Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh.
Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu).
Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan ilmu.

Kamis, 19 November 2009

Ahkam Shalat Al-Idain

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama Islam dengan semua perkara yang dibutuhkan oleh para pemeluknya. Allah Ta’ala berfirman, “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian.” Dan di antara kesempurnaan agama ini adalah Allah menjadikan, bahkan mensyariatkan untuk mereka id (hari raya) dimana mereka berbahagia dan bergembira di dalamnya. Hal itu karena sudah menjadi tabiat manusia senang dengan hari dimana mereka bisa berkumpul dan bersenang-senang di dalamnya, karenanya Allah memenuhi kebutuhan mereka ini dengan memberikan kepada mereka hari raya dimana di dalamnya mereka bisa bergembira dan bersenang-senang sesuai dengan aturan dari-Nya.
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Syariat Islam tidak mempunyai kecuali 3 hari id saja: Id yang pertama adalah al-fithr, kemudian setelahnya adalah al-adhha, kemudian hari jum’at. Adapun idul fithr dijadikan hari raya karena saat itu kaum muslimin telah menunaikan puasa yang menjadi kewajiban dalam Islam. Adapun idul adhha dijadikan hari raya karena dia terletak setelah 10 Zulhijjah dimana pada 10 hari pertama Zulhijjah, kaum muslimin disyariatkan untuk memperbanyak zikir dan ibadah, dan juga dari sisi adanya ibadah haji sebelumnya. Maka hari id setelah wuquf di Arafah sama seperti hari id setelah puasa ramadhan. Adapun hari jumat dijadikan hari id, karena pada hari itu penciptaan dimulai, pada hari itu Adam tercipta, pada hari itu dia dikeluarkan dari surga, dan pada hari itu juga terjadi kiamat.” Diringkas dari Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/211-213) dengan sedikit perubahan.

Definisi.
Dinamakan hari raya sebagai id, karena hari itu ya’udu (kembali berulang) setiap tahunnya dengan membawa kegembiraan yang baru, berupa kebaikan dan nikmat dari Allah Ta’ala tatkala mensyariatkan untuk bergembira setelah menyelesaikan suatu ibadah yang besar. Demikian dinyatakan oleh Ibnu Al-Arabi dan Ibnu Abidin -rahimahumallahu Ta’ala-.
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/145), “Kalimat ‘Shalat Idain’ adalah bentuk penyandaran sesuatu kepada waktu pengerjaannya dan kepada sebabnya. Maka shalat id ini disebabkan karena adanya dua hari id, dan shalat ini juga tidak dikerjakan kecuali pada kedua hari id ini.”

Hukum Shalat Idain.
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
1. Sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Malik, Asy-Syafi’i, Ishak, dan Abu Yusuf.
Mereka berdalilkan dengan dalil-dalil yang menyatakan tidak ada shalat wajib kecuali shalat lima waktu, misalnya hadits Thalhah bin Ubaidillah dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim
2. Fardhu kifayah. Ini adalah zhahir mazhab Ahmad, mazhab sekelompok Al-Hanafiah, dan mazhab Asy-Syafi’iyah.
Mereka mengatakan bahwa shalat id ini tidak didahului dengan azan dan iqamah sehingga tidak diwajibkan kepada setiap orang, sebagaimana halnya shalat jenazah. Mereka juga mengatakan: Hukum fardhu kifayah ini kami petik dari mengkompromikan dalil-dalil pendapat yang menyunnahkan dengan dalil-dalil pendapat yang mewajibkan.
3. Fardhu ain bagi semua laki-laki dan perempuan yang telah balig, kecuali mereka yang diperkecualikan sebagaimana yang akan datang penjelasannya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah.
Banyak dalil yang menguatkan pendapat ketiga ini di antaranya:
a. Para sahabat tidak pernah mengerjakan shalat Id kecuali bersama Nabi -alaihishshalatu wassalam- padahal banyak lapangan di Madinah dan sekitarnya, sebagaimana mereka tidak pernah mengerjakan shalat jumat kecuali bersama beliau di masjid Nabawi padahal banyak masjid lain di Madinah. Ini menunjukkan shalat id sama dengan shalat jumat di sisi mereka, bukan merupakan shalat sunnah mutlak dan bukan pula shalat yang sejenis dengan shalat jenazah.
b. Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan para wanita untuk keluar ke lapangan, walaupun dia dalam keadaan haid. Ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Athiyah riwayat Al-Bukhari yang akan datang. Sementara pada shalat lima waktu dan jum’at beliau bersabda tentang para wanita, “Rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
c. Shalat id menggugurkan kewajiban shalat jumat bagi siapa yang menghadiri shalat id, sebagaimana yang akan datang keterangannya. Dan tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban sebuah shalat wajib kecuali dia juga merupakan shalat yang wajib atau bahkan lebih wajib daripada yang dia gugurkan hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah menguatkan pendapat yang ketiga yaitu yang menyatakan shalat id adalah fardhu ain. Lalu beliau berkata, “Pendapat yang menyatakan tidak wajibnya adalah pendapat yang sangat jauh dari kebenaran, karena shalat ini termasuk dari syiar Islam yang paling besar, dan jumlah manusia yang berkumpul padanya juga lebih banyak daripada shalat jumat, dan takbir juga disyariatkan padanya. Adapun pendapat yang menyatakan dia fardhu kifayah maka dia adalah pendapat yang tidak jelas sisi pendalilannya.” (Majmu’ Al-Fatawa: 23/161)
Adapun dalil pendapat pertama terbantahkan dengan wajibnya shalat jenazah, padahal Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak menyebutkan shalat jenazah dalam hadits Thalhah tersebut. Ini menunjukkan beliau tidak bermaksud membatasi shalat wajib hanya yang lima waktu, tapi beliau hanya menyebutkan shalat yang diwajibkan setiap harinya. Jadi tidak bertentangan jika kita mengatakan wajibnya shalat id, karena dia hanya diwajibkan dua kali dalam setahun.
Adapun dalil pendapat kedua, maka perbuatan mereka mengkiaskan shalat id kepada shalat jenazah adalah kias yang batil karena bertentangan dengan dalil-dalil yang mewajibkannya.
Adapun alasan mereka mengompromikan dalil-dalil yang ada maka itu tidak bisa diterima, karena mengharuskan shalat jum’at juga hukumnya fardhu kifayah bagi laki-laki yang telah balig. Hal itu karena shalat jum’at juga tidak tersebut dalam hadits Thalhah bin Ubaidillah sementara ada dalil lain yang mewajibkannya, maka seharusnya mereka juga mengompromikannya dan mengatakan kalau shalat jum’at itu hanya fardhu kifayah bagi laki-laki yang telah balig, dan ini tentunya adalah pendapat yang batil.

