Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh.
Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu).
Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan ilmu.

Rabu, 13 Januari 2010

Semua Tentang Ruqyah

Dari Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu anhu- dia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat, dan pelet adalah kesyirikan.” (HR. Abu Daud no. 3385, Ibnu Majah no. 3521, dan Ahmad no. 3433)

Ruqyah bermakna membaca, dan yang ruqyah yang terlarang dalam hadits ini adalah membaca selain dari Al-Qur`an dan doa-doa yang shahih, yang doanya mengandung ibadah (meminta bantuan dan perlindungan) kepada selain Allah Ta’ala

Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:

رَخَّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرُّقْيَةَ مِنْ كُلِّ ذِي حُمَّةٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan ruqyah dari sengatan semua hewan berbisa.” (HR. Al-Bukhari no. 5741 dan Muslim no. 2196)

Dari Aisyah radliallahu ‘anha dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفُثُ عَلَى نَفْسِهِ فِي الْمَرَضِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ وَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meniupkan kepada diri beliau sendiri dengan mu’awwidzat (doa-doa perlindungan/ta’awudz) ketika beliau sakit menjelang wafatnya. Dan tatkala sakit beliau semakin parah, sayalah yang meniup beliau dengan mu’awwidzat tersebut dan saya megusapnya dengan tangan beliau sendiri karena berkahnya kedua tangan beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5735 dan Muslim no. 2192)

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَتَى مَرِيضًا أَوْ أُتِيَ بِهِ قَالَ أَذْهِبْ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ اشْفِ وَأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk orang sakit atau ada orang yang sakit dibawa kepada beliau, beliau berdo’a: “ADZHIBIL BA`SA RABBAN NAASI ISYFII WA ANTA SYAAFI LAA SYIFAA`A ILLA SYIFAA`UKA SYIFAA`A LAA YUGHAADIRU SAQAMA (Hilangkanlah penyakit wahai Rab sekalian manusia, sembuhkanlah wahai Zat Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada penyembuhan kecuali penyembuhan dari-Mu, dengan kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit setelahnya).” (HR. Al-Bukhari no. 5243, 5301, 5302, 5309 dan Muslim )

Dalam sebuah riwayat Al-Bukhari:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اشْتَكَى مِنَّا إِنْسَانٌ مَسَحَهُ بِيَمِينِهِ ثُمَّ قَالَ أَذْهِبْ الْبَاسَ …

“Apabila salah seorang di antara kami sakit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusapnya dengan tangan kanan, lalu beliau mengucapkan: ‘Adzhabil ba’sa …

Penjelasan ringkas:

Ruqyah adalah membacakan ayat-ayat Al-Qur`an atau doa-doa perlindungan yang shahih dalam sunnah kepada orang yang sakit, yang dalam pembacaannya disertai dengan an-nafts (tiupan disertai sedikit ludah) atau membasuhkan tangan ke bagian tubuh yang terkena sakit. Ruqyah ini bisa dilakukan dengan cara apa saja sepanjang cara itu bukanlah kesyirikan. ‘Auf bin Malik Al Asyja’i berkata;

كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ

“Kami biasa melakukan ruqyah pada masa jahiliyah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah! bagaimana pendapatmu tentang ruqyah?’ beliau menjawab, “Peragakanlah cara ruqyah kalian itu kepadaku. Tidak ada masalah dengan ruqyah selama tidak mengandung syirik.” (HR. Muslim no. 4079)

Hanya saja tentunya pembolehan semua bentuk ruqyah ini, selain harus terlepas dari syirik, dia juga harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah -alaihishshalatu wassalam-. Karenanya tidak diperbolehkan seseorang memunculkan cara-cara baru dalam meruqyah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi -alaihishshalatu wassalam-. Di antara cara ruqyah yang tidak ada tuntunannya adalah: Meruqyah dengan azan, meruqyah dengan murattal, meruqyah wanita yang bukan mahramnya dengan khalwat (berduaan) atau menyentuh mereka walaupun dengan pelapis, dan ada khilaf dalam masalah membacakan Al-Qur`an pada air untuk diminum.

Sungguh Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah meruqyah sebagaimana dalam hadits-hadits di atas, dan beliau pun menganjurkan untuk meruqyah. Dari Jabir -radhiallahu anhu- dia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرُّقَى فَجَاءَ آلُ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ كَانَتْ عِنْدَنَا رُقْيَةٌ نَرْقِي بِهَا مِنْ الْعَقْرَبِ وَإِنَّكَ نَهَيْتَ عَنْ الرُّقَى قَالَ فَعَرَضُوهَا عَلَيْهِ فَقَالَ مَا أَرَى بَأْسًا مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang melakukan ruqyah. Lalu datang keluarga ‘Amru bin Hazm kepada beliau seraya berkata; ‘Ya Rasulullah! Kami mempunyai cara ruqyah untuk gigitan kalajengking. Tetapi anda melarang melakukan ruqyah. Bagaimana itu? ‘ Lalu mereka peragakan cara ruqyah mereka di hadapan beliau. Maka beliau bersabda: ‘Ini tidak apa-apa. Barangsiapa di antara kalian yang bisa memberi manfaat kepada saudaranya maka hendaklah dia melakukannya.” (HR. Muslim no. 4078)

