اسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِبْتَعْ هَذِهِ تُجَمِّلُ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ
“Umar mengambil jubah dari sutera yang dijual di pasar. Diapun mengambilnya lalu dibawa kepada Rasulullah  seraya berkata: ["Ya Rasulullah, Belilah ini agar engkau bisa berhias dengannya untuk hari ied dan para utusan”]” (HR. Al-Bukhari no. 906 dan Muslim no. 2068)
Abul Hasan As-Sindi -rahimahullah- berkata, “Dari hadits ini bisa diketahui bahwa berhias di hari ied termasuk adat yang sudah diakui di kalangan mereka (para sahabat), sedang Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- juga tidak mengingkarinya. Maka diketahuilah konsistensinya tetap ada”. (Hasyiah As-Sindi ala An-Nasai: 3/181)
Adapun kaum wanita, maka hendaknya mereka menjauhi semua bentuk perhiasan ketika mereka keluar rumah, karena mereka dilarang untuk memperlihatkan perhiasan mereka kepada laki-laki yang bukan mahramnya.

4. Waktu makan pada hari id.
Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- berkata:
كَانَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ
“Rasulullah -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- tidaklah berangkat di hari iedul fithri sampai beliau makan beberapa biji korma”. (HR. Al-Bukhari no. 953)
Buraidah -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمُ وَيَوْمَ النَّحْرِ لاَ يَأْكُلُ حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ نَسِيْكَتِهِ
“Nabi -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- tidaklah keluar di hari iedul Fithri sampai beliau makan, dan pada hari iedul Adh-ha beliau tak makan sampai beliau kembali lalu maka sebagian dari hewan korbannya”. (HR. Ahmad: 5/352), At-Tirmizi no. 542), dan Ibnu Majah no. 1756)
Ibnu Qudamah Al-Maqdasi -rahimahullah- berkata dalam Al-Mughni (2/113), “Sunnahnya di hari raya iedul fitri makan dulu sebelum sholat ied dan di hari raya iedul Adhha tak makan sampai usai sholat. Ini merupakan pendapat kebanyakan ahli ilmu, di antaranya Ali, Ibnu Abbas, Malik, Asy-Syafi’i, dan yang lainnya. Kami tidak mengetahui adanya khilaf di dalamnya”.
Berdasarkan hadits di atas maka pada idul adhha, tidak disunnahkan seseorang untuk makan apapun sebelum keluar ke lapangan, tapi dia baru disunnahkan makan setelah pulang dari shalat id. Adapun pada shalat idul fithr, maka yang disunnahkan adalah makan sebelum keluar ke lapangan. Yang disunnahkan untuk dimakan adalah beberapa biji korma, utamanya berjumlah ganjil karena “sesungguhnya Allah Ta’ala ganjil (esa) dan Dia senang dengan yang ganjil.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Barangsiapa yang tidak mempunyai korma maka hendaknya dia makan makanan apa saja walaupun hanya seteguk air, agar dia tetap bisa mengikuti sunnah ini, hanya saja sebaiknya yang manis-manis agar ada keserupaan dengan korma.
Para ulama menyebutkan beberapa hikmah pembedaan antara idul fithr dan idul adhha dalam hal waktu makan, di antara hikmahnya:
a. Penekanan dalam larangan berpuasa pada hari itu dan juga sebagai pengumuman bahwa puasa ramadhan sudah selesai pada hari itu. Ini diisyaratkan oleh Ibnu Al-Muhallab dan Ibnu Hajar.
b. Makan sebelum idul fithr merupakan perbuatan bersegera dalam melaksanakan perintah Allah yaitu berbuka pada hari itu, agar hari itu kelihatan berbeda dengan ramadhan. Berbeda halnya dengan idul adhha yang tidak didahului oleh puasa ramadhan.
c. Tatkala zakat fithr dikeluarkan sebelum shalat id, maka disunnahkan makan sebelum shalat agar orang-orang miskin juga bisa makan sebelum shalat id dengan zakat fithr yang mereka peroleh. Tatkala sembelihan dilakukan setelah shalat id maka disunnahkan untuk makan setelahnya agar dia dan juga orang-orang miskin bisa makan dari sembelihan tersebut. Ini disebutkan oleh Az-Zubair bin Al-Munayyir dan Asy-Syaukani.
[Lihat: Fath Al-Bari Ibnu Hajar (2/446-448) dan Fath Al-Bari karya Ibnu Hajar (8/441 dan seterusnya)]

5. Tempat pelaksanaan shalat id.
Tuntunan Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- dalam masalah ini adalah shalat di lapangan. Dari Abu Said Al-Khudri dia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ فِي يَوْمِ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- selalu keluar shalat di lapangan pada hari al-fithr dan al-adhha.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Al-Hajj Al-Maliki berkata dalam Al-Madkhal (2/283), “Sunnah yang telah tetap dari dahulu dalah shalat 2 id adalah dikerjakan di lapangan. Karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, “Shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 kali shalat di masjid lainnya kecuali masjid al-haram.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Tapi bersamaan dengan keutamaan ini, Nabi -alaihishshalatu wassalam- justru keluar ke lapangan untuk shalat id dan meninggalkan masjid beliau.”
Adapun bagi yang tidak sanggup untuk keluar ke lapangan atau ada uzur -seperti hujan- yang menghalangi orang-orang untuk shalat di lapangan, maka penguasa menunjuka satu orang untuk mengimami mereka di masjid. Lihat Al-Ausath (4/257)

6. Disunnahkan untuk berjalan kaki ketika menuju atau pulang dari lapangan.
Ini berdasarkan keumuman hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Setiap langkah yang dia langkahkan menuju shalat adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari). Adapun secara khusus, maka Ali bin Abi Tholib -radhiallahu anhu- berkata:
مِنَ السُّنَّةِ أَنْ تَخْرُجَ إِلَى الْعِيْدِ مَاشِيًا
“Termasuk sunnah kamu keluar menuju ied sambil jalan”. (Riwayat At-Tirmizi: 1/164)
At-Tirmizi -rahimahullah- berkata dalam As-Sunan (2/410), “Hadits ini di amalkan di sisi para ahli ilmu, mereka menganjurkan seseorang keluar menuju ied sambil berjalan”.

