Oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al-Maidani
Islam adalah agama universal yang mencakup seluruh ajaran kebaikan. Mulai dari keyakinan, ucapan maupun perbuatan diterangkan secara lengkap dalam Islam. Keterangannya baik secara global atau rinci terpampang dengan jelas dan gamblang. Itulah jalan-jalan keselamatan yang bisa ditempuh oleh para pemeluk agama ini. Jalan-jalan yang bisa menghantarkan pelintasnya ke jannah Allah k dan menyelamatkannya dari adzab neraka. Allah k berfirman:
قَدْ جآءَكُمْ مِنَ اللهِ نُوْرٌ وَكِتاَبٌ مُبِيْنٌ. يَهْدِي بِهِ اللهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلاَمِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُماَتِ إِلىَ النُّوْرِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيْهِمْ إِلىَ صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
“Sungguh telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan dan Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan seizin-Nya serta menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma`idah: 15-16)
Jalan keselamatan boleh berbilang namun kebenaran tetap hanya satu. Karena setiap jalan keselamatan adalah bagian dari kebenaran yang satu. Sehingga sebuah jalan tidak dihukumi sebagai jalan keselamatan kecuali bila nilai kebenaran menjadi muatannya. Jika terjadi perselisihan dan pertikaian mengenai sebuah jalan keselamatan maka kebenaran itu tetap berjumlah satu. Kebenaran berada pada salah satu pendapat yang dipegang oleh salah satu pihak. Tentunya tolak ukur kebenaran itu adalah Al Qur`an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Allah k berfirman:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)
Kemudian Allah k berfirman:
وَمَنْ يٌشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ ماَ تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ ماَ تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَساَءَتْ مَصِيْراً
“Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas baginya petunjuk, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (shahabat g), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Lalu Allah k berfirman:
فَماَذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Ayat ini menetapkan bahwa tidak ada kedudukan ketiga antara al-haq dan al-bathil dalam permasalahan mentauhidkan Allah k. Maka demikian pula perkaranya dalam permasalahan-permasalahan yang setara. Yaitu dalam permasalahan-permasalahan ushul (prinsip), kebenaran berada pada salah satu pihak.
Barangkali ada yang mengatakan: “Sesungguhnya dzahir ayat ini menunjukkan bahwa yang selain (mentauhidkan) Allah adalah kesesatan. Karena permulaan ayat berbunyi:
فَذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمُ الْحَقٌّ فَماَذاَ بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
“Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kalian yang sebenarnya; sehingga tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Lalu kenapa memperluas pendalilan ini (yakni menggunakan ayat ini untuk mengingkari bentuk kesesatan selain kesyirikan -ed)?”
Jawabannya: Sesungguhnya para pendahulu kita yang baik telah berdalil dengan keumuman ayat ini terhadap segala kebatilan. Oleh karena itu Al-Imam Malik t berdalil dengannya dalam mengharamkan permainan catur sebagaimana pada riwayat Asyhab. Bentuk (pendalilan) itu sebagai berikut: bahwa kekafiran adalah sesuatu yang menutupi al-haq. Maka semua yang selain kebenaran berjalan di atas jalur ini.” (Tafsir Al-Qurthubi, 8/336)
Dalam setiap pertikaian dan perselisihan, kebenaran hanya satu sedangkan yang selainnya adalah keliru. Bahkan tak jarang mengandung kebatilan dan kesesatan. Inilah sebab Allah k melarang setiap perselisihan dan pertikaian. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t pernah menerangkan: “Ayat-ayat yang melarang setiap perselisihan dalam agama mengandung celaan terhadapnya. Seluruhnya mempersaksikan dengan nyata bahwa al-haq di sisi Allah k hanya satu, sedangkan yang selainnya merupakan kesalahan. Kalau seandainya semua pendapat itu adalah benar, niscaya Allah k dan Rasul-Nya tidak akan melarang dari kebenaran dan tidak pula akan mencelanya. Sungguh Allah k telah mengabarkan bahwa perselisihan bukan dari sisi-Nya. Yang bukan dari sisi Allah k tidak dianggap sebagai kebenaran. Allah k berfirman:
وَلَوْ كاَنَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلاَفاً كَثِيْراً
“Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`: 82) (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594)
Dalil-dalil tentang Kebenaran Hanya Satu
Cukup banyak dalil akurat dari Al Qur`an, As Sunnah dan amalan shahabat yang menunjukkan bahwa kebenaran dalam setiap permasalahan yang diperselisihkan hanya satu. Adapun yang selainnya merupakan kesalahan. Di antara dalil-dalil tersebut:
1. Allah k berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْماً فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain. Karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah wasiatkan pada kalian agar kalian bertakwa.” (Al-An‘am: 153)
Ibnu Katsir t -ketika menafsirkan ayat ini- berkata: “Firman Allah k:
فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
“Ikutilah (jalan-Ku) dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain.”