[Lihat Majmu’ Al-Fatawa: 24/179-184]

Siapa yang Wajib Shalat Id?
Shalat id diwajibkan atas seluruh laki-laki dan perempuan yang telah balig dengan syarat dia berada pada tempat tinggalnya (muqim).
Manusia secara umum ada 2 jenis: Musafir dan muqim
Yang wajib mengerjakan shalat shalat id hanyalah laki-laki dan perempuan balig yang muqim, tidak diwajibkan atas musafir laki-laki dan perempuan. Karenanya jika kita dalam keadaan safar ke sebuah tempat lalu di situ diadakan shalat id, maka tidak wajib bagi kita untuk menghadirinya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama di antaranya: Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah-.
Dalil akan hal ini adalah bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak pernah mendirikan shalat id kecuali di Madinah. Beliau pernah bersafar ke Makkah pada saat fathu Makkah lalu beliau tinggal di Makkah sampai masuk bulan Syawal, akan tetapi tidak pernah dinukil dalam satu pun riwayat bahwa beliau dan para sahabat mendirikan shalat id. Demikian pula ketika waji wada` dimana idul adhha masuk ketika beliau berada di Mina, akan tetapi beliau tidak mengerjakan shalat ini karena beliau musafir. Sebagaimana beliau juga tidak mengerjakan shalat jum’at di Arafah karena beliau musafir.
Adapun orang-orang yang sakit maka dia diberikan uzur untuk tidak shalat id jika dia tidak sanggup untuk keluar ke lapangan atau ke masjid jika didirikan di masjid tatkala ada uzur.
Berikut beberapa hukum dan adab yang harus diperhatikan mulai dari subuh hari id hingga seseorang tiba di lapangan untuk shalat id:

1. Diharamkan berpuasa pada kedua hari raya.
Dari Abu Said secara marfu’, “Sesungguhnya Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- melarang berpuasa pada dua hari: Hari al-fithr dan hari an-nahr (penyembelihan).” (HR. Muslim no. 872)

2. Disunnahkan mandi sebelum berangkat.
Diriwayatkan oleh Malik (426) dari Nafi’ dia berkata:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
“Bahwasanya Ibnu ‘Umar mandi di hari Iedul Fithri sebelum berangkat ke musholla.”
Bahkan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar (711), Ibnu Rusyd dalam Bidayah Al-Mujtahid (1/505), dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (5/7) menukil ijma’ akan disunnahkannya amalan ini.
Sebab dari sunnah ini adalah agar dia tidak mengganggu kaum muslimin lain dengan bau badannya yang tidak sedap. Maka dari sini juga dikiaskan padanya disunnahkannya memakai wangi-wangian dan semacamnya pada tubuh dan juga pada pakaian. Hanya saja hukumini hanya berlaku bagi kaum lelaki, adapun kaum wanita maka mereka dilarang untuk memakai wangi-wangian ketika mereka akan keluar dari rumahnya. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, “Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu dia melewati sebuah kaum agar mereka bisa mencium bau wanginya maka dia adalah wanita pezina.” (HR. Ahmad)

3. Berhias untuk menghadiri shalat id.
Dari Ibnu Umar dia berkata:
أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنِ اسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِبْتَعْ هَذِهِ تُجَمِّلُ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ
“Umar mengambil jubah dari sutera yang dijual di pasar. Diapun mengambilnya lalu dibawa kepada Rasulullah  seraya berkata: ["Ya Rasulullah, Belilah ini agar engkau bisa berhias dengannya untuk hari ied dan para utusan”]” (HR. Al-Bukhari no. 906 dan Muslim no. 2068)
Abul Hasan As-Sindi -rahimahullah- berkata, “Dari hadits ini bisa diketahui bahwa berhias di hari ied termasuk adat yang sudah diakui di kalangan mereka (para sahabat), sedang Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- juga tidak mengingkarinya. Maka diketahuilah konsistensinya tetap ada”. (Hasyiah As-Sindi ala An-Nasai: 3/181)
Adapun kaum wanita, maka hendaknya mereka menjauhi semua bentuk perhiasan ketika mereka keluar rumah, karena mereka dilarang untuk memperlihatkan perhiasan mereka kepada laki-laki yang bukan mahramnya.

4. Waktu makan pada hari id.
Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- berkata:
كَانَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ
“Rasulullah -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- tidaklah berangkat di hari iedul fithri sampai beliau makan beberapa biji korma”. (HR. Al-Bukhari no. 953)
Buraidah -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمُ وَيَوْمَ النَّحْرِ لاَ يَأْكُلُ حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ نَسِيْكَتِهِ
“Nabi -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- tidaklah keluar di hari iedul Fithri sampai beliau makan, dan pada hari iedul Adh-ha beliau tak makan sampai beliau kembali lalu maka sebagian dari hewan korbannya”. (HR. Ahmad: 5/352), At-Tirmizi no. 542), dan Ibnu Majah no. 1756)
Ibnu Qudamah Al-Maqdasi -rahimahullah- berkata dalam Al-Mughni (2/113), “Sunnahnya di hari raya iedul fitri makan dulu sebelum sholat ied dan di hari raya iedul Adhha tak makan sampai usai sholat. Ini merupakan pendapat kebanyakan ahli ilmu, di antaranya Ali, Ibnu Abbas, Malik, Asy-Syafi’i, dan yang lainnya. Kami tidak mengetahui adanya khilaf di dalamnya”.
Berdasarkan hadits di atas maka pada idul adhha, tidak disunnahkan seseorang untuk makan apapun sebelum keluar ke lapangan, tapi dia baru disunnahkan makan setelah pulang dari shalat id. Adapun pada shalat idul fithr, maka yang disunnahkan adalah makan sebelum keluar ke lapangan. Yang disunnahkan untuk dimakan adalah beberapa biji korma, utamanya berjumlah ganjil karena “sesungguhnya Allah Ta’ala ganjil (esa) dan Dia senang dengan yang ganjil.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Barangsiapa yang tidak mempunyai korma maka hendaknya dia makan makanan apa saja walaupun hanya seteguk air, agar dia tetap bisa mengikuti sunnah ini, hanya saja sebaiknya yang manis-manis agar ada keserupaan dengan korma.
Para ulama menyebutkan beberapa hikmah pembedaan antara idul fithr dan idul adhha dalam hal waktu makan, di antara hikmahnya:
a. Penekanan dalam larangan berpuasa pada hari itu dan juga sebagai pengumuman bahwa puasa ramadhan sudah selesai pada hari itu. Ini diisyaratkan oleh Ibnu Al-Muhallab dan Ibnu Hajar.
b. Makan sebelum idul fithr merupakan perbuatan bersegera dalam melaksanakan perintah Allah yaitu berbuka pada hari itu, agar hari itu kelihatan berbeda dengan ramadhan. Berbeda halnya dengan idul adhha yang tidak didahului oleh puasa ramadhan.
c. Tatkala zakat fithr dikeluarkan sebelum shalat id, maka disunnahkan makan sebelum shalat agar orang-orang miskin juga bisa makan sebelum shalat id dengan zakat fithr yang mereka peroleh. Tatkala sembelihan dilakukan setelah shalat id maka disunnahkan untuk makan setelahnya agar dia dan juga orang-orang miskin bisa makan dari sembelihan tersebut. Ini disebutkan oleh Az-Zubair bin Al-Munayyir dan Asy-Syaukani.
[Lihat: Fath Al-Bari Ibnu Hajar (2/446-448) dan Fath Al-Bari karya Ibnu Hajar (8/441 dan seterusnya)]