Hanya saja anjuran untuk meruqyah ini tidaklah menunjukkan bolehnya minta diruqyah. Karena minta diruqyah merupakan amalan yang makruh dan pelakunya akan mendapatkan kerugian karena kehilangan pahala yang besar. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda menjelaskan criteria 70.000 orang dari umatnya yang akan masuk surga tanpa hisab dan azab:

هُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta untuk di ruqyah, tidak pernah bertathayur (menganggap sial/pamali) dan tidak pula melakukan terapi dengan kay (terapi dengan menempelkan besi panas pada daerah yang sakit), dan hanya kepada Rabb mereka bertawakkal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas)

Adapun cara meniup dalam meruqyah, maka telah disebutkan dalam sebagian riwayat Imam Al-Bukhari di atas dari Ma’mar dia berkata: Aku bertanya kepada Az Zuhri, “Bagaimana cara meniupnya?” dia menjawab, “Beliau meniup kedua tangannya, kemudian beliau mengusapkan ke wajah dengan kedua tangannya.”

Semua dalil di atas menunjukkan bahwa ruqyah ini tidak terbatas hanya untuk penyakit yang tidak terlihat (sihir dan kerasukan), akan tetapi berlaku untuk semua jenis penyakit, dari penyakit yang paling ringan seperti sakit kepala sampai penyakit yang paling kronis. Dan Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah mengajarkan cara umum dalam meruqyah semua jenis penyakit yaitu: Dengan meniup atau membasuhkan tangan ke tempat yang sakit lalu membaca Al-Qur`an atau doa-doa perlindungan atau doa yang tersebut di atas atau dengan membaca:

بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ

“Dengan nama Allah, dengan nama Allah, dengan nama Allah”.

Kemudian berdoa:

أَعُوْذُ بعِزِةَِّ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan yang kutakutkan”. (sebanyak 7 kali)

Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Utsman bin Abil Ash Ats-Tsaqafi tatkala dia mengadukan penyakitnya kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka Rasulullah mengatakan, “Letakanlah tanganmu pada tempat yang sakit dari tubuhmu dan ucapkanlah, “Dengan nama Allah” -sebanyak tiga kali-, lalu ucapkanlah, “Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan kuhindarkan” -sebanyak tujuh kali-.” (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, dan selainnya)

Adapun Al-Qur`an, maka semua ayat di dalamnya bisa dibaca dalam ruqyah, karenanya tidak boleh meyakini adanya sebagian ayat yang tidak bisa dipakai meruqyah. Hanya saja memang secara nash dan kenyataan yang terjadi, ada beberapa surah dan ayat tertentu yang pengaruhnya lebih cepat terlihat dibandingkan ayat atau surah lainnya. Karenanya boleh saja mengutamakan untuk membaca ayat atau surah tertentu tersebut tapi tanpa meyakini kalau yang lainnya tidak boleh dibaca.

Berikut beberapa pertanyaan yang sering muncul seputar ruqyah:

1. Bolehkah peruqyah berbincang dengan jin yang merasuki seseorang?
2. Bolehkah meruqyah orang kafir?
3. Hukum membaca Al-Qur`an pada air untuk diminum dalam ruqyah.
4. Siapakah yang boleh meruqyah?
5. Apakah bereksperimen dalam cara-cara ruqyah diperbolehkan?
6. Peruqyah yang takut kepada jin, syirik atau tidak?
7. Bolehkah mendirikan klinik ruqyah? Mengingat mendirikannya akan mengundang orang datang untuk minta diruqyah, padahal minta diruqyah adalah hal yang dimakruhkan.