(Di sini) sungguh Allah k menyebutkan tentang jalan-Nya dengan bentuk kata tunggal karena kebenaran itu hanya satu. Oleh sebab itu, Allah menyebutkan tentang jalan-jalan yang lain dengan bentuk kata jamak (banyak). Karena jalan-jalan yang lain terpisah-pisah dan bercabang-cabang….” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/256)
2. Allah k berfirman:
وَدَاوُدَ وَسُلَيْماَنَ إِذْ يَحْكُماَنِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيْهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُناَّ لِِحُكْمِهِمْ شاَهِدِيْنَ. فَفَهَّمْناَهاَ سُلَيْماَنَ وَكُلاًّ آتَيْناَ حِكْماً وَعِلْماً وَسَخَّرْناَ دَاوُدَ الْجِباَلَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وُكُناَّ فاَعِلِيْنَ
“Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman. Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat). Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu. Dan telah Kami tundukkan gunung-gunung serta burung-burung. Semuanya bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya.” (Al-Anbiya`: 78-79)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menjelaskan -tentang dua ayat ini- sebagai berikut: “Kedua nabi yang mulia ini telah sama-sama memberikan keputusan dalam sebuah kasus yang membutuhkan vonis hukum. Maka Allah k mengistimewakan salah seorang dari keduanya dengan memahamkan (kepadanya) duduk permasalahan (yang dihadapi). Bersamaan dengan itu Allah memuji masing-masing dari keduanya dengan mendatangkan pengetahuan hukum dan ilmu kepadanya. Demikian pula para ulama yang mujtahid g. Siapa yang benar dari mereka mendapatkan dua pahala sedangkan yang salah mendapatkan satu pahala. Masing-masing mereka taat kepada Allah sesuai dengan kemampuannya. Allah tidak akan memberatkannya dengan sesuatu yang dia tidak mampu mengilmuinya…” (Majmu’ Al-Fatawa, 33/41)
3. Rasulullah n bersabda:
إِذاَ حَكَمَ الْحاَكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصاَبَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذاَ حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad maka jika benar dia mendapatkan dua pahala dan jika salah dia mendapatkan satu pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Al-Imam Al-Muzani t menandaskan: “Perlu dipertanyakan kepada orang yang membolehkan perbedaan pendapat dan menyangka bahwa dua orang alim jika berijtihad pada sebuah kejadian –yang satu berpendapat (halal) sementara yang lain berpendapat (haram)– masing-masing dari keduanya meraih kebenaran: Apakah engkau mengatakan ini dengan sebuah sumber (hukum) atau dengan qiyas? Bila dia menjawab: Dengan sebuah sumber (hukum). Dipertegas kepadanya: Bagaimana bisa dari sebuah sumber (hukum) sedangkan Al Qur`an menolak perbedaan pendapat. Bila dia menjawab: Dengan qiyas. Dipertegas kepadanya: Sumber-sumber (hukum) menolak perbedaan pendapat dan bagaimana engkau bisa mengqiyas atas sumber-sumber (hukum) tersebut untuk membolehkan perbedaan pendapat. Ini merupakan perkara yang tidak bisa diterima oleh orang yang berakal terlebih lagi oleh seorang yang berilmu.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, karya Ibnu ‘Abdil Barr, 2/89)
4. Rasulullah n bersabda:
إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفَرَّقَتْ أُمَّتِي عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي الناَّرِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قَالُوا: وَمَنْ هِيَ، ياَ رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ الْْيَوْمَ وَأَصْحاَبِي
“Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan akan berpecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan. Mereka seluruhnya berada dalam api neraka kecuali golongan yang satu. Para shahabat bertanya: “Siapa golongan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “(Dia adalah golongan yang memegang) ajaranku dan (faham) shahabatku pada hari ini.” (HR. At-Tirmidzi dan selainnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash c)
Dalam sanad hadits ini terdapat Abdurrahman bin Ziyad Al-Ifriqi. Dia seorang yang dha’if. Tetapi hadits ini dikuatkan oleh banyak hadits lain yang semakna. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa orang shahabat, antara lain:
1. Abu Hurairah
2. Mu’awiyah bin Abi Sufyan
3. Anas bin Malik
4. ‘Auf bin Malik
5. Ibnu Mas‘ud
6. Abu Umamah
7. ‘Ali bin Abi Thalib
8. Sa’ad bin Abi Waqqash
Semoga Allah k meridhai mereka semua.