5. Tempat pelaksanaan shalat id.
Tuntunan Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- dalam masalah ini adalah shalat di lapangan. Dari Abu Said Al-Khudri dia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ فِي يَوْمِ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- selalu keluar shalat di lapangan pada hari al-fithr dan al-adhha.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Al-Hajj Al-Maliki berkata dalam Al-Madkhal (2/283), “Sunnah yang telah tetap dari dahulu dalah shalat 2 id adalah dikerjakan di lapangan. Karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, “Shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 kali shalat di masjid lainnya kecuali masjid al-haram.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Tapi bersamaan dengan keutamaan ini, Nabi -alaihishshalatu wassalam- justru keluar ke lapangan untuk shalat id dan meninggalkan masjid beliau.”
Adapun bagi yang tidak sanggup untuk keluar ke lapangan atau ada uzur -seperti hujan- yang menghalangi orang-orang untuk shalat di lapangan, maka penguasa menunjuka satu orang untuk mengimami mereka di masjid. Lihat Al-Ausath (4/257)

6. Disunnahkan untuk berjalan kaki ketika menuju atau pulang dari lapangan.
Ini berdasarkan keumuman hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Setiap langkah yang dia langkahkan menuju shalat adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari). Adapun secara khusus, maka Ali bin Abi Tholib -radhiallahu anhu- berkata:
مِنَ السُّنَّةِ أَنْ تَخْرُجَ إِلَى الْعِيْدِ مَاشِيًا
“Termasuk sunnah kamu keluar menuju ied sambil jalan”. (Riwayat At-Tirmizi: 1/164)
At-Tirmizi -rahimahullah- berkata dalam As-Sunan (2/410), “Hadits ini di amalkan di sisi para ahli ilmu, mereka menganjurkan seseorang keluar menuju ied sambil berjalan”.

7. Para wanita dan anak-anak juga ikut keluar ke lapangan untuk menyaksikan shalat id.
Ini berdasarkan hadits Ummu Athiyah -radhiallahu anha- dia berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى: اَلْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ. فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Rasulullah -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- memerintahkan kami mengeluarkan para gadis, wanita yang haidh, dan yang dalam pingitan (menuju shalat id). Adapun yang haidh maka mereka menjauhi sholat, dan mereka tetap menyaksikan kebaikan dan doanya kaum muslimin. Aku berkata, “Ya Rasulullah, seorang di antara kami ada yang tak punya jilbab”. Beliau menjawab: [“Hendaknya saudaranya memakaikan (meminjamkan) jilbabnya kepada saudaranya”]. (HR. Al-Bukhari no.971 dan Muslim no. 890)
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata dalam Al-Fath (2/470), “Di dalamnya terdapat anjuran keluarnya para wanita untuk menyaksikan dua hari raya, baik dia itu gadis, ataupun bukan; baik dia itu wanita pingitan ataupun bukan”.
Kami katakan: Hadits di atas menunjukkan wajibnya para wanita juga ikut keluar ke lapangan dan juga menunjukkan wajibnya shalat id. Karena sampai para wanita yang haid pun diperintahkan keluar walaupun mereka tidak ikut shalat, maka menunjukkan wanita yang tidak haid lebih diperintahkan untuk keluar. Dan hukum asal dari perintah adalah wajib. Ditambah lagi, para wanita yang tidak mempunyai jilbab tidak diberikan keringanan untuk tidak shalat id, bahkan Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan kepadanya untuk meminjam jilbab agar dia bisa ikut shalat id. Lihat kembali pembahasan hukum shalat id.
Adapun disyariatkannya anak-anak untuk ikut keluar shalat id, maka berdasarkan hadits Ibnu Abbas tentang ceramah Nabi -alaihishshalatu wassalam- kepada para wanita. Ibnu Abbas ditanya, “Apakah kamu menyaksikan shalat id bersama Nabi -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-?” beliau menjawab, “Ia, seandainya bukan karena saya masih kecil niscaya saya tidak akan bisa menghadirinya.” (HR. Al-Bukhari). Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (2/466), “Maksudnya seandainya bukan karena saya masih kecil niscaya saya tidak bisa menyaksikan nasehat beliau kepada para wanita. Karena anak kecil dibolehkan untuk berbaur dengan para wanita, berbeda halnya dengan lelaki yang telah dewasa.”

8. Bersegera menuju ke lapangan kecuali bagi imam/khathib.
Adapun bagi makmum/jamaah, maka disunnahkan mereka untuk bersegera menuju ke lapangan, semakin cepat semakin baik. Dalil-dalil disunnahkannya antara lain:
a. Inilah amalan para sahabat. Karena Nabi -alaihishshalatu wassalam- keluar shalat id pada setelah matahari terbit dan sudah menjumpai para sahabat, maka ini menunjukkan mereka sudah berkumpul sebelum matahari terbit.
b. Dalil umum yang memerintahkan untuk bersegera mengerjakan kebaikan.
c. Memperbesar pahala, karena jika dia cepat tiba di lapangan dan menunggu shalat, maka orang yang menunggu shalat tetap mendapatkan pahala shalat selama dia menunggunya.
d. Dia bisa mendapatkan shaf pertama dan dekat dengan imam.
[Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/163-164)]
Adapun imam/khatib, maka dia disunnahkan untuk terlambat menuju ke lapangan sampai waktu pelaksanaan shalat. Ini berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri yang akan datang, “Sesungguhnya Nabi -alaihishshalatu wassalam- jika beliau keluar ke lapangan maka amalan yang pertama kali beliau kerjakan adalah shalat.” (HR. Al-Bukhari)
Sisi pendalilan: Ini menunjukkan beliau terlambat keluar ke lapangan karena setelah beliau datang maka shalat langsung ditegakkan. Lagi pula secara logika, imam itu ditunggu oleh jamaah dan bukan dia yang menunggu jamaah.

9. Menjahrkan takbir menuju ke lapangan.
Disunnahkan untuk bertakbir dengan suara keras sejak keluar dari rumah sampai tiba di lapangan dan berhenti bertakbir ketika shalat akan didirikan. Adapun pada shalat id, maka berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kalian membesarkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Baqarah: 185) Sementara pada idul adhha maka berdasarkan firman-Nya, “Demikianlah Allah menundukkan mereka (hewan ternak) untuk kalian agar kalian membesarkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya kepada kalian.” (QS. Al-Hajj: 37)
Ibnu Umar -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ فِي الْعِيْدَيْنِ مَعَ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَعَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَعَلِيٍّ وَجْعَفَرٍ وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ وَزَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ وَأَيْمَنَ بْنِ أُمِّ أَيْمَنَ رَافِعًا صَوْتَهُ بِالتَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ
“Rasulullah -shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- keluar di dua hari raya bersama Al-Fadhl bin Abbas, Abdullah, Al-Abbas, Ali, Ja’far, Al-Hasan, Al-Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Aiman bin Ummi Aiman sambil mengangkat suaranya bertahlil dan bertakbir”. (HR. Al-Baihaqi: 3/279 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`: 3/123)
Hanya saja bertakbir pada idul adhha lebih ditekankan berdasarkan dua alasan:
a. Para ulama sepakat disyariatkannya takbir pada idul adhha sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i. Sementara pada idul fithr mereka berbeda pendapat mengenai hukum bertakbir pada idul fithr, walaupun yang kuat adalah disyariatkannya.
b. Waktu untuk bertakbir pada idul adhha lebih lama dibandingkan waktu bertakbir pada idul fithr, sebagaimana yang akan datang penjelasannya.