Fatwa-Fatwa Syaikh Rabi’ -hafizhahullah-
Seputar Masalah Ruqyah dan Jin

1. Apakah boleh berdialog dengan jin yang muslim (dalam ruqyah)?
Jawab: Tidak boleh, darimana kamu tahu bahwa dia itu muslim? Boleh jadi dia adalah munafik atau kafir, namun ia mengatakan, “Saya muslim”. Kamu tidak mengetahui hakikat jin dan engkau tidak pula mengetahui perkara yang ghaib. Maka hal tersebut tidak diperbolehkan -semoga Allah memberkahimu-.
Jika ada seorang manusia di hadapanmu yang mengaku muslim, maka terkadang engkau akan menghukuminya (sebagai seorang muslim) sebagaimana lahiriahnya. Engkau melihatnya melakukan shalat dan ibadah lainnya, namun engkau tetap tidak mengetahui tentang dirinya (secara bathiniah yang tersembunyi darinya). Akan tetapi jin yang merasuk ke dalam tubuh manusia, kemudian dia berkata kepadamu, “Saya muslim”, padahal boleh jadi dia itu fajir.
Maka tidak ada sedikitpun alasan untuk memberatkan diri (takalluf) dalam masalah ini (ruqyah), apa yang membuat kamu menjadi takalluf wahai saudaraku? Masih banyak rumah sakit yang terbuka. Dan apabila orang yang sakit itu mau bersabar, maka Allah -Azza wa Jalla- akan memberikan pahala kepadanya.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah didatangi oleh seorang yang buta, ia meminta agar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendoakan kesembuhan baginya, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ، وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ
“Jika engkau ingin maka saya akan berdoa untukmu dan jika engkau ingin maka engkau bersabar saja”.
Dan seorang perempuan pernah datang kepada beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya ditimpa penyakit ayan, maka berdo’alah kepada Allah untuk (kesembuhan)ku”. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepadanya:
إِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ لَكِ، وَإِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ
“Jika engkau ingin maka saya akan berdoa untukmu dan jika engkau ingin maka engkau bersabar saja, maka engkau akan memperoleh surga”.
Maka dalam kejadian di atas tidak terdapat sama sekali sifat takalluf (dari Nabi-pent.) seperti (sikapmu) ini. Apakah engkau lebih penyayang dibandingkan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-?!`.
Allah telah menguji para hambanya dengan berbagai macam penyakit:
مَا مِنْ شَيْءٍ يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ نَصَبٍ، وَلاَ حَزَنٍ، وَلاَ وَصَبٍ، حَتَّى الْهَمُّ يُهِمُّهُ؛ إِلاَّ يُكَفِّرُ اللهُ بِهِ عَنْهُ سِيِّئَاتِهِ
“Tidak satupun menimpa seorang mukmin berupa musibah, kesedihan, penyakit, sampai duri yang menusuknya melainkan Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya”.
Maka seorang mukmin yang ditimpa penyakit, dia akan diberikan pahala jika dia bersabar, “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,” Yakni: Seperti penyakit-penyakit ini. “Mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun [Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan akan hanya akan kembali kepada-Nya]“. (QS. Al-Baqarah: 155-166)
Dan Ar-Rasul -’alaihis sholatu wassalam- bersabda tentang 70.000 orang yang masuk surga (tanpa hisab):
لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka tidak minta diruqyah, tidak pula berobat dengan besi panas, dan mereka bertawakkal hanya kepada Rabb mereka”.
Dia tidak minta dari siapa pun (agar dirinya) diruqyah. Orang yang pergi meminta ruqyah, maka hal tersebut mengurangi keimanan dan ketawakkalannya kepada Allah -Azza wa Jalla- . Maka ajarilah dia dan katakan kepadanya, “Bersabarlah kamu, dan janganlah minta diruqyah, serta berserah dirilah kepada Allah dan berdoalah kepada-Nya, karena ruqyah merupakan bentuk permintaan (doa kepada Allah). Karenanya, hal tersebut (meminta untuk diruqyah) pasti memberikan pengaruh dalam masalah ketawakkalan kepada Allah -Azza wa Jalla-. Oleh karena itulah, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Mereka tidak minta diruqyah”, karena minta diruqyah akan mengurangi keimanan dan ketawakkalannya (kepada Allah).
Seorang mukmin dalam kehidupannya akan diuji dengan berbagai macam penyakit, bencana, dan musibah, agar Allah mengangkat derajatnya jika ia bersabar -semoga Allah memberkahi kalian-.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Maka barangsiapa yang bersabar, maka baginyalah (pahala) kesabaran dan barangsiapa yang marah, maka baginya kemurkaan (dari Allah)”.
Maka seorang mukmin wajib untuk bersabar atas ketentuan-ketentuan Allah. Apabila seseorang diangkat naik ke derajat keridhaan dengan ketetapan Allah -Azza wa Jalla-, maka itu adalah jenjang yang paling tinggi dalam keimanan, insya Allah. Maka kesabaran merupakan perkara yang wajib, sedangkan keluh kesah adalah perkara yang haram. Tidak boleh berkeluh kesah terhadap ketentuan-ketentuan Allah -Subhanahu wa Ta’ala-
قُلْ لَنْ يُصِيْبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا
“Katakanlah sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami.” (QS. At-Taubah: 51)
Jika Allah menghendaki ketidaksembuhanmu, maka ruqyah ataupun selainnya, tidaklah bermanfaat bagimu. Segala sesuatu berada di bawah keinginan dan kehendak Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Seorang mukmin harus menyerahkan urusannya kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan wajib atasnya untuk beriman terhadap takdir dan ketentuan Allah, serta dia bersabar di atasnya -semoga Allah memberkahimu-.
Apabila Allah memberikan taufiq, untuk mengangkatnya ke derajat ridha, inilah perkara yang dicari -semoga Allah memberkahimu-. Apabila dia suka untuk berobat, maka dia berobat dan apabila dia minta untuk diruqyah, maka hal tersebut bukanlah perkara yang haram, akan tetapi ia merupakan perkara yang makruh dan akan mengurangi derajatnya (di sisi Allah) -semoga Allah memberkahimu-.
Adapun orang yang bersedia untuk meruqyah dan ia melakukannya supaya dirinya menjadi terkenal, bahkan sebagian mereka menyebarkannya pada selebaran-selebaran dan sebagian mereka membangun perkantoran-perkantoran (klinik ruqyah). Mereka itulah para penipu yang menonjolkan dirinya untuk suatu pekerjaan yang bukan tugasnya. Demi Allah, orang yang mengangkat dirinya untuk meruqyah adalah orang yang tertuduh, tertuduh dalam agamanya. Apa yang mengantarkannya untuk melakukan hal ini? Engkau wahai saudaraku, adalah salah satu dari sekian banyak kaum muslimin. Apakah dia (ruqyah) khususiyah (kemampuan khusus) yang datang kepadamu? Di dalamnya ada yang lebih bertakwa, lebih afdhal dan lebih alim daripadamu. Bagaimana khususiyah ini datang hanya untukmu, kemudian engkau tidak mau mencukupkan dengan ruqyah syar’iyah, bahkan engkau pergi kepada sesuatu dan hal-hal yang engkau bisa terpedaya olehnya? Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita seluruhnya.