7. Para wanita dan anak-anak juga ikut keluar ke lapangan untuk menyaksikan shalat id.
Ini berdasarkan hadits Ummu Athiyah -radhiallahu anha- dia berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى: اَلْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ. فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Rasulullah -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- memerintahkan kami mengeluarkan para gadis, wanita yang haidh, dan yang dalam pingitan (menuju shalat id). Adapun yang haidh maka mereka menjauhi sholat, dan mereka tetap menyaksikan kebaikan dan doanya kaum muslimin. Aku berkata, “Ya Rasulullah, seorang di antara kami ada yang tak punya jilbab”. Beliau menjawab: [“Hendaknya saudaranya memakaikan (meminjamkan) jilbabnya kepada saudaranya”]. (HR. Al-Bukhari no.971 dan Muslim no. 890)
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata dalam Al-Fath (2/470), “Di dalamnya terdapat anjuran keluarnya para wanita untuk menyaksikan dua hari raya, baik dia itu gadis, ataupun bukan; baik dia itu wanita pingitan ataupun bukan”.
Kami katakan: Hadits di atas menunjukkan wajibnya para wanita juga ikut keluar ke lapangan dan juga menunjukkan wajibnya shalat id. Karena sampai para wanita yang haid pun diperintahkan keluar walaupun mereka tidak ikut shalat, maka menunjukkan wanita yang tidak haid lebih diperintahkan untuk keluar. Dan hukum asal dari perintah adalah wajib. Ditambah lagi, para wanita yang tidak mempunyai jilbab tidak diberikan keringanan untuk tidak shalat id, bahkan Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan kepadanya untuk meminjam jilbab agar dia bisa ikut shalat id. Lihat kembali pembahasan hukum shalat id.
Adapun disyariatkannya anak-anak untuk ikut keluar shalat id, maka berdasarkan hadits Ibnu Abbas tentang ceramah Nabi -alaihishshalatu wassalam- kepada para wanita. Ibnu Abbas ditanya, “Apakah kamu menyaksikan shalat id bersama Nabi -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-?” beliau menjawab, “Ia, seandainya bukan karena saya masih kecil niscaya saya tidak akan bisa menghadirinya.” (HR. Al-Bukhari). Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (2/466), “Maksudnya seandainya bukan karena saya masih kecil niscaya saya tidak bisa menyaksikan nasehat beliau kepada para wanita. Karena anak kecil dibolehkan untuk berbaur dengan para wanita, berbeda halnya dengan lelaki yang telah dewasa.”

8. Bersegera menuju ke lapangan kecuali bagi imam/khathib.
Adapun bagi makmum/jamaah, maka disunnahkan mereka untuk bersegera menuju ke lapangan, semakin cepat semakin baik. Dalil-dalil disunnahkannya antara lain:
a. Inilah amalan para sahabat. Karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- keluar shalat id pada setelah matahari terbit dan sudah menjumpai para sahabat, maka ini menunjukkan mereka sudah berkumpul sebelum matahari terbit.
b. Dalil umum yang memerintahkan untuk bersegera mengerjakan kebaikan.
c. Memperbesar pahala, karena jika dia cepat tiba di lapangan dan menunggu shalat, maka orang yang menunggu shalat tetap mendapatkan pahala shalat selama dia menunggunya.
d. Dia bisa mendapatkan shaf pertama dan dekat dengan imam.
[Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/163-164)]
Adapun imam/khatib, maka dia disunnahkan untuk terlambat menuju ke lapangan sampai waktu pelaksanaan shalat. Ini berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri yang akan datang, “Sesungguhnya Nabi -alaihishshalatu wassalam- jika beliau keluar ke lapangan maka amalan yang pertama kali beliau kerjakan adalah shalat.” (HR. Al-Bukhari)
Sisi pendalilan: Ini menunjukkan beliau terlambat keluar ke lapangan karena setelah beliau datang maka shalat langsung ditegakkan. Lagi pula secara logika, imam itu ditunggu oleh jamaah dan bukan dia yang menunggu jamaah.

9. Menjahrkan takbir menuju ke lapangan.
Disunnahkan untuk bertakbir dengan suara keras sejak keluar dari rumah sampai tiba di lapangan dan berhenti bertakbir ketika shalat akan didirikan. Adapun pada shalat id, maka berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kalian membesarkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Baqarah: 185) Sementara pada idul adhha maka berdasarkan firman-Nya, “Demikianlah Allah menundukkan mereka (hewan ternak) untuk kalian agar kalian membesarkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya kepada kalian.” (QS. Al-Hajj: 37)
Ibnu Umar -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ فِي الْعِيْدَيْنِ مَعَ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَعَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَعَلِيٍّ وَجْعَفَرٍ وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ وَزَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ وَأَيْمَنَ بْنِ أُمِّ أَيْمَنَ رَافِعًا صَوْتَهُ بِالتَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ
“Rasulullah -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- keluar di dua hari raya bersama Al-Fadhl bin Abbas, Abdullah, Al-Abbas, Ali, Ja’far, Al-Hasan, Al-Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Aiman bin Ummi Aiman sambil mengangkat suaranya bertahlil dan bertakbir”. (HR. Al-Baihaqi: 3/279 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`: 3/123)
Hanya saja bertakbir pada idul adhha lebih ditekankan berdasarkan dua alasan:
a. Para ulama sepakat disyariatkannya takbir pada idul adhha sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i. Sementara pada idul fithr mereka berbeda pendapat mengenai hukum bertakbir pada idul fithr, walaupun yang kuat adalah disyariatkannya.
b. Waktu untuk bertakbir pada idul adhha lebih lama dibandingkan waktu bertakbir pada idul fithr, sebagaimana yang akan datang penjelasannya.