Al-Imam Syathibi t memaparkan: “Sabda beliau n “Kecuali golongan yang satu”, secara nash memberikan penjelasan bahwa kebenaran hanya satu dan tidak beraneka ragam. Sebab jika seandainya kebenaran menjadi milik berbagai pihak niscaya beliau tidak akan mengatakan “Kecuali golongan yang satu”…”. (Al-I’tisham, 2/755)
5. Al-Imam Al-Muzani t berkata:
Para shahabat Rasulullah n telah berbeda pendapat. Sebagian mereka menyalahkan yang lainnya. (Sebagian mereka) melihat kepada pendapat-pendapat yang lain lalu mengomentarinya. Jika mereka berpandangan bahwa seluruh pendapat mereka (ketika berselisih) adalah benar, niscaya mereka tidak akan melakukan yang demikian.
‘Umar bin Al-Khaththab z pernah marah karena perselisihan Ubay bin Ka’b z dengan Abdullah bin Mas’ud z mengenai hukum shalat mengenakan sehelai pakaian. Saat itu Ubay berkata: “Sesungguhnya shalat dengan mengenakan sehelai pakaian merupakan perkara yang baik lagi bagus.” Ibnu Mas’ud berkata: “Sungguh yang demikian itu (dibolehkan) bila jumlah pakaiannya sedikit.” Maka ‘Umar keluar dalam keadaan marah dan berkata: “Dua orang shahabat Rasulullah n yang dipandang dan diambil pendapatnya telah berselisih. Ubay telah benar dan Ibnu Mas’ud tidak lalai. Akan tetapi tidaklah aku mendengar seorang pun berselisih mengenainya setelah (aku meninggalkan) tempatku ini melainkan aku akan memperlakukannya demikian dan demikian.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/83-84)
Tidak Setiap Mujtahid Benar
Dalil-dalil di atas dengan tegas mematahkan kesesatan sebagian muslimin yang berpandangan bahwa setiap mujtahid benar. Sebab pernyataan ini adalah madzhab Mu’tazilah negeri Bashrah. Merekalah sumber dari kebid’ahan ini. Mereka berpendapat demikian karena tidak paham tentang makna-makna dan metode-metode fiqih yang mengantarkan kepada kebenaran serta memisahkan dari kerancuan-kerancuan yang batil. (Al-Bahru Al-Muhith karya Az-Zarkasyi, 6/243)
Tidak ada seorang pun dari para ulama sunnah dan imam-imam Islam yang menyuarakan bahwa setiap mujtahid benar. Adapun penisbahannya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Malik merupakan isapan jempol dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (Al-Bahru Al-Muhith, 6/242 dan Shifatush-shalah karya Al-Albani hal.63-64)
Al-Imam Malik t berkata: “Tidaklah (ada) kebenaran melainkan hanya satu. (Mungkinkah -ed) dua pendapat yang saling bertentangan keduanya benar? Tidaklah al-haq dan kebenaran melainkan hanya satu.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/82, 88, 89)
Hal yang hampir senada diucapkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t (Majmu’ Al-Fatawa, 33/42), Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594), Ibnu Abdil Barr t (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/88), dan para ulama yang lainnya.