Masalah: Awal dan akhir waktu bertakbir pada kedua hari id.
1. Adapun pada idul fithr, maka mayoritas ulama berpendapat dia dimulai ketika keluar dari rumah dan berakhir ketika imam datang untuk menegakkan shalat. Inilah pendapat yang kuat berdasarkan atsar Ibnu Umar bahwa beliau bertakbir pada hari id sampai beliau tiba di lapangan, dan beliau tetap bertakbir sampai imam datang. (Riwayat Al-Firyabi no. 48)
Maka ini menunjukkan tidak disyariatkannya bertakbir pada malam idul fithr, karena hal tersebut tidak pernah diamalkan oleh seorangpun dari kalangan sahabat dan tabi’in. Sebagian mereka berdalil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan lafazh, “Siapa yang menghidupkan malam id karena mengharap pahala maka hatinya tidak akan mati pada hari dimana semua hati akan mati.” Hanya saja ini adalah hadits yang lemah karena di dalamnya ada ‘an’anah Baqiyah bin Al-Walid dan dia adalah seorang mudallis.
2. Adapun pada idul adhha, maka telah tsabit dari sebagian sahabat -dan ini adalah pendapat mayoritas ulama- bahwa dia dimulai dari subuh hari arafah (9 Zulhijjah) sampai akhir hari tasyriq (13 Zulhijjah). Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata dalam Al-Fatawa (24/220), “Pendapat yang paling tepat dalam masalah takbir (pada idul adhha) adalah pendapat mayoritas ulama sala dan para fuqaha dari kalangan sahabat dan imam kaum muslimin bahwa: Dia dimulai dari subuh hari arafah sampai akhir hari-hari tasyrik.”
Sebagian orang mengkhususkan takbiran sehabis sholat-sholat lima waktu, tapi ini tak ada dalilnya. Ini dikuatkan dengan sebuah atsar bahwa “Ibnu Umar bertakbir di Mina pada hari-hari itu (tasyriq, pen-), seusai sholat, di atas tempat tidur, dalam tenda, majlis, dan waktu berjalan pada semua hari-hari tersebut “. (Shahih Al-Bukhari no. 1330)

Masalah: Lafazh-lafazh takbir.
Tak ada satupun lafazh shohih yang datang dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, karenanya berdasarkan keumuman ayat maka boleh saja seseorang bertakbir dengan lafazh apa saja selama itu merupakan lafzh takbir.
Hanya saja, ada beberapa lafazh yang diriwayatkan dari para sahabat -radhiaallahu anhum ajma’in- dan tentunya mengikuti lafazh mereka lebih utama daripada kita mengarang lafazh takbir sendiri. Di antaranya
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- dalam riwayat Al-Baihaqi (3/315):
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ اَللهُ أَكْبَرُ وَأَجّلُّ اَللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
Juga dari Salman Al-Farisy -radhiallahu ‘anhu- riwayat Al-Baihaqi (3/316), beliau berkata, “Bertakbirlah (dengan lafazh):
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Adapun lafazh takbir Ibnu Mas’ud -radhiallahu ‘anhu- riwayat Ibnu Abi Syaibah no. 5632, 5651:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Dan dalam riwayat lain dengan 3 kali takbir, maka riwayatnya lemah karena adanya ‘an’anah Abu Ishak As-Sabi’i dan dia adalah seorang mudallis.
Adapun tambahan yang diberikan oleh orang-orang di zaman kita pada lafazh takbir, maka semua itu merupakan buatan orang-orang belakangan, tak ada dasarnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Di zaman ini telah diciptakan semacam tambahan pada masalah itu (lafazh takbir) yang tak ada dasarnya”. (Lihat Fath Al-Bari: 2/536)

Waktu Shalat Id
Waktu pengerjaan shalat berada di antara dua waktu larangan untuk shalat, kedua waktu tersebut adalah: Mulai dari terbitnya matahari sampai terbitnya semua bulatannya dan mulai dari matahari berada di tengah langit hingga dia tergelincir ke arah barat. Jadi waktunya adalah: Setelah semua bulatan matahari terbit sampai sebelum matahari berada di tengah langit. Ibnu Baththal sebagaimana dalam Al-Fath (2/457), Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (5/81), dan Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah (1/510) menyatakan tidak adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa shalat id dikerjakan di antara dua waktu terlarang. Adapun mengerjakan shalat id pada kedua waktu terlarang di atas maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, dan yang lebih utama adalah tidak shalat id pada keduanya.
Dari Abdullah bin Busr, sahabat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau keluar bersama orang-orang untuk mengerjakan shalat idul fithr atau adhha, maka beliau mengingkari terlambatnya imam seraya berkata, “Dulu kami (para sahabat bersama Nabi) sudah selesai shalat (id) pada waktu seperti ini, pada waktu tasbih (shalat dhuha)” (HR. Abu Daud no. 1135, Ibnu Majah no. 1317)
Maka hadits ini jelas menunjukkan disunnahkannya mempersegera pelaksanaan shalat id, terkhusus idul adhha karena pada waktu itu adalah waktu penyembelihan udhhiyah, sementara kata udhhiyah berasal dari kata dhuha. Hewan yang disembelih dikatakan udhhiyah karena dia disembelih pada waktu dhuha. Jika penyembelihan dilakukan pada saat dhuha maka ini menunjukkan shalat idul adhha dilaksanakan sebelum waktu dhuha.

Adapun pada idul fithr maka disunnahkan untuk diundurkan agar kaum muslimin memiliki waktu yang cukup untuk bisa mengeluarkan zakat fithr mereka, yang mana waktu paling disunnahkan untuk mengeluarkan zakat fithr adalah setelah terbitnya fajar 1 syawal sampai datangnya imam memimpin shalat id. Lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab (8/461).
Imam Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Umm (1/386), “Seseorang hendaknya keluar dari rumahnya dan sudah berada di lapangan ketika bulatan matahari sudah terbit seluruhnya, dan inilah waktu paling cepat yang dijadikan ukuran. Sementara pada idul fithr maka hendaknya dia mengundurnya sedikit -tidak banyak- sebelum itu.”

Masalah: Jika masuknya 1 syawal baru diketahui setelah tergelincirnya matahari.
Jika demikian keadaannya maka hendaknya mereka (kaum muslimin) tidak shalat id pada hari itu karena waktu pengerjaannya telah lewat, akan tetapi hendaknya mereka mengundurkannya sampai besok dan mengerjakannya pada tanggal 2 syawal. Ini berdasarkan hadits beberapa orang sahabat dimana mereka berkata, “Hilal syawal tertutupi awan sehingga kami tidak melihatnya (pada tanggal 29 ramadhan, pent.) maka kamipun tetap berpuasa di pagi harinya. Kemudian ada sekelompok orang yang datang di akhir siang lalu mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal syawal kemarin. Maka Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan orang-orang untuk berbuka pada hari itu dan agar mereka keluar untuk shalat id keesokan harinya.” (Diriwayatkan oleh Imam Lima dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`: 3/102)

Tidak ada azan dan iqamah sebelum shalat id
Dari Jabir bin Samurah dia berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ
“Saya shalat kedua id bersama Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bukan sekali dan bukan pula dua kali, tanpa ada azan dan tidak pula iqamah.” (HR. Muslim no. 887)
Diriwayatkan juga yang semakna dengannya dari Ibnu Abbas riwayat Al-Bukhari no. 959 dan Muslim no. 886, dari Jabir riwayat Muslim (886).
Ibnu Al-Qayyim berkata dalam Zadul Ma’ad (1/442), “Jika beliau -alaihishshalatu wassalam- sudah tiba di lapangan, maka beliau langsung mengerjakan shalat tanpa ada azan, tidak pula iqamah, dan tidak pula ucapan ‘ash-shalatu jami’ah’. Yang menjadi tuntunan beliau adalah tidak mengerjakan semua itu.”
Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzjar (7/12-14) dan juga Ibnu Rajab dalam Al-Fath (8/447) menukil kesepakatan ulama akan tidak adanya azan dan iqamah pada kedua shalat id.