Masalah: Awal dan akhir waktu bertakbir pada kedua hari id.
1. Adapun pada idul fithr, maka mayoritas ulama berpendapat dia dimulai ketika keluar dari rumah dan berakhir ketika imam datang untuk menegakkan shalat. Inilah pendapat yang kuat berdasarkan atsar Ibnu Umar bahwa beliau bertakbir pada hari id sampai beliau tiba di lapangan, dan beliau tetap bertakbir sampai imam datang. (Riwayat Al-Firyabi no. 48)
Maka ini menunjukkan tidak disyariatkannya bertakbir pada malam idul fithr, karena hal tersebut tidak pernah diamalkan oleh seorangpun dari kalangan sahabat dan tabi’in. Sebagian mereka berdalil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan lafazh, “Siapa yang menghidupkan malam id karena mengharap pahala maka hatinya tidak akan mati pada hari dimana semua hati akan mati.” Hanya saja ini adalah hadits yang lemah karena di dalamnya ada ‘an’anah Baqiyah bin Al-Walid dan dia adalah seorang mudallis.
2. Adapun pada idul adhha, maka telah tsabit dari sebagian sahabat -dan ini adalah pendapat mayoritas ulama- bahwa dia dimulai dari subuh hari arafah (9 Zulhijjah) sampai akhir hari tasyriq (13 Zulhijjah). Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata dalam Al-Fatawa (24/220), “Pendapat yang paling tepat dalam masalah takbir (pada idul adhha) adalah pendapat mayoritas ulama sala dan para fuqaha dari kalangan sahabat dan imam kaum muslimin bahwa: Dia dimulai dari subuh hari arafah sampai akhir hari-hari tasyrik.”
Sebagian orang mengkhususkan takbiran sehabis sholat-sholat lima waktu, tapi ini tak ada dalilnya. Ini dikuatkan dengan sebuah atsar bahwa “Ibnu Umar bertakbir di Mina pada hari-hari itu (tasyriq, pen-), seusai sholat, di atas tempat tidur, dalam tenda, majlis, dan waktu berjalan pada semua hari-hari tersebut “. (Shahih Al-Bukhari no. 1330)

Masalah: Lafazh-lafazh takbir.
Tak ada satupun lafazh shohih yang datang dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, karenanya berdasarkan keumuman ayat maka boleh saja seseorang bertakbir dengan lafazh apa saja selama itu merupakan lafzh takbir.
Hanya saja, ada beberapa lafazh yang diriwayatkan dari para sahabat -radhiaallahu anhum ajma’in- dan tentunya mengikuti lafazh mereka lebih utama daripada kita mengarang lafazh takbir sendiri. Di antaranya
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- dalam riwayat Al-Baihaqi (3/315):
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ اَللهُ أَكْبَرُ وَأَجّلُّ اَللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
Juga dari Salman Al-Farisy -radhiallahu ‘anhu- riwayat Al-Baihaqi (3/316), beliau berkata, “Bertakbirlah (dengan lafazh):
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Adapun lafazh takbir Ibnu Mas’ud -radhiallahu ‘anhu- riwayat Ibnu Abi Syaibah no. 5632, 5651:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Dan dalam riwayat lain dengan 3 kali takbir, maka riwayatnya lemah karena adanya ‘an’anah Abu Ishak As-Sabi’i dan dia adalah seorang mudallis.
Adapun tambahan yang diberikan oleh orang-orang di zaman kita pada lafazh takbir, maka semua itu merupakan buatan orang-orang belakangan, tak ada dasarnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Di zaman ini telah diciptakan semacam tambahan pada masalah itu (lafazh takbir) yang tak ada dasarnya”. (Lihat Fath Al-Bari: 2/536)

Waktu Shalat Id
Waktu pengerjaan shalat berada di antara dua waktu larangan untuk shalat, kedua waktu tersebut adalah: Mulai dari terbitnya matahari sampai terbitnya semua bulatannya dan mulai dari matahari berada di tengah langit hingga dia tergelincir ke arah barat. Jadi waktunya adalah: Setelah semua bulatan matahari terbit sampai sebelum matahari berada di tengah langit. Ibnu Baththal sebagaimana dalam Al-Fath (2/457), Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (5/81), dan Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah (1/510) menyatakan tidak adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa shalat id dikerjakan di antara dua waktu terlarang. Adapun mengerjakan shalat id pada kedua waktu terlarang di atas maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, dan yang lebih utama adalah tidak shalat id pada keduanya.
Dari Abdullah bin Busr, sahabat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau keluar bersama orang-orang untuk mengerjakan shalat idul fithr atau adhha, maka beliau mengingkari terlambatnya imam seraya berkata, “Dulu kami (para sahabat bersama Nabi) sudah selesai shalat (id) pada waktu seperti ini, pada waktu tasbih (shalat dhuha)” (HR. Abu Daud no. 1135, Ibnu Majah no. 1317)
Maka hadits ini jelas menunjukkan disunnahkannya mempersegera pelaksanaan shalat id, terkhusus idul adhha karena pada waktu itu adalah waktu penyembelihan udhhiyah, sementara kata udhhiyah berasal dari kata dhuha. Hewan yang disembelih dikatakan udhhiyah karena dia disembelih pada waktu dhuha. Jika penyembelihan dilakukan pada saat dhuha maka ini menunjukkan shalat idul adhha dilaksanakan sebelum waktu dhuha.

Adapun pada idul fithr maka disunnahkan untuk diundurkan agar kaum muslimin memiliki waktu yang cukup untuk bisa mengeluarkan zakat fithr mereka, yang mana waktu paling disunnahkan untuk mengeluarkan zakat fithr adalah setelah terbitnya fajar 1 syawal sampai datangnya imam memimpin shalat id. Lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab (8/461).
Imam Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Umm (1/386), “Seseorang hendaknya keluar dari rumahnya dan sudah berada di lapangan ketika bulatan matahari sudah terbit seluruhnya, dan inilah waktu paling cepat yang dijadikan ukuran. Sementara pada idul fithr maka hendaknya dia mengundurnya sedikit -tidak banyak- sebelum itu.”