Perselisihan Bukan Argumen untuk Mentolerir Suatu Pendapat
Berargumen dengan perselisihan dan perbedaan pendapat untuk melegitimasi suatu pemikiran (dari tokoh tertentu) atau madzhab sebagai sebuah kebenaran merupakan perkara yang tidak benar. Sikap ini tidak memiliki akurasi hujjah. Sebab Al Qur`an dan As Sunnah tidak mengajarkannya.
Al-Hafidz Abu ‘Umar bin Abdil Barr t berkata: “Perselisihan bukan hujjah menurut seluruh ahli fiqih umat ini kecuali bagi orang yang tidak punya mata hati dan pengetahuan. Maka pendapatnya bukan hujjah.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/229)
Kewajiban seorang muslim adalah mencari letak kebenaran dalam sebuah perselisihan dan pertikaian. Tidak semua pendapat mengusung kebenaran. Kebenaran hanya berada pada salah satu pihak yang berselisih dan bertikai. Ini adalah pendapat Al-imam Malik, Ahmad dan Asy-Syafi’i rahimahumullah. (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594)
Pihak yang benar adalah yang pendapatnya berlandaskan Al Qur`an dan As Sunnah beserta pemahaman Salaf. Sebuah kesalahan fatal bila seorang muslim menganggap suatu perkara dibolehkan dengan alasan (di dalam perkara tersebut terdapat) perselisihan di kalangan para ulama apalagi yang selainnya. Ini merupakan kekeliruan terhadap syariat Islam. Namun sangat disayangkan betapa banyak orang yang terjatuh di dalamnya. Mereka bukan dari golongan orang awam saja akan tetapi juga melibatkan orang-orang yang mengaku dirinya berilmu. Sebagian mereka dianggap ulama atau paling tidak bergelar kyai maupun ustadz. Bahkan tak jarang ahlul bid’ah berupaya melanggengkan berbagai kebid’ahannya dengan alasan yang demikian. Wallahul musta’an.
Marilah kita menyimak penuturan ulama berikut ini:
Al-Imam Asy-Syathibi t berkata: “Perkara ini telah melampaui kadar yang cukup. Sehingga terjadi pembolehan sebuah perbuatan karena berpegang pada kondisinya yang diperselisihkan di kalangan para ulama. Pembolehan ini bukan bermakna untuk memelihara perselisihan, sebab hal ini memiliki sisi pandang yang lain, akan tetapi tujuannya adalah yang selain itu (yakni tujuannya tidak untuk memelihara perselisihan -red). Terkadang dalam suatu permasalahan muncul fatwa yang melarang. Lalu dipertanyakan: “Kenapa engkau melarang? Padahal permasalahannya diperselisihkan.” Maka perselisihan dijadikan argumen untuk membolehkan, semata-mata karena permasalahannya diperselisihkan. Bukan karena dalil yang menyokong kebenaran madzhab yang membolehkan. Tidak pula karena taqlid kepada orang yang lebih pantas diikuti daripada orang yang mengatakan larangan. Itulah wujud kesalahan terhadap syariat, yaitu menjadikan yang bukan pegangan sebagai pegangan dan yang bukan hujjah sebagai hujjah.” (Tahdzib Al-Muwafaqat, karya Muhammad bin Husain Al-Jizani, hal. 334)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Siapapun tidak boleh berhujjah dengan pendapat seseorang dalam permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan. Hujjah itu hanya berupa nash (Al Qur`an dan As Sunnah), ijma’ dan dalil yang disimpulkan dari itu (sedangkan) pendahuluannya dikokohkan dengan dalil-dalil syar’i, tidak dengan pendapat-pendapat sebagian ulama. Karena pendapat-pendapat ulama perlu diberi hujjah dengan dalil-dalil syar’i, bukan untuk dijadikan sebagai hujjah atas dalil-dalil syar’i.” (Majmu’ Al-Fatawa, 26/202-203)
Setiap Pendapat Menuntut Dalil
Menuntut dalil dari setiap pendapat merupakan kewajaran di kalangan pecinta kebenaran. Tentunya tanpa memandang siapa yang menjadi sasarannya. Sebab nilai kebenaran terletak pada dalil bukan dalam kebesaran nama seseorang. Namun tidak berarti tanpa etika dan adab yang layak dalam melakukannya. Inilah barangkali yang tidak dipahami oleh para pembebek yang terperosok dalam kubangan pengkultusan tokoh. Acapkali mereka memegang sebuah pendapat karena yang mengucapkannya adalah seorang yang punya nama besar tanpa menoleh dalilnya. Terkadang profil yang dimaksud bukan ulama yang faham agama beserta dalil-dalilnya dengan benar.