Adakah shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat id?
Dari Ibnu Abbas dia berkata:
أَنَّ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ, لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
“Nabi -shallallahu alaihi wasallam- melaksanakan sholat iedul fithri sebanyak dua raka’at, namun beliau tidak sholat sebelum dan sesudahnya”. (HR. Al-Bukhari no. 912,945,5544 dan Muslim no. 884)
Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (2/476), “Kesimpulannya, tidak ada bagi shalat id shalat sunnah sebelumnya dan tidak juga setelahnya, berbeda halnya dengan orang yang mengkiaskannya dengan jum’at.”

Sifat shalat id
a. Terdiri dari dua rakaat berdasarkan hadits Ibnu Abbas di atas.

b. Rakaat pertama dibuka dengan takbiratul ihram -sebagaimana shalat lainnya-, setelah itu bertakbir selama 7 kali setelah itu baru membaca al-fatihah. Sementara pada rakaat kedua, setelah berdiri dari sujud sambil bertakbir (takbir intiqal/perpindahan), selanjutnya bertakbir sebanyak 5 kali.
Dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya (Abdullah bin Amr bin Al-Ash) dia berkata:
كَبَّرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي صَلاَةِ الْعِيْدِ: سَبْعًا فِي الْأُوْلَى ثُمَّ قَرَأَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ. ثُمَّ قَامَ فَكَبَّرَ خَمْسَا ثُمَّ قَرَأَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ
“Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bertakbir pada shalat id: 7 kali di rakaat pertama kemudian beliau membaca (al-fatihah dan surah), kemudian beliau bertakbir lalu ruku’, kemudian beliau sujud. Kemudian beliau berdiri lalu bertakbir sebanyak 5 kali, kemudian beliau bertakbir lalu ruku’, kemudian beliau sujud.” (HR. Abu Daud 1151, 1152, An-Nasai dalam Al-Kubra no. 1804, Ibnu Majah no. 1278, dan Ahmad: 2/180, Al-Firyabi no. 135 -dan ini lafazhnya-, dan selainnya)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ahmad, Ali bin Al-Madini, Al-Bukhari, sebagaimana Lihat At-Talkhish Al-Habir karya Al-Hafizh (2/171) dan juga dinyatakan hasan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` (3/108-112)
Al-Baghawi berkata dalam Syarh As-Sunnah (4/309), “Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan para ulama setelah mereka ….. Amalan ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, dan Ali.”
Catatan:
1. Telah shahih dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau bertakbir 5 kali di rakaat pertama sebelum membaca al-fatihah dan 4 kali di rakaat kedua setelah membaca al-fatihah dan surah (sebelum ruku’). Akan tetapi Al-Baihaqi berkata setelah meriwayatkannya (3/291), “Ini hanyalah pendapat dari Abdullah bin Mas’ud, dan hadits musnad (yang bersambung secara marfu’) yang diamalkan oleh kaum muslimin itu lebih utama untuk diikuti.”
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas beliau bertakbir 7 kali di rakaat pertama termasuk takbiratul ihram dan 5 kali di rakaat kedua. Juga dari Ibbu Az-Zubair bahwa beliau bertakbir 4 kali di rakaat pertama dan kedua selain kedua takbir untuk ruku’. Akan tetapi komentar kita terhadapnya adalah seperti komentar Al-Baihaqi terhadap atsar Ibnu Mas’ud di atas.
2. Dari keterangan di atas kita bisa mengetahui batilnya amalan sebagian kaum muslimin yang hanya bertakbir sekali pada rakaat pertama dan kedua (sama seperti shalat biasa), dengan dalih tidak ada hadits yang shahih dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- dalam masalah ini.
Kami katakan: Apakah kalian yang lebih paham tentang hadits dibandingkan imam ahli hadits semacam Ahmad dan Al-Bukhari?! Anggaplah tidak ada satupun hadits dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- maka mengikuti amalan para sahabat yang warid dengan sanad yang shahih, itu lebih utama daripada kalian memunculkan kaifiat shalat id sendiri.
3. Hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash di atas menunjukkan ke-7 takbir di rakaat pertama dan ke-5 takbir di rakaat kedua, semuanya adalah tambahan. Maka ini sebagai sanggahan kepada orang yang bertakbir 7 kali di rakaat pertama termasuk takbiratul ihram dan 5 kali di rakaat kedua termasuk takbir berdiri dari sujud, karena kalau begitu tambahan di rakaat pertama hanya 6 dan di rakaat kedua hanya 4, karena takbiratul ihram dan takbir intiqal (berdiri dari sujud) bukanlah termasuk takbir tambahan. Walaupun ada sebagian ulama yang berpendapat dengannya akan tetapi itu adalah pendapat yang kurang kuat.

c. Apakah ada doa istiftah dalam shalat id? Jika ada dimana tempatnya?
Tidak ada satupun hadits shahih maupun lemah yang menerangkan hal ini. Karenanya barangsiapa yang tidak istiftah karena memandang shalat itu tauqifiah (terbatas pada dalil) maka dia telah berbuat baik. Tapi barangsiapa yang membaca istiftah karena menganggap hukum asal shalat id adalah sama seperti shalat biasa (yang dimulai dengan istiftah) kecuali kalau ada dalil yang mengecualikan (seperti dalam jumlah takbir), maka itu juga tidak mengapa.
Bagi yang membaca maka dia bisa membacanya setelah takbir-takbir tambahan sebelum membaca al-fatihah, karena istiftah adalah pembuka bacaan, wallahu a’lam.

d. Apakah kedua tangan di angkat setiap kali bertakbir?
Yang benarnya, kedua tangan tidak diangkat kecuali pada takbiratul ihram dan takbir intiqal saja. Maka pada takbir-takbir tambahan di rakaat pertama dan kedua, tidak disyariatkan untuk mengangkat tangan setiap kali bertakbir. Hal itu karena tidak ada satupun hadits yang shahih dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- dan para sahabatnya yang menyinggung masalah ini. Seandainya beliau -alaihishshalatu wassalam- dan para sahabatnya mengangkat kedua tangan mereka setiap kali bertakbir, niscaya amalan tersebut akan dinukil dari mereka walaupun dalam satu hadits, mengingat shalat id ini dihadiri oleh banyak kaum muslimin.
Ini adalah pendapat Malik, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, dan Ibnu Hazm. Ada beberapa hadits yang menerangkan disunnahkannya mengangkat tangan pada takbir-takbir tambahan ini, akan tetapi semuanya adalah hadits yang lemah.

e. Tidak shahih dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- ada satupun zikir dan doa yang dibaca di pada setiap takbir. Karenanya Ibnu Al-Qayyim berkata dalam Zadul Ma’ad (1/443), “Beliau -alaihishshalatu wassalam- selalu diam sebentar di antara dua takbir (shalat id), dan tidak dihafal dari beliau adanya zikir tertentu di antara takbir-takbir tambahan.