Masalah: Jika masuknya 1 syawal baru diketahui setelah tergelincirnya matahari.
Jika demikian keadaannya maka hendaknya mereka (kaum muslimin) tidak shalat id pada hari itu karena waktu pengerjaannya telah lewat, akan tetapi hendaknya mereka mengundurkannya sampai besok dan mengerjakannya pada tanggal 2 syawal. Ini berdasarkan hadits beberapa orang sahabat dimana mereka berkata, “Hilal syawal tertutupi awan sehingga kami tidak melihatnya (pada tanggal 29 ramadhan, pent.) maka kamipun tetap berpuasa di pagi harinya. Kemudian ada sekelompok orang yang datang di akhir siang lalu mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal syawal kemarin. Maka Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan orang-orang untuk berbuka pada hari itu dan agar mereka keluar untuk shalat id keesokan harinya.” (Diriwayatkan oleh Imam Lima dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`: 3/102)

Tidak ada azan dan iqamah sebelum shalat id
Dari Jabir bin Samurah dia berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ
“Saya shalat kedua id bersama Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bukan sekali dan bukan pula dua kali, tanpa ada azan dan tidak pula iqamah.” (HR. Muslim no. 887)
Diriwayatkan juga yang semakna dengannya dari Ibnu Abbas riwayat Al-Bukhari no. 959 dan Muslim no. 886, dari Jabir riwayat Muslim (886).
Ibnu Al-Qayyim berkata dalam Zadul Ma’ad (1/442), “Jika beliau -alaihishshalatu wassalam- sudah tiba di lapangan, maka beliau langsung mengerjakan shalat tanpa ada azan, tidak pula iqamah, dan tidak pula ucapan ‘ash-shalatu jami’ah’. Yang menjadi tuntunan beliau adalah tidak mengerjakan semua itu.”
Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzjar (7/12-14) dan juga Ibnu Rajab dalam Al-Fath (8/447) menukil kesepakatan ulama akan tidak adanya azan dan iqamah pada kedua shalat id.

Adakah shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat id?
Dari Ibnu Abbas dia berkata:
أَنَّ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ, لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
“Nabi -shallallahu alaihi wasallam- melaksanakan sholat iedul fithri sebanyak dua raka’at, namun beliau tidak sholat sebelum dan sesudahnya”. (HR. Al-Bukhari no. 912,945,5544 dan Muslim no. 884)
Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (2/476), “Kesimpulannya, tidak ada bagi shalat id shalat sunnah sebelumnya dan tidak juga setelahnya, berbeda halnya dengan orang yang mengkiaskannya dengan jum’at.”

Sifat shalat id
a. Terdiri dari dua rakaat berdasarkan hadits Ibnu Abbas di atas.

b. Rakaat pertama dibuka dengan takbiratul ihram -sebagaimana shalat lainnya-, setelah itu bertakbir selama 7 kali setelah itu baru membaca al-fatihah. Sementara pada rakaat kedua, setelah berdiri dari sujud sambil bertakbir (takbir intiqal/perpindahan), selanjutnya bertakbir sebanyak 5 kali.
Dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya (Abdullah bin Amr bin Al-Ash) dia berkata:
كَبَّرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي صَلاَةِ الْعِيْدِ: سَبْعًا فِي الْأُوْلَى ثُمَّ قَرَأَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ. ثُمَّ قَامَ فَكَبَّرَ خَمْسَا ثُمَّ قَرَأَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ
“Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bertakbir pada shalat id: 7 kali di rakaat pertama kemudian beliau membaca (al-fatihah dan surah), kemudian beliau bertakbir lalu ruku’, kemudian beliau sujud. Kemudian beliau berdiri lalu bertakbir sebanyak 5 kali, kemudian beliau bertakbir lalu ruku’, kemudian beliau sujud.” (HR. Abu Daud 1151, 1152, An-Nasai dalam Al-Kubra no. 1804, Ibnu Majah no. 1278, dan Ahmad: 2/180, Al-Firyabi no. 135 -dan ini lafazhnya-, dan selainnya)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ahmad, Ali bin Al-Madini, Al-Bukhari, sebagaimana Lihat At-Talkhish Al-Habir karya Al-Hafizh (2/171) dan juga dinyatakan hasan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` (3/108-112)
Al-Baghawi berkata dalam Syarh As-Sunnah (4/309), “Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan para ulama setelah mereka ….. Amalan ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, dan Ali.”
Catatan:
1. Telah shahih dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau bertakbir 5 kali di rakaat pertama sebelum membaca al-fatihah dan 4 kali di rakaat kedua setelah membaca al-fatihah dan surah (sebelum ruku’). Akan tetapi Al-Baihaqi berkata setelah meriwayatkannya (3/291), “Ini hanyalah pendapat dari Abdullah bin Mas’ud, dan hadits musnad (yang bersambung secara marfu’) yang diamalkan oleh kaum muslimin itu lebih utama untuk diikuti.”
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas beliau bertakbir 7 kali di rakaat pertama termasuk takbiratul ihram dan 5 kali di rakaat kedua. Juga dari Ibbu Az-Zubair bahwa beliau bertakbir 4 kali di rakaat pertama dan kedua selain kedua takbir untuk ruku’. Akan tetapi komentar kita terhadapnya adalah seperti komentar Al-Baihaqi terhadap atsar Ibnu Mas’ud di atas.
2. Dari keterangan di atas kita bisa mengetahui batilnya amalan sebagian kaum muslimin yang hanya bertakbir sekali pada rakaat pertama dan kedua (sama seperti shalat biasa), dengan dalih tidak ada hadits yang shahih dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- dalam masalah ini.
Kami katakan: Apakah kalian yang lebih paham tentang hadits dibandingkan imam ahli hadits semacam Ahmad dan Al-Bukhari?! Anggaplah tidak ada satupun hadits dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- maka mengikuti amalan para sahabat yang warid dengan sanad yang shahih, itu lebih utama daripada kalian memunculkan kaifiat shalat id sendiri.
3. Hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash di atas menunjukkan ke-7 takbir di rakaat pertama dan ke-5 takbir di rakaat kedua, semuanya adalah tambahan. Maka ini sebagai sanggahan kepada orang yang bertakbir 7 kali di rakaat pertama termasuk takbiratul ihram dan 5 kali di rakaat kedua termasuk takbir berdiri dari sujud, karena kalau begitu tambahan di rakaat pertama hanya 6 dan di rakaat kedua hanya 4, karena takbiratul ihram dan takbir intiqal (berdiri dari sujud) bukanlah termasuk takbir tambahan. Walaupun ada sebagian ulama yang berpendapat dengannya akan tetapi itu adalah pendapat yang kurang kuat.