2. Bolehkah meruqyah orang kafir?
Jawab: Boleh. Abu Said -radhiallahu ‘anhu- pernah meruqyah orang yang kafir, tatkala beliau dan sahabat yang lain keluar dalam suatu perjalanan dan melewati perkampungan Arab. Awalnya mereka meminta agar dijamu sebagai tamu, namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka. Selang beberapa waktu kemudian, pemimpin kaum tersebut disengat (kalajengking), maka penduduk kampung tersebut mendatangi para shahabat dan berkata, “Sesungguhnya pemimpin kaum disengat (kalajengking), apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyah? Sahabat berkata, “Demi Allah kami telah meminta jamuan kepada kalian, namun kalian tidak menjamu kami, maka kami tidak akan meruqyahnya sampai kalian memberikan upah kepada kami”. Maka merekapun memberi upah beberapa ekor kambing. Kemudian salah seorang sahabat (Abu Sa’id) meruqyah pemimpin mereka dengan Al-Fatihah, sampai akhirnya orang itu sembuh dan lepas dari racun tersebut. Orang-orang yang meruqyah tersebut harus ikhlas, tulus dalam hatinya -semoga Allah memberkahi kalian- Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- membenarkan ruqyah (Abu Said) tersebut.
Sekarang kebanyakan orang yang meruqyah, mereka mengambil upah dan harta dari manusia -sekalipun mereka belum bisa memberikan faedah kepada (baca: menyembuhkan) mereka-. Seorang boleh mengambil upah atas ruqyah dengan syarat sembuhnya orang yang diruqyah, sebagaimana keterangan dalam hadits, “Seketika itu pula pemimpin kampung itu sembuh dan lepas dari ikatan, maka para sahabatpun mengambil upahnya”. Andaikata dia tidak sembuh, maka mereka (para shahabat) tidak mungkin bisa mengambil upah.
Sekarang ini orang yang meruqyah tamak terhadap harta, diapun mendatangi orang yang sakit dengan penyakitnya dan orang yang tertimpa musibah dengan musibahnya. Sekalipun dia tidak menyembuhkannya dia tetap mengambil hartanya (upah ruqyahnya). Maka harta/upah yang dia ambil tersebut adalah harta/upah yang haram. -semoga Allah memberkahimu-

3. Apa hukum membacakan Al-Qur’an pada air?
Jawab: Tidak sepantasnya dilakukan, walaupun para ulama berpendapat dengannya, namun tidak ditemukan dalil atasnya. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah melakukannya, demikian pula para shahabat -semoga Allah memberkahi kalian-. Mereka yang membolehkan hal tersebut tidak mempunyai satu dalil pun (yang bisa dipegang), sementara mereka mengetahui bahwa kami tidak akan menerima suatu pendapat, kecuali disertai dengan dalilnya. Maka setiap orang diambil perkataannya dan ditolak kecuali Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.

4. Bolehkah orang yang belum benar bacaan Al-Qur’annya meruqyah?
Jawab: Boleh baginya untuk meruqyah jika dia merasa berat kepada hal tersebut. Akan tetapi, wajib atasmu untuk mempelajarinya (membaguskan bacaannya). Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang mahir dalam membaca Al-Qur’an kelak akan bersama dengan para malaikat yang mulia lagi baik, dan orang yang membacanya dengan terbata-bata (belum lancar) serta dia merasa berat membacanya, maka dia akan menapat dua pahala”.
Terkadang seseorang tidak mampu untuk memperbaiki bacaannya, maka dia membacanya dan berusaha untuk memperbaiki bacaannya.

5. Apakah eksperimen dalam ruqyah diperbolehkan?
Jawab: Tidak ada eksperimen dalam ruqyah, hal tersebut (eksperimen) hanya ada dalam pengobatan (kedokteran) yang mana dia memang dibangun di atas hal tersebut. Adapun dalam ruqyah, maka yang terbaik adalah seorang muslim hanya terbatas dengan ruqyah yang disyariatkan. Adapun melakukan eksperimen, maka -pertama- engkau tidak mengetahui akan hal tersebut, dari mana permikiran terebut muncul di benakmu?