f. Beberapa masalah seputar takbir-takbir tambahan:
1. Takbir-takbir tambahan ini hukumnya sunnah, sehingga tidak membatalkan shalat id walaupun ditinggalkan dengan sengaja. Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (3/275), “Takbir-takbir tambahan serta zikir di antara keduanya (bagi yang berpendapat adanya, pent.) bukanlah wajib, sehingga shalat id tidaklah batal dengan meninggalkannya baik secara sengaja maupun lupa. Dan saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.”
2. Jika imam lupa membaca takbir-takbir tambahan dan langsung baca al-fatihah.
Jika dia telah ruku’ maka tidak perlu dia mengulanginya karena tempatnya telah lewat. Jika dia ingat belum ruku baik sudah baca al-fatihah maupun belum, maka hendaknya dia membaca takbir-takbir tambahan lalu mengulangi bacaan (jika dia sudah mulai membaca).
3. Jika makmum ketinggalan sebagian atau semua takbir tambahan bersama imam maka takbir-takbir tambahan itu gugur darinya. Misalnya jika dia masbuk satu rakaat dimana imam pada rakaat kedua hanya membaca 5 kali takbir, maka dia harus mengikuti imamnya dengan hanya membaca 5 kali takbir -walaupun itu baru rakaat pertama baginya- kemudian dia diam mendengarkan bacaan imam. Inilah pendapat yang lebih tepat yang ada di kalangan ulama.
4. Jika takbir-takbir tambahan imam kurang jumlahnya, baik karena dia lupa atau karena mazhab imam berbeda dengan mazhab kita, maka hendaknya kita menambah sendiri sebelum imam dan sebaiknya sebelum imam memulai baca al-fatihah.
5. Jika dia ragu mengenai jumlah takbirnya maka hendaknya dia memilih yang paling meyakinkan. Dan jika dia ragu apakah dia sudah takbiratul ihram atau tidak, maka dia menjadikan takbir terakhir (sebelum baca al-fatihah) sebagai takbiratul ihram.
6. Siapa yang tidak mendengarkan suara takbir imam maka hendaknya dia bertakbir sendiri. Jika ternyata takbirnya mendahului takbir imam tanpa kesengajaan dia maka itu tidak bermasalah insya Allah.

g. Setelah takbir-takbir tambahan, dia membaca ta’awudz, lalu membaca al-fatihah dengan jahr berdasarkan dalil umum disyariatkannya ta’awudz dan bahwa tidak ada shalat bagi yang tidak membaca al-fatihah.

h. Pada surah setelah al-fatihah disunnahkan untuk membacanya secara jahr, dan disunnahkan untuk membaca surah Al-A’la pada rakaat pertama dan Al-Ghasyiah pada rakaat kedua, sebagaimana yang beliau lakukan pada shalat jum’at. Ini berdasarkan hadits riwayat Muslim no. 878 dari sahabat An-Nu’man bin Basyir. Dan Nabi -alaihishshalatu wassalam- juga biasa membaca surah Qaf pada rakaat pertama dan Al-Qamar pada rakaat kedua, juga berdasarkan riwayat Muslim no. 891 dari sahabat Abu Waqid Al-Laitsi.

i. Sisanya sama seperti kaifiat shalat biasa.

j. Barangsiapa yang ketinggalan atau tidak menghadiri shalat id secara berjamaah maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebagian ulama berpendapat tidak disyariatkan adanya qadha`, karena shalat id adalah shalat yang mempunyai ketentuan (seperti harus berjamaah dan ada khutbah setelahnya), sehingga kapan ketentuan ini tidak terpenuhi maka tidak wajib diqadha`. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiah dan yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Sebagian lainnya berpendapat hendaknya dia mengqadha` dengan mengerjakan shalat dua rakaat beserta takbir-takbir tambahan. Telah shahih bahwa sahabat Anas bin Malik mengerjakan amalan ini. Ini adalah pendapat Qatadah, Atha`, An-Nakhai, Ibnu Sirin, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, Al-Hasan, Malik, Al-Laits, Abu Hanifah, Ibnu Abi Syaibah, dan salah satu riwayat dari Ahmad.
Jika dia hanya shalat dua rakaat tanpa takbir-takbir tambahan maka ini juga tidak bermasalah. Ini adalah pendapat Ibnu Al-Hanafiah, Ikrimah, Ibnu Iyadh, dan merupakan mazhab Al-Bukhari -rahimahullah-. Juga merupakan salah satu pendapat Malik dan Ahmad dalam satu riwayat.
Kami katakan: Yang manapun dari ketiga amalan di atas yang dia kerjakan maka insya Allah tidak mengapa.
Lihat Fathul Bari karya Al-Hafizh (2/474-475), Fathul Bari karya Ibnu Rajab (9/76), dan Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/208)

k. Jika hari id bertemu dengan hari jum’at maka tidak diberikan keringanan bagi yang telah menghadiri shalat id untuk tidak menghadiri shalat jum’at. Akan tetapi dia tetap mengerjakan shalat zuhur baik secara berjamaah di masjid maupun sendiri di rumah, wallahu a’lam. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (24/211).

Seputar Khutbah
a. Khutbah Setelah Shalat
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- dia berkata:
شَهِدْتُ العِيْدَ مَعَ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ -, فَكُلُّهُمْ يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Saya mengikuti shalat id bersama Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, Abu Bakar, Umar, dan Utsman -radhiallahu anhu-, maka mereka semua mengerjakan shalat sebelum khutbah.” (HR. Al-Bukhari no. 962 dan Muslim no. 884)
Maksudnya: Beliau mengikuti shalat id sejak dari zaman Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- sampai zaman kekhalifahan Utsman, dan setiap dari khalifah tersebut memulai shalat id sebelm khutbah.
Abu Said Al-Khudri -radhiallahu anhu- berkata, “Nabi -alaihishshalatu wassalam- keluar pada hari idul fithr dan adhha ke lapangan, maka perkara yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau selesai shalat lalu berdiri menghadap ke orang-orang -sementara mereka duduk di shaf-shaf mereka- lalu beliau memberikan peringatan, wasiat, dan perintah kepada mereka (berkhutbah).” (HR. Al-Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889)
Dan dalam hadits Jabir dia berkata:
أَنَّ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَامَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى, فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ, ثُمَّ خَطَبَ. فَلَمَّا فَرَغَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَزَلَ وَأَتَى النِّسَاءَ فَذَكَّرَهُنَّ وَهُوَ يَتَوَكَّأُ عَلَى يَدِ بِلاَلٍ
“Sesungguhnya Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- berdiri pada hari idul fithr lalu mengerjakan shalat, beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, kemudian setelah itu baru beliau berkhutbah. Setelah Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- selesai berkhutbah, beliau turun dan mendatangi para wanita, lalu beliau memberikan peringatan kepada mereka sementara beliau bersandar pada tangan Bilal.” (HR. Muslim no. 885)
Ibnu Al-Mundzir berkata dalam Al-Ausath (4/271) mengenai shalat sebelum khutbah, “Inilah yang diamalkan (sampai oleh) oleh awwam ulama (ulama pemula) di berbagai negeri. Di antara yang memulai shalat sebelum khutbah adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Al-Mughirah bin Syu’bah, dan Ibnu Mas’ud. Dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, Ishak, dan ashhab ar-ra’yu …,”