c. Apakah ada doa istiftah dalam shalat id? Jika ada dimana tempatnya?
Tidak ada satupun hadits shahih maupun lemah yang menerangkan hal ini. Karenanya barangsiapa yang tidak istiftah karena memandang shalat itu tauqifiah (terbatas pada dalil) maka dia telah berbuat baik. Tapi barangsiapa yang membaca istiftah karena menganggap hukum asal shalat id adalah sama seperti shalat biasa (yang dimulai dengan istiftah) kecuali kalau ada dalil yang mengecualikan (seperti dalam jumlah takbir), maka itu juga tidak mengapa.
Bagi yang membaca maka dia bisa membacanya setelah takbir-takbir tambahan sebelum membaca al-fatihah, karena istiftah adalah pembuka bacaan, wallahu a’lam.

d. Apakah kedua tangan di angkat setiap kali bertakbir?
Yang benarnya, kedua tangan tidak diangkat kecuali pada takbiratul ihram dan takbir intiqal saja. Maka pada takbir-takbir tambahan di rakaat pertama dan kedua, tidak disyariatkan untuk mengangkat tangan setiap kali bertakbir. Hal itu karena tidak ada satupun hadits yang shahih dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- dan para sahabatnya yang menyinggung masalah ini. Seandainya beliau -alaihishshalatu wassalam- dan para sahabatnya mengangkat kedua tangan mereka setiap kali bertakbir, niscaya amalan tersebut akan dinukil dari mereka walaupun dalam satu hadits, mengingat shalat id ini dihadiri oleh banyak kaum muslimin.
Ini adalah pendapat Malik, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, dan Ibnu Hazm. Ada beberapa hadits yang menerangkan disunnahkannya mengangkat tangan pada takbir-takbir tambahan ini, akan tetapi semuanya adalah hadits yang lemah.

e. Tidak shahih dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- ada satupun zikir dan doa yang dibaca di pada setiap takbir. Karenanya Ibnu Al-Qayyim berkata dalam Zadul Ma’ad (1/443), “Beliau -alaihishshalatu wassalam- selalu diam sebentar di antara dua takbir (shalat id), dan tidak dihafal dari beliau adanya zikir tertentu di antara takbir-takbir tambahan.

f. Beberapa masalah seputar takbir-takbir tambahan:
1. Takbir-takbir tambahan ini hukumnya sunnah, sehingga tidak membatalkan shalat id walaupun ditinggalkan dengan sengaja. Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (3/275), “Takbir-takbir tambahan serta zikir di antara keduanya (bagi yang berpendapat adanya, pent.) bukanlah wajib, sehingga shalat id tidaklah batal dengan meninggalkannya baik secara sengaja maupun lupa. Dan saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.”
2. Jika imam lupa membaca takbir-takbir tambahan dan langsung baca al-fatihah.
Jika dia telah ruku’ maka tidak perlu dia mengulanginya karena tempatnya telah lewat. Jika dia ingat belum ruku baik sudah baca al-fatihah maupun belum, maka hendaknya dia membaca takbir-takbir tambahan lalu mengulangi bacaan (jika dia sudah mulai membaca).
3. Jika makmum ketinggalan sebagian atau semua takbir tambahan bersama imam maka takbir-takbir tambahan itu gugur darinya. Misalnya jika dia masbuk satu rakaat dimana imam pada rakaat kedua hanya membaca 5 kali takbir, maka dia harus mengikuti imamnya dengan hanya membaca 5 kali takbir -walaupun itu baru rakaat pertama baginya- kemudian dia diam mendengarkan bacaan imam. Inilah pendapat yang lebih tepat yang ada di kalangan ulama.
4. Jika takbir-takbir tambahan imam kurang jumlahnya, baik karena dia lupa atau karena mazhab imam berbeda dengan mazhab kita, maka hendaknya kita menambah sendiri sebelum imam dan sebaiknya sebelum imam memulai baca al-fatihah.
5. Jika dia ragu mengenai jumlah takbirnya maka hendaknya dia memilih yang paling meyakinkan. Dan jika dia ragu apakah dia sudah takbiratul ihram atau tidak, maka dia menjadikan takbir terakhir (sebelum baca al-fatihah) sebagai takbiratul ihram.
6. Siapa yang tidak mendengarkan suara takbir imam maka hendaknya dia bertakbir sendiri. Jika ternyata takbirnya mendahului takbir imam tanpa kesengajaan dia maka itu tidak bermasalah insya Allah.

g. Setelah takbir-takbir tambahan, dia membaca ta’awudz, lalu membaca al-fatihah dengan jahr berdasarkan dalil umum disyariatkannya ta’awudz dan bahwa tidak ada shalat bagi yang tidak membaca al-fatihah.

h. Pada surah setelah al-fatihah disunnahkan untuk membacanya secara jahr, dan disunnahkan untuk membaca surah Al-A’la pada rakaat pertama dan Al-Ghasyiah pada rakaat kedua, sebagaimana yang beliau lakukan pada shalat jum’at. Ini berdasarkan hadits riwayat Muslim no. 878 dari sahabat An-Nu’man bin Basyir. Dan Nabi -alaihishshalatu wassalam- juga biasa membaca surah Qaf pada rakaat pertama dan Al-Qamar pada rakaat kedua, juga berdasarkan riwayat Muslim no. 891 dari sahabat Abu Waqid Al-Laitsi.

i. Sisanya sama seperti kaifiat shalat biasa.