6. Apa makna hadits:
لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا
“Tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan”.
Jawab: Ya betul, tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan. Ruqyah dalam perkara-perkara yang baik untuk menghilangkan dan meringankan penderitaan seseorang. Hal tersebut tidak akan terjadi kecuali jika engkau berdoa dan memohon hanya kepada Allah, kemudian membaca ayat-ayat Al-Qur’an, hadits dan doa-doa. Inilah yang dibolehkan dalam syariat Islam.
Adapun sebagian orang mereka meruqyah dengan sihir, yakni meruqyah dengan kalimat-kalimat yang di dalamnya mengandung perkara kesyirikan, demikian pula mereka meruqyah dengan kalimat-kalimat ajam (bukan bahasa Arab) yang di dalamnya mengandung kebathilan dan kesyirikan. Sementara ruqyah harus dengan bahasa Arab dan yang melakukannya harus dari kalangan orang yang bertakwa, shalih, yang tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika dia (orang yang meruqyah) berlama-lama dalam meruqyah dengan menambah doa-doa yang disyariatkan, maka hal ini tidak apa-apa dan diperbolehkan. Misalnya dia membaca doa ruqyah yang diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,
بِسْمِ اللهِ، رَبَّ النَّاسِ ! أَذْهِبِ الْبَأْسَ، وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Dengan nama Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah petakanya dan sembuhkanlah dia. Engkaulah yang Maha Penyembuh, tidak ada yang menyembuhkan kecuali Engkau, sebuah penyembuhan yang tidak menimbulkan penyakit”.
Atau dia meruqyah dirinya dengan mengucapkan,
بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ
“Dengan nama Allah, dengan nama Allah, dengan nama Allah”.
Kemudian berdoa,
أَعُوْذُ بعِزِةَِّ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan yang kutakutkan”. (sebanyak 7 kali)
Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Utsman bin Abil Ash Ats-Tsaqafi tatkala dia mengadukan penyakitnya kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka Rasulullah mengatakan, “Letakanlah tanganmu pada tempat yang sakit dari tubuhmu dan ucapkanlah, “Dengan nama Allah” -sebanyak tiga kali-, lalu ucapkanlah, “Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan kuhindarkan” -sebanyak tujuh kali-.”
Maka dia pun mengucapkan doa tersebut, lalu dia sembuh dari sakitnya. Oleh karena itu, bacaan ruqyah yang paling utama adalah Al-Qur’an kemudian hadits Nabi (dalam doa-doa yang beliau ajarkan), maka pilihlah yang paling utama darinya.
Di tengah-tengah kalian ada para peruqyah. Demi Allah, saya menasehatkan kepada para salafiyyin, untuk tidak masuk dalam perkara ini dan tidak mengangkat salah seorang pun dalam hal ini (peruqyah). Syaikh Al-Albani, Ibnu Baz dan Al-Utsaimin, apakah mereka mengangkat diri mereka untuk perkara ini? Demikian pula kaum salafi dari kalangan para shahabat, tabi’in dan imam-imam yang mendapat petunjuk, semisal Imam Ahmad, Malik, Syafi’i, apakah mereka juga menasehatkan untuk perkara tersebut? Dimana (kedudukan) kalian (dari mereka)? Kami katakan: Ikutilah As-Salaf, ikutilah As-Salaf dan kami adalah salafiyyin, sangat jauh dari mengada-adakan hal semacam ini. Ruqyah adalah perkara yang dibolehkan, akan tetapi tidak dengan jalan yang bathil. Merekalah (salafiyyin) orang yang ittiba` dengan sebenar-benarnya ittiba` -semoga Allah memberkahimu-. Tinggalkanlah perkara-perkara ini yang bisa merusak dakwah dan da’inya -semoga Allah memberkahi kalian-.
Apabila seseorang datang kepadamu dan meminta ruqyah kepadamu, maka ruqyalah dia. Atau dia pergi dan mencari orang selainmu lalu dia sembuh, maka kesembuhan itu di tangan Allah. Hendaknya dia berdoa kepada Allah -Azza wa Jalla-, supaya Allah menyembuhkannya dan dia berdoa dengan doa-doa ini untuk kesembuhan bagi dirinya. Maka Allah akan menjadikan bagi dirinya jalan keluar.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan bagi dirinya jalan keluar dan akan memberikan rezki dari arah yang tidak disangka-sangka”. (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Penanya berkata: Kami khawatir ya syaikh, orang-orang awam akan pergi ke tukang sihir dan dukun-dukun?!
Jawab: Biarkan mereka pergi dan tidak kembali lagi. Kamu sendiri, siapa yang menuntut kamu? janganlah memberat-beratkan diri, karena jiwa, kehidupan dan agamamu akan menjadi rusak karenanya. Apakah karena mereka pergi ke tukang sihir, lalu engkau segera meruqyah dan mengangkat diri sebagai peruqyah?
Penanya: Tidak -wahai Syaikh-, akan tetapi merekalah yang datang kepadaku?!
Jawab: Tinggalkan, tinggalkanlah. Tidaklah mereka itu datang kepadamu kecuali engkaulah yang memproklamirkan diri sebagai ahli ruqyah. Tinggalkanlah perkara ini -semoga Allah memberkahimu-. Tinggalkanlah manusia-manusia itu karena Allah -Azza wa Jalla-, dan janganlah engkau membebani dirimu sendiri dengan hal tersebut.
وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” (QS. Shad: 86)
Ini adalah alasan yang sama yang dikemukakan oleh orang yang pertama kali meruqyah di Madinah. Dia adalah sahabat kami, salafi yang sangat baik, dia juga mengajar di masjid Nabawi. Demi Allah, dia berhasil memberikan pengaruh banyak pemuda sufiyyah di Madinah (sehingga mereka kembali kepada sunnah, pent.), dia mendatangkan pengaruh yang lebih besar daripada dai lainnya. Kemudian syaithan pun datang kepadanya. Demi Allah, -dia dahulu meminta nasehat kepadaku sebelum dia mulai (meruqyah)- karena sungguh dia adalah termasuk sahabat dekatku-. Dia minta nasehat kepadaku dengan mengatakan, “Wahai syaikh Rabi’, saya telah mengajar fulan tentang ruqyah dan sekarang dia meruqyah dan mengambil uang (dari ruqyah) sebesar 14 ribu!!” Saya berkata kepadanya, “Saya menasehatkan engkau agar tidak masuk dalam perkara ini.” Dia berkata, “Saya khawatir manusia akan pergi ke para dukun dan tukang sihir. Saya berkata, “Demi Allah, engkau tidak akan diminta pertanggung jawaban”. Saya katakan kepadanya, “Berbuatlah sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh dai-dai yang berjuang di jalan Allah.” Seperti Syaikh Abdullah Al-Qar’awi, beliau pernah datang kepada kami di suatu daerah dan kebanyakan manusia sakit di tempat tidurnya lagi tidak bisa berdiri. Apa penyebabnya? (Gangguan) jin dan semacamnya. Mereka keluar lalu mereka kerasukan jin di malam hari, di sekitar pohon-pohon, jalan-jalan dan selainnya. Sethan menguasai mereka –orang-orang yang bodoh lagi tidak memahami tauhid -. Kemudian beliau (Syaikh Al-Qar’awi) datang dan menyebarkan tauhid, tidak ada ruqyah dan tidak ada sesuatupun -semoga Allah memberkahi kalian-, sampai akhirnya semua masalah itu berakhir, seluruhnya berakhir tatkala tauhid dan ilmu telah tersebar. Tatkala ilmu dan tauhid telah tersebar, semua ini hilang dan sirna. Tapi tatkala tersebar dan merata, maka akan banyak bermunculan banyak tukang sihir, dukun, setan-setan dan seterusnya, yang mereka (tukang sihir, dukun dan setan) saling tolong menolong di dalamnya. Maka saya menasehatkan kepadanya agar dia beramal, sebagaimana amalnya orang-orang yang mengadakan perbaikan dengan berdakwah kepada tauhid dan memerangi kesyirikan dan khurafat.

7. Apakah boleh atau tidak, meminta bantuan kepada jin dalam melaksanakan perbuatan yang mubah lagi dibolehkan dalam syariat. Perlu diketahui bahwa dalam meminta bantuan kepada jin ini tidak ada sedikitpun amalan kesyirikan atau maksiat.
Jawab: Meminta bantuan kepada jin memberikan indikasi bahwa orang yang meminta bantuan tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan, karena mereka tidak akan membantu dirinya kecuali setelah dia kafir kepada Allah Azza wa Jalla. Apakah dengan cara dia mengencingi mushaf atau shalat ke arah selain kiblat atau shalat dalam keadaan junub. Yang jelas dia pasti telah melakukan sesuatu amalan yang mengkafirkan, setelah itu baru dia (jin) akan membantunya. Jin yang mengatakan kepadamu: “Saya muslim,” maka janganlah kamu membenarkannya karena dia adalah pendusta. Betul di antara mereka ada kaum muslimin, akan tetapi untuk menetapkan keimanannya dibutuhkan dalil-dalil.

8. Apakah takut kepada jin termasuk dari takut tabiat atau tidak?
Jawab: Kalau takutnya secara sirr (terselubung) dan dia meyakini bahwa jin itu bisa memberikan manfaat dan mudharat maka dia telah terjatuh ke dalam kesyirikan. Allah berfirman:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin: 6)
Kebanyakan jenis takut kepada jin -wallahu a’lam- termasuk ke dalam jenis takut ibadah (yang seharusnya hanya diberikan kepada Allah, pent.), karena dia meyakini bahwa jin itu bisa memberikan mudharat dan manfaat, padahal tidak ada yang menguasai mudharat dan manfaat kecuali Allah, bukan jin dan bukan pula manusia.
وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ
“Ketahuilah, jika semua umat manusia bersatu padu untuk memberikan suatu kebaikan kepadamu, niscaya mereka tidak dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah ditulis oleh Allah bagimu, dan jika semua umat manusia bersatu padu untuk mencelakakanmu, niscaya mereka tidak dapat mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah ditulis oleh Allah bagimu.” sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

9. Firman Allah, “Sesungguhnya dia (iblis) dan bala tentaranya melihat kalian dari arah yang kalian tidak bisa melihat mereka.” Apakah tidak terlihatnya mereka bersifat mutlak, ataukah memungkinkan bagi sebagian orang bisa melihat setan-setan pada sebagian keadaan?
Jawab: Ia, hal itu adalah kenyataan. Sebagaimana kisah Abu Hurairah bersama setan, Ar-Rasul  juga pernah melihatnya dalam shalat, dan saya juga -demi Allah- telah melihat setan-setan dengan mata kepala saya sendiri. Saya pernah melihat seekor kuda yang seumur hidup saya belum pernah melihat kuda dengan bentuk seperti itu, saya bersama saudaraku melihatnya dalam safar. Kami melihat melihat kuda yang aneh lagi menakjubkan itu di tempat yang tidak ada rerumputannya dan tidak ditinggali oleh manusia.
Beliau berkata: Ketika saya di atas kendaraan antara maghrib dan isya, saya juga pernah melihat seseok tubuh telanjang dengan kepala yang tidak ditumbuhi sehelai rambut pun, tapi bukan karena habis menggundul rambutnya (yakni: Sudah dari sananya, pent.). Bentuknya aneh dan di depannya ada dua anak kecil yang keduanya mempunyai kepala yang besar tanpa rambut. Keduanya sangat kurus dan begitu pula dengan kedua betisnya, bentuknya sangat aneh.
Maka banyak orang yang telah melihat setan, walaupun kebanyakannya setan itu tidak bisa terlihat.
Akan tetapi sekarang –sayang sekali- banyak orang yang mengambil pemikiran Muhammad Abduh -murid Al-Afghani- yaitu pengingkaran akan adanya sihir dan mengingkari jin bisa terlihat. Asal pemikiran ini mereka ambil dari Muktazilah Al-Aqlaniyun, yang menjadikan akal sebagai pemutus hukum dalam hal agama dan dunia. Maka tidak ada dalil yang menafikan kalau mereka bisa terlihat sesekali, dan saya menegaskan kepada kalian bahwa saya sendiri telah melihatnya.

10. Mereka juga mengingkari merasuknya jin ke dalam tubuh manusia.
Jawab: Hal ini (kerasukan) adalah hal yang bisa diketahui dengan panca indera, masyhur dan mutawatir dari sejak zaman dahulu. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. Al-Baqarah: 275) Dan Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” (QS. An-Nas: 1-5) Kenapa dia bisa membisikkan kejahatan ke dalam dadamu? Bukankah karena dia bisa mengalahkanmu dan dia bisa masuk ke dalam tubuhmu?! Nabi  bersabda:
إِنًّّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya setan berjalan di dalam tubuh anak Adam seperti mengalirnya darah.”
Maka semua (yang mengikuti Muktazilah, pent.) menolak semua ayat dan hadits di atas dan menjadikan akal mereka sebagai pemutus perkara.

Klinik Ruqyah

Soal:
Telah dibuka klinik-klinik ruqyah di berbagai tempat, banyak di antara orang-orang yang terjun di dalamnya, tujuan mereka hanyalah untuk mengumpulkan harta. Demikian pula telah terjadi di tempat-tempat ini penyelisihan terhadap syari’at, seperti: Orang yang meruqyah memasukkan perempuan yang akan di ruqyah ke dalam ruangan khusus untuk ruqyah sementara mahram dari perempuan tersebut tinggal di luar, mengurut leher wanita, menyentuh kepala dan sebagian dari tubuh mereka. Demikian pula terjadi pada sebagian dari orang-orang yang meruqyah, mereka menjual obat-obatan yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh pasien, tujuannya hanya sekedar untuk mengumpulkan harta.
Kami mengharapkan dari syaikh kami -hafizhohullah- untuk menjawab soal ini dengan jawaban yang sempurna dan mencukupi, karena masalah ini termasuk perkara yang sudah tersebar luas. Dan kami juga mengharapkan tuntunan dan nasehat kepada mereka (para peruqyah), semoga Allah memberikan balasan pahala kepada anda.

Jawab:
Alhamdulillah, washshalatu wassalamu ala Rasulillah, wa ala alihi washahbihi. Amma ba’du:

Sepantasnya diketahui bahwa meruqyah orang yang kemasukan jin atau terkena sihir -jika niatnya untuk mengharapkan wajah Allah dan orang yang meruqyah adalah orang yang mapan dalam ilmu dan pengetahuan tentang ruqyah-, maka ini termasuk di antara amalan saleh yang terbesar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata ketika beliau berbicara tentang meruqyah orang yang kemasukan jin, “Maka ini termasuk dari amalan-amalan yang paling utama dan ini merupakan amalannya para nabi dan rasul. Karena para nabi dan orang-orang saleh terus-menerus senantiasa menahan gangguan setan-setan dari anak Adam, dengan menggunakan cara yang Allah dan Rasul-Nya izinkan. Sebagaimana Al-Masih melakukan hal itu, dan demikian pula Nabi kita -alaihishshalatu wassalam- melakukannya.” Majmu’ Al-Fatawa (19/56-57)

Maka ini termasuk dari amalan-amalan saleh. Bagaimana tidak, padahal orang yang meruqyah adalah sebab terbebasnya kaum muslimin dari kekuasaan setan-setan dari kalangan jin dan manusia atas mereka. Dia juga menjadi sebab terjaganya agama orang yang terkena sihir, sehingga orang itu bisa selamat dari ketergantungan kepada para penyihir, ahli nujum, dan para pendusta. Maka amalan (meruqyah) ini sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin, bahkan kebutuhan mereka kepadanya lebih besar daripada kebutuhan mereka kepada para dokter, karena penyakit yang diakibatkan oleh kerasukan dan sihir itu bisa mempengaruhi hari, akal, dan badan.

Adapun mereka yang meruqyah orang yang kerasukan (dengan memasang tarif) lalu mereka mendapatkan harta darinya, maka dalil-dalil yang sangat banyak telah mencela mereka. Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam- bersabda:

اقْرَأُوا الْقُرْآنَ وَلاَ تَأْكُلُوا بِهِ

“Bacalah Al-Qur`an dan jangan kamu makan dengannya.”
Dan beliau bersabda:

اقْرَأُوا الْقُرْآنَ وَاسْأَلُوا اللهَ بِهِ، فَإِنَّهُ سَيَأْتِي أَقْوَامٌ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ وَيَسْئَلُوْنَ بِهِ النَّاسَ

“Bacalah Al-Qur`an dan memintalah kepada Allah dengannya, karena akan datang sebuah kaum yang membaca Al-Qur`an dan mereka meminta (harta) dari manusia dengannya.” Sebagaimana yang tersebut dalam hadits Imran bin Hushain riwayat Ahmad dan selainnya.

Manusia -dalam hal mengambil upah dari meruqyah yang syar’i- terbagi menjadi dua jenis:
Jenis pertama: Ada yang menjadikan upah tersebut sebagai sumber penghasilannya, sehingga dia hanya terfokus dalam meruqyah untuk mendapatkan penghasilan. Maka orang seperti ini adalah orang yang makan dengan agamanya. Sebagian ulama salaf ada yang ditanya tentang an-nadzl (orang yang mendapatkan harta dengan menghinakan dirinya, pent.) maka dia menjawab, “Dia adalah orang yang makan dengan agamanya.” Maka menjadikan ruqyah sebagai profesi dan sumber penghasilan adalah hal yang tidak diperbolehkan, dan harta sejenis inilah yang ditahdzir dalam hadits-hadits yang telah berlalu. Allah mengetahui kami membenci jenis orang semacam ini, karena profesinya yang tersebut di atas (meruqyah) mengandung kehinaan.
Jenis yang lainnya: Orang yang mengambil upah darinya akan tetapi dia tidak menjadikannya sebagai profesi/sumber penghasilan. Maka yang seperti ini hukumnya diperselisihkan oleh para ulama, hanya saja yang lebih utama adalah tidak mengambil upah darinya tapi hanya mengharap pahala dari Allah. Jika dia mengambilnya tanpa dia memintanya maka itu dibolehkan.

Sebagian orang-orang yang meruqyah ada yang betul-betul menjadikan amalan ruqyah murni sebagai sarana untuk mengumpulkan harta, yaitu dengan menjual obat-obatan, rerumputan (ramuan), habbatussauda`, dan minyak zaitun. Perlu diketahui bahwa kebanyakan orang terkena sihir atau kerasukan tidaklah membutuhkan hal-hal seperti itu. Akan tetapi jenis orang yang terlalu bergampangan dalam ruqyah ini, dia terkadang memberikan berbagai minuman dan minyak kepada setiap pasien ruqyahnya (dengan dalih sebagai obat, pent.). Yang lebih menakjubkan daripada itu adalah sebagian di antara mereka (para peruqyah) adalah yang meruqyah pada air lalu dia menjual air tersebut. Karenanya kamu jangan heran kalau mereka berhasil mengumpulkan harta yang sangat banyak yang bisa menyaingi harta para pedagang yang sukses. Sehingga sangat tepat sabda Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam- kepada mereka, “Jika kamu tidak punya malu maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Mas’ud)

Sepantasnya yang dinasehatkan kepada orang yang terkena penyakit (sihir/kerasukan) ini adalah hendaknya dia mendengar satu atau dua kaset (murattal) dan juga membaca kitab Hishnul Muslim (buku zikir-zikir, pent.). Sementara yang sihirnya masuk melalui minuman maka dia dianjurkan untuk meminum sanah, karena dia adalah obat yang sangat manjur bagi laki-laki dan perempuan, kecuali jika dia adalah wanita yang sedang hamil.

Hendaknya juga waspada dari sikap bergampangan dalam adab-adab dan batasan-batasan syar’i yang berkenaan dengan membacakan Al-Qur`an kepada para wanita. Maka tidak boleh meruqyah seorang wanita tanpa mahramnya, tidak boleh meruqyahnya dalam keadaan wajahnya atau kedua matanya tersingkap, tidak boleh orang yang meruqyah berduaan dengan wanita yang diruqyah, dan tidak boleh dia terlalu serius dalam meruqyah (para wanita) dengan tujuan untuk menikahi salah seorang atau lebih di antara mereka.

Sebagai penutup, saya nasehatkan kepada orang yang meruqyah untuk bersemangat dalam menjalankan amalan ini dengan cara yang sempurna, hendaknya dia menjadikan amalannya tersebut sebagai dakwah kepada Allah, dan hendaknya dia bersikap zuhud terhadap keinginan-keinginan jiwanya yang bisa menggelincirkan pemilih jiwa tersebut. Saya juga menghimbau kepada kaum muslimin secara umum dan ahlussunnah secara khusus, agar mereka menasehati orang yang terkena penyakit-penyakit yang tersebut di atas untuk hanya mendatangi tukang ruqyah yang sudah direkomendasikan oleh orang-orang yang baik lagi saleh bahwa tukang ruqyah itu adalah orang yang istiqamah dalam agamanya dan selalu menjauhi kesalahan-kesalahan yang tersebut di atas. Juga agar mereka menasehati saudara-saudaranya yang meruqyah agar mereka memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka. Sementara kepada orang-orang yang meruqyah, saya nasehatkan agar mereka mau menerima nasehat saudara-saudara mereka karena seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lain, dan hendaknya mereka (kaum muslimin) waspada dari para peruqyah yang telah nampak darinya perbuatan terus-menerus di atas penyelisihan kepada syariat Allah.

Hanya kepada Allah saya meminta agar menjadikan kita semua sebagai kunci-kunci pembuka kebaikan dan penutup kejelekan, dan tidak ada daya serta upaya kecuali dengan pertolongan Allah.

http://al-atsariyyah.com/?p=1649

0 komentar:

Posting Komentar