Tapi keharusan berpijak kepada dalil tak bisa digugurkan walaupun pemilik pendapat adalah seorang ulama dengan kriteria yang hampir mencapai titik sempurna. Orang yang mempelajari sejarah hidup generasi terbaik umat ini akan melihat bahwa mereka tak sungkan-sungkan untuk bertanya tentang dalil sebuah pendapat kepada yang bersangkutan. Berikut beberapa riwayat dalam masalah ini:
1. Dari Abu Ghalib, ia berkata: Kami bertanya (kepada Abu Umamah z):
أَبِرَأْيِكَ قُلْتَ: هَؤُلاَءِ كِلاَبُ الناَّرِ، أَوْ شَيْءٌ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟
“Apakah dengan pendapatmu engkau mengatakan: Mereka (Khawarij) adalah anjing-anjing neraka, atau sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah n?
إِنِّي لَجَرِيْءٌ بَلْ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ ثِنْتَيْنِ وَلاَ ثَلاَثٍ
“(Jika demikian) sungguh aku sangat berani. Akan tetapi aku mendengarnya dari Rasulullah n tidak hanya sekali, dua dan tiga kali.” Lalu beliau menyebutkan hitungan bilangannya berulang kali. (HR. Ahmad, dengan sanad yang jayyid menurut penilaian Asy-Syaikh Muqbil t, lihat Al-Jami’ush Shahih, 1/199-201)
2. Dari Abu Shalih, ia berkata: Aku mendengar Abu Sa’id Al-Khudri z mengatakan:
الدِّناَرُ بِالدِّناَرِ، وَالدِّرْهَمُ بِالدِّرْهَمِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، فَمَنْ زَادَ – أَوِ ازْدَادَ – فَقَدْ أَرْيَى
“Dinar dengan dinar, dan dirham dengan dirham (menukar/jual-belinya) dengan timbangan yang sama (bobotnya). Barangsiapa yang menambahi atau minta tambahan berarti dia telah berbuat riba.”
Aku (Abu Shalih) berkata kepadanya (Abu Sa’id): “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas mengatakan yang selain ini.” Abu Sa’id Al-Khudri menjawab: “Aku telah bertemu Ibnu ‘Abbas. Aku bertanya: Apakah yang engkau ucapkan ini adalah sesuatu yang pernah engkau dengar dari Rasulullah n, atau engkau mendapatkannya dalam Kitabullah –k–? Beliau (Ibnu ‘Abbas –red) menjawab: Aku tidak mengatakan semua itu. Kalian lebih tahu tentang Rasulullah n daripada aku. Akan tetapi Usamah telah memberitakan kepadaku bahwa Rasulullah n bersabda:
لاَ رِباً إِلاَّ فِي النَّسِيْئَةِ
“Tidak ada riba kecuali (riba) an-nasi`ah.” (HR. Al-Bukhari no. 2178 dan Muslim no. 1596)
3. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan di dalam Manaqib Asy-Syafi’i (86-87): Al-Imam Ahmad pernah bertanya kepada Al-Imam As-Syafi’i rahimahumallah: “Apa pendapatmu tentang masalah yang demikian dan demikian?” Lalu Al-Imam Asy-Syafi’i menjawab masalahnya. Al-Imam Ahmad berkata: “Dari mana engkau mengatakan itu? Apakah terdapat padanya sebuah hadits atau ayat Al Qur`an?” Al-Imam Asy-Syafi’i menjawab: “Ya.” Lantas beliau mengutarakan sebuah hadits Nabi n mengenai masalah tersebut.” (Zajrul Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim hal. 69)
Demikianlah tuntunan dari pendahulu kita yang baik. Namun sangat disayangkan kini banyak kalangan mentolerir suatu pendapat karena semata-mata yang mengucapkannya adalah seorang ulama atau kyai. Mereka tidak bersikap ilmiah dengan mau melihat dalilnya. Terlebih lagi mau berpikir tentang akurasi dalil dan pendalilannya. Inilah realita pahit dan memilukan dalam kehidupan beragama kebanyakan kaum muslimin belakangan ini. Bahkan penyakit ini berkembang pula di tengah para santri kebanyakan pondok pesantren di dalam dan luar negeri. Tak kalah serunya tatkala hal serupa ikut merebak di level para da’i yang sedang bergelut di kancah dakwah kecuali segelintir orang yang dirahmati oleh Allah k. Wallahul musta’an.