j. Barangsiapa yang ketinggalan atau tidak menghadiri shalat id secara berjamaah maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebagian ulama berpendapat tidak disyariatkan adanya qadha`, karena shalat id adalah shalat yang mempunyai ketentuan (seperti harus berjamaah dan ada khutbah setelahnya), sehingga kapan ketentuan ini tidak terpenuhi maka tidak wajib diqadha`. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiah dan yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Sebagian lainnya berpendapat hendaknya dia mengqadha` dengan mengerjakan shalat dua rakaat beserta takbir-takbir tambahan. Telah shahih bahwa sahabat Anas bin Malik mengerjakan amalan ini. Ini adalah pendapat Qatadah, Atha`, An-Nakhai, Ibnu Sirin, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, Al-Hasan, Malik, Al-Laits, Abu Hanifah, Ibnu Abi Syaibah, dan salah satu riwayat dari Ahmad.
Jika dia hanya shalat dua rakaat tanpa takbir-takbir tambahan maka ini juga tidak bermasalah. Ini adalah pendapat Ibnu Al-Hanafiah, Ikrimah, Ibnu Iyadh, dan merupakan mazhab Al-Bukhari -rahimahullah-. Juga merupakan salah satu pendapat Malik dan Ahmad dalam satu riwayat.
Kami katakan: Yang manapun dari ketiga amalan di atas yang dia kerjakan maka insya Allah tidak mengapa.
Lihat Fathul Bari karya Al-Hafizh (2/474-475), Fathul Bari karya Ibnu Rajab (9/76), dan Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/208)

k. Jika hari id bertemu dengan hari jum’at maka tidak diberikan keringanan bagi yang telah menghadiri shalat id untuk tidak menghadiri shalat jum’at. Akan tetapi dia tetap mengerjakan shalat zuhur baik secara berjamaah di masjid maupun sendiri di rumah, wallahu a’lam. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (24/211).

Seputar Khutbah
a. Khutbah Setelah Shalat
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- dia berkata:
شَهِدْتُ العِيْدَ مَعَ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ -, فَكُلُّهُمْ يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Saya mengikuti shalat id bersama Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, Abu Bakar, Umar, dan Utsman -radhiallahu anhu-, maka mereka semua mengerjakan shalat sebelum khutbah.” (HR. Al-Bukhari no. 962 dan Muslim no. 884)
Maksudnya: Beliau mengikuti shalat id sejak dari zaman Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- sampai zaman kekhalifahan Utsman, dan setiap dari khalifah tersebut memulai shalat id sebelm khutbah.
Abu Said Al-Khudri -radhiallahu anhu- berkata, “Nabi -alaihishshalatu wassalam- keluar pada hari idul fithr dan adhha ke lapangan, maka perkara yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau selesai shalat lalu berdiri menghadap ke orang-orang -sementara mereka duduk di shaf-shaf mereka- lalu beliau memberikan peringatan, wasiat, dan perintah kepada mereka (berkhutbah).” (HR. Al-Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889)
Dan dalam hadits Jabir dia berkata:
أَنَّ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَامَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى, فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ, ثُمَّ خَطَبَ. فَلَمَّا فَرَغَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَزَلَ وَأَتَى النِّسَاءَ فَذَكَّرَهُنَّ وَهُوَ يَتَوَكَّأُ عَلَى يَدِ بِلاَلٍ
“Sesungguhnya Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- berdiri pada hari idul fithr lalu mengerjakan shalat, beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, kemudian setelah itu baru beliau berkhutbah. Setelah Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- selesai berkhutbah, beliau turun dan mendatangi para wanita, lalu beliau memberikan peringatan kepada mereka sementara beliau bersandar pada tangan Bilal.” (HR. Muslim no. 885)
Ibnu Al-Mundzir berkata dalam Al-Ausath (4/271) mengenai shalat sebelum khutbah, “Inilah yang diamalkan (sampai oleh) oleh awwam ulama (ulama pemula) di berbagai negeri. Di antara yang memulai shalat sebelum khutbah adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Al-Mughirah bin Syu’bah, dan Ibnu Mas’ud. Dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, Ishak, dan ashhab ar-ra’yu …,”

b. Khutbah Id dua kali khutbah.
Tidak ada hadits shahih lagi tegas yang menunjukkan adanya dua kali khutbah dalam shalat id. Hanya saja para ulama kita memahami adanya dua kali khutbah id dengan berdalilkan hadits-hadits tentang shalat jum’at, seakan-akan mereka berpendapat bahwa kaifiat khutbah id sama seperti khutbah jum’at. Dan mengkiaskan khutbah id ke khutbah jum’at bukanlah kias yang jauh karena keduanya adalah hari raya, keduanya dihadiri oleh banyak orang, dan keduanya dipersyaratkan adanya jamaah.
Karenanya An-Nasai -rahimahullah- no. 1415 memasukkan hadits Jabir bin Samurah tentang dua kali khutbah jum’at ke dalam pembahasan khutbah id. Demikian halnya Ibnu Khuzaimah (2/349) memasukkah hadits Ibnu Umar tentang khutbah jum’at ke dalam bab tentang khutbah id. Apalagi ini (khutbah id dua kali) adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, serta para ulama dan fuqaha` di berbagai negeri, dan tidak ada seorang pun dari kalangan ulama mutaqaddimin yang mengingkari adanya dua khutbah dalam shalat id. Bahkan di antara mereka ada yang mengkiaskannya dengan shalat jum’at dan sebagian di antara mereka bahkan menukil adanya ijma’.
Ibnu Hazm -rahimahullah- berkata, “Jika imam sudah salam (dari shalat id), maka hendaknya dia berdiri lalu berkhutbah di hadapan orang-orang dengan dua kali khutbah dimana dia duduk di antaranya keduanya,” lalu setelah itu beliau menyebutkan beberapa permasalahan lain kemudian beliau berkata, “Semua ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama (dalam hukumnya).” Dan perlu digarisbawahi bahwa Ibnu Hazm termasuk ulama yang sering membantah adanya ijma’ dalam sebuah masalah, maka tatkala di sini beliau menukil ijma’ menandakan bahwa beliau sangat memastikan adanya ijma’ dalam hal ini, wallahu a’lam.
Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata, “Ijma’ itu menunjukkan adanya dalil, tahulah yang tahu, bodohlah yang bodoh.”
Maksudnya: Ketika ada nukilan ijma’ dari seorang ulama yang diperhitungkan nukilannya, maka itu menunjukkan adanya dalil akan ijma’ tersebut, karena sudah dimaklumi bahwa ijma’ bukanlah hujjah yang berdiri sendiri akan tetapi dia harus mempunyai dalil dari nash syariat. Dalil ini ada yang mengetahuinya dan ada yang tidak mengetahuinya, atau mungkin saja ijma’ ini lahir dari kumpulan beberapa hadits. Karenanya walaupun kita tidak mengetahui dalil dari sebuah ijma’ maka kita harus berbaik sangka kepada para ulama kita, karena sangat memungkinkan sekali mereka menghafal dalil akan ijma’ tersebut, yang mana dalil tersebut tidak sampai atau tidak dihafal oleh para ulama di zaman belakangan apalagi di zaman ini.
Akan tetapi barangsiapa yang melakukan khutbah satu kali pada shalat id berdasarkan lahiriah hadits-hadits yang ada, maka kami juga tidak mengingkarinya. Wallahu a’lam.

c. Khutbah dalam keadaan berdiri di atas tanah.
Ini termasuk sunnah yang ditinggalkan oleh banyak khatib jum’at di zaman ini, tatkala mereka melakukan khutbah id di atas mimbar. Abu Said Al-Khudri berkata -sebagai kelanjutan hadits Abu Said di atas-, “Maka terus-menerus kaum muslimin mengamalkan seperti itu (shalat sebelum khutbah dan khutbah sambil berdiri di tanah) sampai saya keluar shalat idul adhha bersama Marwan -dan dia ketika itu adalah gubernur Madinah-. Tatkala kami sudah tiba di lapangan, ternyata sudah ada mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Ash-Shalt, dan ternyata Marwan hendak naik ke atasnya (untuk berkhutbah) sebelum shalat. Maka sayapun menarik pakaiannya tapi dia melepaskan peganganku, lalu dia naik ke mimbar dan melakukan khutbah sebelum shalat. Maka saya berkata kepadanya, “Demi Allah kami telah merubah (sunnah),” maka dia menjawab, “Wahai Abu Said, sudah pergi apa yang kamu ketahui.” Maka saya berkata, “Apa yang saya ketahui -demi Allah- masih lebih baik daripada apa yang tidak saya ketahui.” Dia berkata, “Orang-orang tidak akan tinggal duduk mendengarkan khutbah kami selepas shalat, karenanya saya menjadikan khutbah sebelum shalat.”
Maka dari hadits ini dipetik faidah tidak adanya mimbar di lapangan id. Karena Nampak dari kisah ini kalau Abu Said mengingkari dua perkara dari Marwan: Didahulukannya khutbah sebelum shalat dan adanya mimbar di lapangan untuk berkhutbah. Karenanya dalam riwayat lain Abu Said berkata, “Engkau mengeluarkan mimbar yang pada zaman Nabi -alaihishshalatu wassalam- dia tidak pernah dikeluarkan.”
Ada beberapa hadits lain yang menunjukkan disunnahkannya berkhutbah sambil berdiri di atas tanah, tanpa menggunakan mimbar.

d. Membuka khutbah dengan khutbatul hajah, “Innal hamda lillah …”
Tidak ada satupun hadits yang shahih dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- tentang membuka khutbah id dengan takbir, bahkan hadits-hadits umum tentang disunnahkannya membuka khutbah dengan khutbatul hajah berlaku juga pada khutbah id. Karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Ibnu Al-Qayyim berpendapat disunnahkanya membukan khutbah id dengan khutbatul hajah, karena tidak pernah dinukil dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- beliau pernah membuka khutbah dengan selainnya.
Adapun disunnahkannya bertakbir di awal khutbah pertama dan di awal khutbah kedua, maka itu adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya, walaupun mereka sendiri berbeda pendapat mengenai berapa kali takbir diucapkan. Sebagian di antara mereka mengatakan 9 kali di awal khutbah pertama dan 7 kali di awal khutbah kedua, dan sebagian lainnya tidak berpendapat demikian. Ala kulii hal, semua ini adalah ijtihad mereka bahkan sebagian di antara mereka menyebutkan beberapa dalil akan hal tersebut.
Karenanya barangsiapa yang bertakbir berdasarkan pendapat mayoritas ulama ini maka khutbahnya syah dan kami tidak mengingkarinya , hanya saja yang lebih selamat adalah mengamalkan sebatas apa yang ditunjukkan oleh dalil, wallahu a’lam.

e. Hukum mendengarkan khutbah.
Hukumnya adalah wajib dengan dalil:
1. Para wanita yang dipingit -bahkan yang haid- tidak diberikan uzur untuk tidak keluar shalat dan mendengarkan khutbah. Seandainya khutbah tidak wajib, apa gunanya wanita yang haid diperintahkan ke lapangan padahal sudah dimaklumi mereka tidak akan mengerjakan shalat.
2. Mengatakan hukumnya sunnah akan membuka mafsadat hilangnya khutbah dalam shalat id. Karena itu berarti tidak mengapa seluruh jamaah pulang setelah mengerjakan shalat karena mendengar khutbah hukumnya hanya sunnah. Karenanya Imam Ahmad berkata, “Sepantasnya bagi dia untuk menunggu (mendengar) khutbah. Bagaimana menurutmu kalau semua orang pulang, kepada siapa imamnya akan berkhutbah?!” Lihat Su`alat Ibni Hani no. 471.
Inilah insya Allah pendapat yang lebih tepat, dan ini merupakan pendapat Malik -dalam salah satu pendapat- dan Imam Ahmad. Tatkala hukum mendengarnya adalah wajib maka dilarang seorangpun untuk berbicara dan mengganggu orang lain selama berlangsungnya khutbah.
Jika khutbahnya berisi kemungkaran dan bid’ah, maka hendaknya dia tidak mendengarkannya tapi dia tetap menyibukkan dirinya sendiri dengan zikir dan tidak mengganggu orang lain dalam zikirnya. Wallahu a’lam.
Adapun hadits Abdullah bin As-Saib yang dijadikan dalil oleh mayoritas ulama akan disunnahkannya menghadiri shalat id, maka dia adalah hadits yang lemah. Lihat penjelasannya di sini: http://al-atsariyyah.com/?p=1381

Hukum tahni`ah (ucapan selamat)
Diriwayatkan dari atsar Abdullah bin Busr, Abdurrahman bin ‘Aidz, Jubair bin Nadhir, dan Khalid bin Mi’dan, “Bahwa diucapan kepada mereka ucapan: Taqabbalallahu minna wa minkum ( semoga Allah menerima amalan kami dan kalian), dan juga mereka mengucapkanya kepada selain mereka.“
(Diriwayatkan oleh Al-Ashbahani dalam At-Targhib (1/381) dengan sanad yang tidak mengapa)
“Dari Abu Umamah Al-Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi -alaihishshalatu wassalam-, bahwa ketika mereka pulang dari shalat id, maka sebagian di antara mereka berkata kepada sebagian yang lain, Taqabbalallahu minna wa minkum.” Sanadnya dinyatakan hasan oleh Imam Ahmad.
Maka berdasarkan semua atsar di atas, dibolehkan seseorang mengucapkan tahni`ah (ucapan selamat) kepada saudaranya dengan lafazh di atas.
Dan tidak mengapa mengucapkan selain lafazh di atas, karena tidak adanya hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan hal tersebut, baik apakah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengamalkanya atau melarangnya. Yang ada hanyalah amalan sejumlah sahabat radhiallahu ‘anhum.
Karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -di dalam Majmu’ Al-Fatawa (24/253)- beliau membolehkan dengan ucapan di atas dan juga yang semisalnya.
Adapun Imam Ahmad, driwayatkan bahwa beliau membolehkannya hanya saja beliau tidak memulainya. Namun jika ada yang memulai maka beliau menjawabnya. (Lihat Al-Furu’: 2/150).

Mukhalafah (Menyelisihi) Jalan
Maksudnya, jika seseorang melewati satu jalan (jalur) menuju lapangan, maka ketika pulang disunnahkan baginya untuk melewati jalan (jalur) yang lain.
Jabir bin Abdullah -radhiallahu anhuma- berkata:
كَانَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدِ خَالَفَ الطَّرِيْقَ
“Nabi -shallallahu alaihi wasallam- jika pada hari ied, beliau mengambil jalan lain”. (HR. Al-Bukhari no. 986)
Abu Hurairah -radhiallahu anhu- berkata:
كَانَ النبي صلى الله عليه وسلم إِذَا خَرَجَ إِلَى الْعِيْدِ, رَجَعَ فِي غَيْرِ الطَّرِيْقِ الَّذِي خَرَجَ فِيْهِ
“Nabi -shallallahu alaihi wasallam- jika keluar ied, beliau kembali (pulang) pada selain jalan yang beliau tempati keluar (berangkat)”. (HR. Ahmad: 2/338, At-Tirmizi no. 541, dan Ibnu Majah no. 1301)
Ibnu Rusyd berkata dalam Al-Bidayah (1/514-515), “Mereka (para ulama) sepakat akan disunnahkannya pulang melalui selain jalan yang dia tempuh ketika dia pergi, karena shahihnya hal ini dari perbuatan beliau -alaihishshalatu wassalam-.”

Disunnahkan menampakkan kegembiraan pada kedua hari raya, selama tidak dengan cara yang terlarang.
Diriwayatkan dari Aisyah -radhiallahu anha- bahwa para sahabat ada yang bermain tombak dan perisai pada hari id di dalam masjid. (HR. Al-Bukhari no. 907,944,2750,3337 dan Muslim no. 892) Pada hadits yang sama juga disebutkan adanya dua anak kecil yang menyanyikan lagu sambil memukul rebana di kamar Aisyah, akan tetapi Nabi -alaihishshalatu wassalam- membelakanginya tapi tidak mengingkarinya. Maka ini menunjukkan bolehnya nyanyian dengan beberapa syarat:
1. Hanya saat hari id.
2. Biduannya adalah anak kecil.
3. Hanya dengan menggunakan rebana.
4. Liriknya tentunya tidak mengandung dan tidak mengajak kepada maksiat.
5. Hanya diadakan di kumpulan wanita.
Jika salah satu dari kelima syarat ini tidak terpenuhi -apalagi seluruhnya- maka musik dan lagu adalah hal yang diharamkan, tapi bukan di sini tempat pemaparannya.
Adapun berkumpul untuk makan dan minum, maka ini adalah perkara adat yang boleh saja dikerjakan selama tidak mengandung maksiat (misalnya ikhtilat dan menyentuh yang bukan mahram). Kapan diyakini bahwa acara ini merupakan bagian dari agama sehingga tercela orang yang tidak mengikutinya maka keyakinan seperti ini harus dijelaskan kesalahannya, kalau perlu acara seperti ini dihentikan guna menghilangkan keyakinan seperti ini, wallahu a’lam.

Beberapa Kemungkaran Seputar Id
1. Mengerjakan shalat qabliyah dan ba’diyah menyertai shalat Id
2. Adzan dan Iqamah sebelum Shalat Id
3. Ucapan: Ash-Shalat al-Jaami’ah dan semisalnya
4. Shalat dua rakaat secara khusus di malam Id. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang shalat malam Id adalah hadits-hadits yang maudhu` (palsu) dan sangat dha’if.
5. Mendahulukan khutbah sebelum pengerjaan shalat Id.
6. Mengadakan mimbar untuk khutbah Id.
7. Mengerjakan shalat ‘Ied di masjid tanpa adanya uzur.
8. Meninggalkan shalat Id di belakang seorang yang dianggap ahli bid’ah (namun tidak sampai pada kekufuran).
9. Mengerjakan shalat Id di lapangan yang kecil/sedikit menampung jama’ah, sementara ada lapangan terdekat yang dapat menampung banyak jama’ah.
10. Membuat lapangan Id baru atas dasar hawa nafsu dan tahazzub (fanatisme kelompok), sementara dijumpai mushalla Id kaum muslimin.
11. Menempatkan shaf laki-laki bergantian dengan shaf wanita, atau shaf laki-laki sejajar dengan shaf wanita.
12. Keluarnya wanita dengan bertabarruj (berhias) yang tidak syar’i.
13. Bersenda gurau ketika khutbah Id.
14. Bertakbir secara berjamaah yang dipimpin oleh satu orang dan di atas satu suara.
15. Percampurbauran antara lelaki dan wanita (ikhtilath) serta lelaki menyentuh wanita yang bukan mahramnya dan demikian pula sebaliknya.

http://al-atsariyyah.com/?p=1194