b. Khutbah Id dua kali khutbah.
Tidak ada hadits shahih lagi tegas yang menunjukkan adanya dua kali khutbah dalam shalat id. Hanya saja para ulama kita memahami adanya dua kali khutbah id dengan berdalilkan hadits-hadits tentang shalat jum’at, seakan-akan mereka berpendapat bahwa kaifiat khutbah id sama seperti khutbah jum’at. Dan mengkiaskan khutbah id ke khutbah jum’at bukanlah kias yang jauh karena keduanya adalah hari raya, keduanya dihadiri oleh banyak orang, dan keduanya dipersyaratkan adanya jamaah.
Karenanya An-Nasai -rahimahullah- no. 1415 memasukkan hadits Jabir bin Samurah tentang dua kali khutbah jum’at ke dalam pembahasan khutbah id. Demikian halnya Ibnu Khuzaimah (2/349) memasukkah hadits Ibnu Umar tentang khutbah jum’at ke dalam bab tentang khutbah id. Apalagi ini (khutbah id dua kali) adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, serta para ulama dan fuqaha` di berbagai negeri, dan tidak ada seorang pun dari kalangan ulama mutaqaddimin yang mengingkari adanya dua khutbah dalam shalat id. Bahkan di antara mereka ada yang mengkiaskannya dengan shalat jum’at dan sebagian di antara mereka bahkan menukil adanya ijma’.
Ibnu Hazm -rahimahullah- berkata, “Jika imam sudah salam (dari shalat id), maka hendaknya dia berdiri lalu berkhutbah di hadapan orang-orang dengan dua kali khutbah dimana dia duduk di antaranya keduanya,” lalu setelah itu beliau menyebutkan beberapa permasalahan lain kemudian beliau berkata, “Semua ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama (dalam hukumnya).” Dan perlu digarisbawahi bahwa Ibnu Hazm termasuk ulama yang sering membantah adanya ijma’ dalam sebuah masalah, maka tatkala di sini beliau menukil ijma’ menandakan bahwa beliau sangat memastikan adanya ijma’ dalam hal ini, wallahu a’lam.
Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata, “Ijma’ itu menunjukkan adanya dalil, tahulah yang tahu, bodohlah yang bodoh.”
Maksudnya: Ketika ada nukilan ijma’ dari seorang ulama yang diperhitungkan nukilannya, maka itu menunjukkan adanya dalil akan ijma’ tersebut, karena sudah dimaklumi bahwa ijma’ bukanlah hujjah yang berdiri sendiri akan tetapi dia harus mempunyai dalil dari nash syariat. Dalil ini ada yang mengetahuinya dan ada yang tidak mengetahuinya, atau mungkin saja ijma’ ini lahir dari kumpulan beberapa hadits. Karenanya walaupun kita tidak mengetahui dalil dari sebuah ijma’ maka kita harus berbaik sangka kepada para ulama kita, karena sangat memungkinkan sekali mereka menghafal dalil akan ijma’ tersebut, yang mana dalil tersebut tidak sampai atau tidak dihafal oleh para ulama di zaman belakangan apalagi di zaman ini.
Akan tetapi barangsiapa yang melakukan khutbah satu kali pada shalat id berdasarkan lahiriah hadits-hadits yang ada, maka kami juga tidak mengingkarinya. Wallahu a’lam.

c. Khutbah dalam keadaan berdiri di atas tanah.
Ini termasuk sunnah yang ditinggalkan oleh banyak khatib jum’at di zaman ini, tatkala mereka melakukan khutbah id di atas mimbar. Abu Said Al-Khudri berkata -sebagai kelanjutan hadits Abu Said di atas-, “Maka terus-menerus kaum muslimin mengamalkan seperti itu (shalat sebelum khutbah dan khutbah sambil berdiri di tanah) sampai saya keluar shalat idul adhha bersama Marwan -dan dia ketika itu adalah gubernur Madinah-. Tatkala kami sudah tiba di lapangan, ternyata sudah ada mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Ash-Shalt, dan ternyata Marwan hendak naik ke atasnya (untuk berkhutbah) sebelum shalat. Maka sayapun menarik pakaiannya tapi dia melepaskan peganganku, lalu dia naik ke mimbar dan melakukan khutbah sebelum shalat. Maka saya berkata kepadanya, “Demi Allah kami telah merubah (sunnah),” maka dia menjawab, “Wahai Abu Said, sudah pergi apa yang kamu ketahui.” Maka saya berkata, “Apa yang saya ketahui -demi Allah- masih lebih baik daripada apa yang tidak saya ketahui.” Dia berkata, “Orang-orang tidak akan tinggal duduk mendengarkan khutbah kami selepas shalat, karenanya saya menjadikan khutbah sebelum shalat.”
Maka dari hadits ini dipetik faidah tidak adanya mimbar di lapangan id. Karena Nampak dari kisah ini kalau Abu Said mengingkari dua perkara dari Marwan: Didahulukannya khutbah sebelum shalat dan adanya mimbar di lapangan untuk berkhutbah. Karenanya dalam riwayat lain Abu Said berkata, “Engkau mengeluarkan mimbar yang pada zaman Nabi -alaihishshalatu wassalam- dia tidak pernah dikeluarkan.”
Ada beberapa hadits lain yang menunjukkan disunnahkannya berkhutbah sambil berdiri di atas tanah, tanpa menggunakan mimbar.

d. Membuka khutbah dengan khutbatul hajah, “Innal hamda lillah …”
Tidak ada satupun hadits yang shahih dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- tentang membuka khutbah id dengan takbir, bahkan hadits-hadits umum tentang disunnahkannya membuka khutbah dengan khutbatul hajah berlaku juga pada khutbah id. Karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Ibnu Al-Qayyim berpendapat disunnahkanya membukan khutbah id dengan khutbatul hajah, karena tidak pernah dinukil dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- beliau pernah membuka khutbah dengan selainnya.
Adapun disunnahkannya bertakbir di awal khutbah pertama dan di awal khutbah kedua, maka itu adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya, walaupun mereka sendiri berbeda pendapat mengenai berapa kali takbir diucapkan. Sebagian di antara mereka mengatakan 9 kali di awal khutbah pertama dan 7 kali di awal khutbah kedua, dan sebagian lainnya tidak berpendapat demikian. Ala kulii hal, semua ini adalah ijtihad mereka bahkan sebagian di antara mereka menyebutkan beberapa dalil akan hal tersebut.
Karenanya barangsiapa yang bertakbir berdasarkan pendapat mayoritas ulama ini maka khutbahnya syah dan kami tidak mengingkarinya , hanya saja yang lebih selamat adalah mengamalkan sebatas apa yang ditunjukkan oleh dalil, wallahu a’lam.

e. Hukum mendengarkan khutbah.
Hukumnya adalah wajib dengan dalil:
1. Para wanita yang dipingit -bahkan yang haid- tidak diberikan uzur untuk tidak keluar shalat dan mendengarkan khutbah. Seandainya khutbah tidak wajib, apa gunanya wanita yang haid diperintahkan ke lapangan padahal sudah dimaklumi mereka tidak akan mengerjakan shalat.
2. Mengatakan hukumnya sunnah akan membuka mafsadat hilangnya khutbah dalam shalat id. Karena itu berarti tidak mengapa seluruh jamaah pulang setelah mengerjakan shalat karena mendengar khutbah hukumnya hanya sunnah. Karenanya Imam Ahmad berkata, “Sepantasnya bagi dia untuk menunggu (mendengar) khutbah. Bagaimana menurutmu kalau semua orang pulang, kepada siapa imamnya akan berkhutbah?!” Lihat Su`alat Ibni Hani no. 471.
Inilah insya Allah pendapat yang lebih tepat, dan ini merupakan pendapat Malik -dalam salah satu pendapat- dan Imam Ahmad. Tatkala hukum mendengarnya adalah wajib maka dilarang seorangpun untuk berbicara dan mengganggu orang lain selama berlangsungnya khutbah.
Jika khutbahnya berisi kemungkaran dan bid’ah, maka hendaknya dia tidak mendengarkannya tapi dia tetap menyibukkan dirinya sendiri dengan zikir dan tidak mengganggu orang lain dalam zikirnya. Wallahu a’lam.
Adapun hadits Abdullah bin As-Saib yang dijadikan dalil oleh mayoritas ulama akan disunnahkannya menghadiri shalat id, maka dia adalah hadits yang lemah. Lihat penjelasannya di sini: http://al-atsariyyah.com/?p=1381

Hukum tahni`ah (ucapan selamat)
Diriwayatkan dari atsar Abdullah bin Busr, Abdurrahman bin ‘Aidz, Jubair bin Nadhir, dan Khalid bin Mi’dan, “Bahwa diucapan kepada mereka ucapan: Taqabbalallahu minna wa minkum ( semoga Allah menerima amalan kami dan kalian), dan juga mereka mengucapkanya kepada selain mereka.“
(Diriwayatkan oleh Al-Ashbahani dalam At-Targhib (1/381) dengan sanad yang tidak mengapa)
“Dari Abu Umamah Al-Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi -alaihishshalatu wassalam-, bahwa ketika mereka pulang dari shalat id, maka sebagian di antara mereka berkata kepada sebagian yang lain, Taqabbalallahu minna wa minkum.” Sanadnya dinyatakan hasan oleh Imam Ahmad.
Maka berdasarkan semua atsar di atas, dibolehkan seseorang mengucapkan tahni`ah (ucapan selamat) kepada saudaranya dengan lafazh di atas.
Dan tidak mengapa mengucapkan selain lafazh di atas, karena tidak adanya hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan hal tersebut, baik apakah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengamalkanya atau melarangnya. Yang ada hanyalah amalan sejumlah sahabat radhiallahu ‘anhum.
Karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -di dalam Majmu’ Al-Fatawa (24/253)- beliau membolehkan dengan ucapan di atas dan juga yang semisalnya.
Adapun Imam Ahmad, driwayatkan bahwa beliau membolehkannya hanya saja beliau tidak memulainya. Namun jika ada yang memulai maka beliau menjawabnya. (Lihat Al-Furu’: 2/150).

Mukhalafah (Menyelisihi) Jalan
Maksudnya, jika seseorang melewati satu jalan (jalur) menuju lapangan, maka ketika pulang disunnahkan baginya untuk melewati jalan (jalur) yang lain.
Jabir bin Abdullah -radhiallahu anhuma- berkata:
كَانَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدِ خَالَفَ الطَّرِيْقَ
“Nabi -shallallahu alaihi wasallam- jika pada hari ied, beliau mengambil jalan lain”. (HR. Al-Bukhari no. 986)
Abu Hurairah -radhiallahu anhu- berkata:
كَانَ النبي صلى الله عليه وسلم إِذَا خَرَجَ إِلَى الْعِيْدِ, رَجَعَ فِي غَيْرِ الطَّرِيْقِ الَّذِي خَرَجَ فِيْهِ
“Nabi -shallallahu alaihi wasallam- jika keluar ied, beliau kembali (pulang) pada selain jalan yang beliau tempati keluar (berangkat)”. (HR. Ahmad: 2/338, At-Tirmizi no. 541, dan Ibnu Majah no. 1301)
Ibnu Rusyd berkata dalam Al-Bidayah (1/514-515), “Mereka (para ulama) sepakat akan disunnahkannya pulang melalui selain jalan yang dia tempuh ketika dia pergi, karena shahihnya hal ini dari perbuatan beliau -alaihishshalatu wassalam-.”

Disunnahkan menampakkan kegembiraan pada kedua hari raya, selama tidak dengan cara yang terlarang.
Diriwayatkan dari Aisyah -radhiallahu anha- bahwa para sahabat ada yang bermain tombak dan perisai pada hari id di dalam masjid. (HR. Al-Bukhari no. 907,944,2750,3337 dan Muslim no. 892) Pada hadits yang sama juga disebutkan adanya dua anak kecil yang menyanyikan lagu sambil memukul rebana di kamar Aisyah, akan tetapi Nabi -alaihishshalatu wassalam- membelakanginya tapi tidak mengingkarinya. Maka ini menunjukkan bolehnya nyanyian dengan beberapa syarat:
1. Hanya saat hari id.
2. Biduannya adalah anak kecil.
3. Hanya dengan menggunakan rebana.
4. Liriknya tentunya tidak mengandung dan tidak mengajak kepada maksiat.
5. Hanya diadakan di kumpulan wanita.
Jika salah satu dari kelima syarat ini tidak terpenuhi -apalagi seluruhnya- maka musik dan lagu adalah hal yang diharamkan, tapi bukan di sini tempat pemaparannya.
Adapun berkumpul untuk makan dan minum, maka ini adalah perkara adat yang boleh saja dikerjakan selama tidak mengandung maksiat (misalnya ikhtilat dan menyentuh yang bukan mahram). Kapan diyakini bahwa acara ini merupakan bagian dari agama sehingga tercela orang yang tidak mengikutinya maka keyakinan seperti ini harus dijelaskan kesalahannya, kalau perlu acara seperti ini dihentikan guna menghilangkan keyakinan seperti ini, wallahu a’lam.

Beberapa Kemungkaran Seputar Id
1. Mengerjakan shalat qabliyah dan ba’diyah menyertai shalat Id
2. Adzan dan Iqamah sebelum Shalat Id
3. Ucapan: Ash-Shalat al-Jaami’ah dan semisalnya
4. Shalat dua rakaat secara khusus di malam Id. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang shalat malam Id adalah hadits-hadits yang maudhu` (palsu) dan sangat dha’if.
5. Mendahulukan khutbah sebelum pengerjaan shalat Id.
6. Mengadakan mimbar untuk khutbah Id.
7. Mengerjakan shalat ‘Ied di masjid tanpa adanya uzur.
8. Meninggalkan shalat Id di belakang seorang yang dianggap ahli bid’ah (namun tidak sampai pada kekufuran).
9. Mengerjakan shalat Id di lapangan yang kecil/sedikit menampung jama’ah, sementara ada lapangan terdekat yang dapat menampung banyak jama’ah.
10. Membuat lapangan Id baru atas dasar hawa nafsu dan tahazzub (fanatisme kelompok), sementara dijumpai mushalla Id kaum muslimin.
11. Menempatkan shaf laki-laki bergantian dengan shaf wanita, atau shaf laki-laki sejajar dengan shaf wanita.
12. Keluarnya wanita dengan bertabarruj (berhias) yang tidak syar’i.
13. Bersenda gurau ketika khutbah Id.
14. Bertakbir secara berjamaah yang dipimpin oleh satu orang dan di atas satu suara.
15. Percampurbauran antara lelaki dan wanita (ikhtilath) serta lelaki menyentuh wanita yang bukan mahramnya dan demikian pula sebaliknya.

http://al-atsariyyah.com/?p=1194

0 komentar:

Posting Komentar