Semoga pembahasan ini mengingatkan kita untuk kembali intropeksi diri dengan satu pertanyaan: Dari golongan manakah kita dalam memegang pendapat? Mudah-mudahan Allah k menjadikan kita selalu berada di belakang dalil dalam beragama dan tidak dininabobokan oleh nama besar sosok-sosok tertentu.
Penutup
Seluruh pembahasan di atas berlaku secara umum pada segala permasalahan agama baik ushul (prinsip) maupun furu’ (cabang) tanpa perbedaan. Karena masing-masing bagian memiliki kekokohan hubungan yang sama erat dengan norma-norma syari’at. (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594 dan Fathul Qadir karya Al-Imam Asy-Syaukani, 1/370)
Adapun perselisihan yang dimaksud dalam pembahasan di atas yaitu perselisihan yang mengandung kontradiksi antara dua pendapat atau lebih dan tidak bisa kompromikan. Yang bisa dikompromikan dengan metode-metode yang dikenal di kalangan para ulama tidak termasuk dalam cakupannya, karena tidak masuk dalam kategori perselisihan dengan makna yang sesungguhnya. Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tadhadh. Di sana terdapat perselisihan yang berangkat dari keragaman dalil. Ini pada hakekatnya tidak dapat dikatakan sebagai perselisihan. Lebih tepat untuk dikatakan sebagai keragaman aturan syariat Islam dalam masalah tersebut. Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tanawwu’.
Dari Ibnu Mas’ud z, beliau berkata:
سَمِعْتُ رَجَلاً قَرَأَ آيَةً سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ خِلاَفَهاَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ، فَعَرَفْتُ فِيْ وَجْهِهِ الْكَرَاهَةَ، وَقاَلَ: كِلاَكُماَ مُحْسِنٌ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَإِنَّ مَنْ كاَنَ قَبْلَكُم اخْتَلَفُوْا فَهَلَكُوْا
“Aku mendengar seseorang membaca satu ayat, padahal aku mendengar Rasulullah n membaca berbeda dengan bacaannya. Maka aku memegang tangannya dan membawanya menemui Rasulullah , lalu aku laporkan perkara itu kepada beliau. Aku melihat rasa tidak suka pada wajah beliau dan beliau bersabda: Kalian berdua telah benar dan janganlah berselisih, karena orang-orang sebelum kalian berselisih sehingga mereka binasa.” (HR. Al-Bukhari no. 2410)
Demikianlah yang dapat kami tuliskan di sini. semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Yang benar datangnya dari Allah k, sedangkan yang salah datangnya dari kami dan setan. Karenanya kami mohon ampun kepada Allah k.Wallahu a’lam.
Sumber bacaan:
- Al Qur`an
- Tafsir Ibnu Katsir
- Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah karya Muhammad Al-Mushili
- Al-I’tisham karya Asy-Syathibi t tahqiq Salim Al-Hilali
- Shifat Shalat Nabi karya Asy-Syaikh Al-Albani
- Zajrul Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim Al-Utsman
- Tahdzib Al-Muwafaqat karya Muhammad bin Husain Al-Jizani
Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh.
Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu).
Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan ilmu.
Kamis, 14 Januari 2010
Jalan Kebenaran Hanya Satu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar