Kuliah Umum Syar'iyyah 5 KIAT-KIAT DALAM MENJAGA HATI

Bersama : Ustadz Abdul Mu'thi Al-Maidany
Insya Allah Sabtu, 17 Rajab 1435 H / 17 Mei 2014 M

SEMUA TENTANG UKHUWAH

Bersama Ustadz Abdul Mu’thi Al-Maidany Ahad, 18 Rajab 1435 / 18 Mei 2014

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنِي إِلَى رَمَضَانَ ، وَسَلِّمْ لِي رَمَضَانَ ، وَتُسلمهُ مِنِّي مُتَقَبَّلاً

Ya Allah, selamatkanlah aku agar bisa berjumpa dengan Ramadhan, selamatkanlah aku agar berhasil menjalani Ramadhan, dan terimalah amalku


Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh.
Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu).
Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan ilmu.

Selasa, 30 Juni 2009

Dawnload Daurah Salafiyah 2009

Riba, Bahaya dan Bentuknya oleh Al-Ustadz Dzulqarnain

Riba, Bahaya dan Bentuknya1
Riba, Bahaya dan Bentuknya2
Riba, Bahaya dan Bentuknya3

Fiqh Khilaf oleh Ustadz Nashr

Fiqh Khilaf

Fiqh Amar Ma'ruf oleh Ustadz Azhari Asri

Fiqh Amar Ma'ruf

Fiqh Ruqyah oleh Ustadz Fadhli

Fiqh Ruqyah1
Fiqh Ruqyah2

Senin, 29 Juni 2009

Jangan kau Duakan Ibadahmu

Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi

Kesyirikan tidak hanya terjadi pada jaman jahiliyyah saat Rasulullah belum diutus. Kesyirikan juga merebak di masa kini meski dikemas dengan bungkus baru. Kehati-hatian agar tidak terjatuh pada perbuatan syirik sangatlah penting karena Allah menyebut perbuatan ini sebagai dosa besar yang paling besar dan tidak akan memberi ampunan pada pelakunya kecuali ia telah bertaubat.

Dalam beberapa edisi yang telah lalu, telah dibahas permasalahan seputar aqidah, terutama kaitannya dengan pembahasan bagaimana seseorang bisa memperbaiki hubungannya dengan Allah atau yang diistilahkan dengan ibadah. Pada edisi mendatang insya Allah , akan dibahas suatu permasalahan yang sangat besar yang bisa menjadikan peribadatan seseorang menjadi amalan yang sia-sia bahkan bisa menjadi adzab baginya. Itulah lawan dari ibadah yaitu syirik.
Untuk mengawali pembahasan seputar syirik, pada edisi ini akan dipaparkan sejarah kemunculan syirik yang terjadi pada umat manusia. Sementara bagaimana hakikat kesyirikan itu sendiri, jenis-jenisnya, serta pengaruhnya dalam kehidupan sebagai individu, masyarakat, dan bernegara, akan dibahas pada edisi mendatang, insya Allah . Selain itu, kajian mendatang juga akan membongkar praktek syirik yang berkembang di masyarakat.

Awal Terjadinya Kesyirikan
Allah menciptakan jin dan manusia dengan suatu tujuan, yang dengannya Allah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam mewujudkan tujuan tersebut. Dalam Al Qur’an, Allah menyebut tujuan penciptaan jin dan manusia:

“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menginginkan dari mereka sedikitpun dari rizki. Dan Aku tidak menginginkan sedikitpun dari mereka untuk memberi-Ku makan. Sesungguhnya Dia, Allah Maha Pemberi rizki, Pemilik kekuatan lagi Sangat Kkokoh.” (Adz-Dzariyat: 56-58)
Sesungguhnya, tugas yang diemban jin dan manusia sangatlah ringan bila dibandingkan dengan segala jenis kenikmatan yang telah Allah limpahkan. Akan tetapi untuk mewujudkan perkara yang ringan ini, butuh pengorbanan dan perjuangan yang sangat besar, karena rintangan dan penghalang di jalan ini juga sangatlah besar.
Dengan tugas ini, bukan berarti Allah butuh kepada hamba sehingga sehingga kita diperintah untuk sujud dan ruku’ di hadapan-Nya. Akan tetapi sebagai perwujudan semata-mata kebutuhan kita kepada Allah . Karena kita sadar bahwa setiap saat, tidak ada satu makhluk pun yang tidak butuh kepada-Nya. Oleh karena itu Allah menetapkan bahwa di sana ada tali penghubung antara diri hamba-Nya dengan Allah . Itulah ibadah.
Amanah ibadah ini diakui oleh semua orang, namun dalam prakteknya sangat terkait dengan fitrah yang diberikan Allah kepada tiap manusia. Artinya, apabila fitrahnya belum disentuh oleh penyimpangan dan segala bentuk noda yang mengotori tentu akan menyambut tugas tersebut sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah . Sebaliknya, bila fitrah itu rusak maka perwujudan ibadah akan bisa diarahkan kepada selain Pemiliknya. Allah menjelaskan keberadaan fitrah ini dalam firman-Nya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (Ar-Rum: 30)

Rasulullah bersabda:
“Setiap anak dilahirkan di atas kesucian, kedua orangtuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1278 dan Muslim no. 2658 dari hadits Abu Hurairah z)

Ayat dan hadits di atas, secara gamblang menjelaskan bahwa asal kehidupan seseorang di muka bumi ini adalah kesucian fitrah yaitu Islam. Ini sebagai bantahan untuk kelompok Mu’tazilah yang mengatakan bahwa asal kehidupan manusia adalah kufur.
Di atas kemurnian fitrah inilah, Allah menurunkan kemurnian agama-Nya yang meliputi ajaran dan aturan, perintah dan larangan, keterangan tentang tauhid dan syirik, sunnah dan bid’ah. Dan di atas kesucian fitrah ini pula, setiap orang akan menyambut seruan syariat tersebut.
Adapun orang yang telah ternodai fitrahnya, ia akan mengelak dengan berbagai cara untuk bisa keluar dari larangan, ancaman, dan perintah sehingga bebas merdeka tanpa ada aturan yang mengikat. Berjalan sesuai kehendak sendiri, melaksanakan apa yang diinginkan dengan tidak mengindahkan aturan-aturan yang ada.
Siapakah yang menjadi dalang kerusakan ini? Kapankah kerusakan itu mulai terjadi? Kerusakan apakah yang terbesar menimpa fitrah seseorang?
Dalang kerusakan fitrah manusia itu adalah iblis dan bala tentaranya dari kalangan jin dan manusia. Allah menerangkan dalam firman-Nya:
“Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu manusia.” (Al-An’am: 112)

“Demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh dari orang-orang yang berdosa.” (Al-Furqan: 31)

Kesyirikan di Masa Nabi Nuh
Usaha iblis dan tentaranya untuk merusak fitrah manusia dimulai ketika dia dijauhkan dari rahmat Allah menjadi terkutuk dan terlaknat, serta divonis menjadi calon penghuni neraka. Keberhasilan yang “gemilang” adalah pada kurun kesepuluh masa Nabi Nuh . Dengan kata lain, terjadinya penyimpangan fitrah besar-besaran adalah pada generasi Nabi Nuh .
Ibnu ‘Abbas c berkata ketika menafsirkan firman Allah :
“Dan mereka berkata, jangan sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian meninggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (Nuh: 23)

“Berhala-berhala yang dulu disembah oleh kaum Nabi Nuh telah menjadi (sesembahan) di negeri Arab setelahnya. Wadd adalah (sesembahan) Bani Kalb di Daumatul Jandal. Suwa’ adalah (sesembahan) Bani Hudzail, Yaghuts adalah sesembahan Bani Murad dan Bani Guthaif di Jauf (negeri Saba’). Ya’uq (sesembahan) Bani Hamdan, dan Nasr (sesembahan) Bani Himyar pada keluarga Dzil Kala’. Mereka adalah nama orang-orang shalih pada kaum Nabi Nuh . Ketika mereka meninggal, setan membisikkan kepada orang-orang agar membuat berhala/ gambar di majelis-majelis mereka dan setan memerintahkan: ‘Namakanlah dengan nama-nama mereka (orang-orang shalih tersebut).’
Mereka melakukannya dan (pada waktu itu berhala tersebut) belum disembah hingga mereka (para pembuat berhala) binasa dan ilmu terlupakan (dihapus), maka berhala itu menjadi sesembahan.” (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 4599)
Inilah kerusakan yang paling besar dan pertama kali menimpa fitrah manusia di masa Nabi Nuh . Yaitu kerusakan i’tiqad (keyakinan) yang berwujud kesyirikan kepada Allah. Kerusakan ini pula yang menimpa umat Rasulullah sampai hari kiamat. Pada akhirnya, di atas kerusakan ini mereka mendapat kehinaan dan penghinaan, kerendahan dan perendahan, malapetaka demi malapetaka, kehancuran, kerusakan, kemunduran, dsb. Sunnatullah ini telah menimpa umat Rasulullah sehingga harus terwarnai hidup mereka dengan kesyirikan di dunia. Bahkan apa yang mereka lakukan telah mencapai puncaknya di mana menjadikan kesyirikan sebagai wujud ketauhidan kepada Allah dan kecintaan kepada wali-wali Allah .
Tentang kebenaran sunnatullah ini, dijelaskan Rasulullah di dalam haditsnya:

“Kalian benar-benar akan mengikuti langkah umat-umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Kalaupun seandainya mereka masuk ke lubang binatang dhab (semacam biawak), niscaya kalian akan memasukinya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3456, Muslim no. 2669 dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)

Kesyirikan Sebelum Diutusnya Rasulullah
Sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, umat ini akan terus mengikuti langkah umat sebelumnya. Tentunya juga tidak terlepas dari mengikuti mereka dalam peribadatan kepada selain Allah . Hal yang demikian ini akan terjadi sampai hari kiamat. Rasulullah bersabda:

“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai kabilah-kabilah dari umatku mengikuti orang-orang musyrik.” (HR. Abu Dawud no. 4252, Ibnu Majah no.3952 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 3/801 no. 3577 dan dalam Shahih Ibnu Majah, 2/352 no. 3192 dari shahabat Tsauban)
Sebelum Rasulullah diutus, bangsa Arab terbagi menjadi dua. Satu kelompok mengikuti agama-agama terdahulu seperti agama Yahudi, Nasrani, dan Majusi sedangkan satu kelompok lagi mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus, terlebih di negeri Hijaz, Makkah Al-Mukarramah. Sampai pada akhirnya muncul seseorang yang bernama ‘Amr bin Luhai Al-Khuza’i, seorang raja di negeri Hijaz. Dia dikenal sebagai ahli ibadah, shalih, dsb.
Suatu waktu, ia pergi ke negeri Syam untuk berobat. ‘Amr bin Luhai melihat penduduk negeri Syam menyembah berhala dan dia menganggap baik perbuatan tersebut. Pulang dari Syam, ‘Amr bin Luhai membawa patung yang digali dari peninggalan kaum Nuh . Lalu dia membagikannya kepada kabilah Arab dan memerintahkan untuk menyembahnya. Orang-orang pun menyambut dan menerima seruan tersebut hingga menjadikan kesyirikan masuk ke negeri Hijaz dan negeri lainnya.

Rasululllah bersabda tentang ‘Amr bin Luhai Al-Khuza’i:

“Aku menyaksikan ‘Amr bin Luhai Al-Khuza’i menarik isi perutnya di dalam neraka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3521 dan Muslim no. 2856 dari shahabat Abu Hurairah z , lihat Syarah Masail Al-Jahiliyyah karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan dan Mukhtashar Sirah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab, hal. 12)

Islam dan Syirik
Syirik merupakan satu praktek ibadah kepada selain Allah . Dengan kata lain, menjadikan tandingan bagi Allah dalam segala wujud peribadatan. Atau memalingkan peribadatan yang semestinya diberikan kepada Allah kepada selain-Nya. Ini merupakan wujud kedzaliman dan kegelapan karena memberikan hak peribadatan kepada selain Allah .
Allah berfirman:

“Sesungguhnya kesyirikan adalah kedzaliman yang besar.” (Luqman: 13)

Islam adalah agama rahmat, agama keselamatan dan agama yang terang benderang, malamnya seperti siangnya. Diturunkan Allah sebagai agama nikmat yang telah diridhainya.

“Pada hari ini aku sempurnakan agama kalian dan aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)

“Agama yang benar di sisi Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

“Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima oleh Allah dan dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 84)
Islam sangat menentang segala bentuk kesyirikan, memerangi segala bentuk kedzaliman, dan menyinari kegelapan hidup dengan lentera wahyu Al Qur’an dan As Sunnah. Kesyirikan bukan dari Islam sedikitpun sehingga (tidak pantas) dihidupkan. Kesyirikan bukan lambang tauhid yang harus diperjuangkan. Kesyirikan adalah agama iblis dan tentara-tentaranya. Kesyirikan adalah kesesatan, kehinaan, kerendahan, kegelapan, kedzaliman, kegagalan dan kehancuran dunia akhirat.
Wallahu a’lam.

Akankah Amalku Di Terima ?

Ustadz Abdurrahman Lombok

Beramal shalih memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru membuat Allah murka karena tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.

Dalam mengarungi lautan hidup ini, banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah yang berlaku pada hidup setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun banyak yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam kubang kegagalan di dunia dan akhirat.

Kerikil dan duri-duri hidup memang telalu banyak. Maka, untuk menyingkirkannya membutuhkan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut kalau seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah Subhanahuwata'ala. Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?

Sebelum semua itu terjadi, kini kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah Subhanahuwata'ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah berfirman:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan orang-orang yang saling menasehati dalam kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ’Ashr: 1-3)

Sumpah Allah Subhanahuwata'ala dengan masa menunjukkan bahwa waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shaleh. Dan dengan waktu pula seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang di murkai Allah Subhanahuwata'ala. Empat perkara yang disebutkan oleh Allah Subhanahuwata'ala di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.

Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui oleh setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya Al Ushulu Ats Tsalasah dan Ibnu Qoyyim dalam Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dari hawa nafsu dan melawannya ketika kita dipaksa terjerumus ke dalam kesesatan.

Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan

Mengucapkan “Saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya sekedar itu kemudian orang telah sempurna imannya. Ketika memproklamirkan dirinya beriman, maka seseorang memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima, yaitu kesiapan untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai atau tidak disukai.

Konsekuensi iman ini pun banyak macamnya. Kesiapan menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas ridha Allah termasuk konsekuensi iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah juga konsekuensi iman. Demikian juga dengan memperbudak diri di hadapan Allah dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan.

Mengamalkan seluruh syariat Allah juga merupakan konsekuensi iman. Menerima apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam tentang perkara-perkara gaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau merupakan konsekuensi iman. Meninggalkan segala apa yang dilarang Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam juga merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanakan syari’at Allah, mencintai dan membela mereka, merupakan konsekuensi iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al Ankabut: 1-3)

Imam As Sa’dy dalam tafsir ayat ini mengatakan: ”Allah telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahwa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya keimanan, tidak dibiarkan berada dalam satu keadaan saja, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Karena kalau seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya), niscaya tidak bisa dibedakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang berpura-pura, serta tidak akan bisa dibedakan antara yang benar dan yang salah.”

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka” (HR. Imam Tirmidzi dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘Anhuma dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no.992 dan 993)

Ringkasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Yaitu, mengucapkan dengan lisan serta beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan, yaitu amal.

Amal
Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan hal yang demikian itu di dalam Al Qur’an:
“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali Imran:133)

Imam As Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju surga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata'ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang pantas menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada surga.”

Jelas melalui ayat ini, Allah Subhanahuwata'ala menyeru hamba-hamba-Nya untuk bersegera menuju amal kebajikan dan mendapatkan kedekatan di sisi Allah, serta bersegera pula berusaha untuk mendapatkan surga-Nya. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/169

Allah berfirman:
“Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan” (Al Baqarah: 148)

Dalam tafsirnya halaman 55, Imam As Sa’dy mengatakan: “Perintah berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan, karena berlomba-lomba mencakup mengerjakan perintah tersebut dengan sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Barang siapa yang berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”

Dalam ayat ini, Allah dengan jelas memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Bersegeralah kalian menuju amal shaleh karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan Tirmidzi)

Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya kewajiban berpegang dengan agama Allah dan bersegera untuk beramal shaleh sebelum datang hal-hal yang akan menghalangi darinya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir dari satu fitnah muncul lagi fitnah yang lain. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/170
Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia, maka Allah Subhanahuwata'ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shaleh. Allah berfirman di dalam Al Quran:

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al Baqarah:153)

Lalu, kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran apakah amal kita pasti diterima?

Syarat Diterima Amal
Amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini telah disebutkan Allah Subhanahuwata'ala sendiri di dalam kitab-Nya dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:
Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah Subhanahuwata'ala.
Allah Subhanahuwata'ala berfirman;
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim)

Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahuwata'ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala.

Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Beliau bersabda:
“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata'ala. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahuwata'ala dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah r ) dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.
Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahuwata'ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.
Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.
Masalah berikutnya, juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah Subhanahuwata'ala berfirman:
“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)

Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah Subhanahuwata'ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396
Allah Subhanahuwata'ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam, sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri.
Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha illallah – Muhammadarrasulullah.
Wallahu a’lam.

Jumat, 26 Juni 2009

Sifat Penghuni Surga

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِيْنَ غَيْرَ بَعِيْدٍ. هَذَا مَا تُوْعَدُوْنَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيْظٍ. مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيْبٍ. ادْخُلُوْهَا بِسَلاَمٍ ذَلِكَ يَوْمُ الْخُلُوْدِ. لَهُمْ مَا يَشَاءُوْنَ فِيْهَا وَلَدَيْنَا مَزِيْدٌ

“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Dzat Yang Maha Pemurah padahal Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat, masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.” (Qaf: 31-35)
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan bahwa Ia mendekatkan Al-Jannah kepada orang-orang yang bertakwa, dan bahwa para penghuninya adalah yang memiliki empat sifat berikut ini:

Pertama, Awwab, yakni selalu kembali/bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari mendurhakai-Nya kepada menaati-Nya dan dari lalai mengingat-Nya menuju ingat kepada-Nya.
‘Ubaid bin ‘Umair mengatakan: “Al-Awwab adalah yang mengingat dosanya lalu beristighfar darinya.”
Sa’id bin Al-Musayyib mengatakan: “Al-Awwab adalah orang yang berdosa lantas bertaubat kemudian jatuh dalam dosa lagi lalu bertaubat lagi.”

Kedua, Hafizh, (menjaga)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan: “Yakni menjaga apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala amanahkan kepadanya dan Dia wajibkan atasnya.”
Qatadah mengatakan: “Menjaga apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala titipkan kepadanya berupa hak-Nya dan kenikmatan.”
Dan ketika jiwa itu punya dua kekuatan; kekuatan untuk menuntut (ofensif) dan kekuatan untuk menahan diri (defensif), maka sifat awwab menggunakan kekuatan ofensifnya dalam usaha kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, kepada ridha-Nya dan ketaatan kepada-Nya. Sedang hafiizh menggunakan kekuatan pertahanannya untuk menahan diri dari maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dari larangan-larangan-Nya. Sehingga arti hafizh adalah yang menahan diri dari apa yang diharamkan atasnya. Sedangkan awwab adalah yang menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan melakukan ketaatan kepada-Nya.

Ketiga, ‘orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala padahal ia tidak melihat-Nya.’
Tersirat di dalamnya bahwa orang tersebut mengakui dan mengimani adanya Allah Subhanahu wa Ta'ala, sifat rububiyyah-Nya, kemampuan-Nya, ilmu-Nya, dan penglihatan-Nya terhadap segala keadaan hamba. Dan tersirat pula padanya pengakuan dan iman terhadap kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, perintah dan larangan-Nya. Juga tersirat padanya pengakuan dan iman terhadap janji-Nya, ancaman-Nya serta pertemuan dengan-Nya. Sehingga tidak sah takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala padahal ia tidak melihatnya kecuali setelah ini semua.

Keempat, ‘ia datang dengan kalbu yang bertaubat.’
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan: “Bertaubat dari maksiat-maksiat kepada-Nya menghadap untuk taat kepada-Nya.”
Hakikat taubat adalah ketetapan kalbu untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan cinta kepada-Nya serta menghadap kepada-Nya.
Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan balasan terhadap orang-orang yang memiliki sifat ini dengan firman-Nya:

ادْخُلُوْهَا بِسَلاَمٍ ذَلِكَ يَوْمُ الْخُلُوْدِ. لَهُمْ مَا يَشَاءُوْنَ فِيْهَا وَلَدَيْنَا مَزِيْدٌ

“Masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.”

Kamis, 25 Juni 2009

Tayammum

Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

Penjelasan tentang wudhu dan perkara-perkara yang bersangkutan dengannya telah kita ketahui dan telah lewat pembahasannya. Permasalahan berikutnya adalah masalah tayammum dan beberapa perkara yang berhubungan dengannya. Adapun syariat tayammum ini Allah k yang Maha Sempurna kasih sayang-Nya pada hamba-hamba-Nya berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:


وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيْدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ


“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/ debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian. Allah tidak menginginkan untuk menjadikan keberatan atas kalian di dalam menjalankan syariat Agama ini, akan tetapi Allah ingin mensucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (Al-Maidah: 6)

Tayammum Khusus bagi
Umat Muhammad n
Syariat tayammum merupakan kekhususan bagi umat Muhammad n, di mana syariat ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya sebagaimana dinyatakan Rasulullah n dalam sabda beliau:


أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا


“Diberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku; (pertama) aku ditolong dengan ditanamkannya rasa takut pada musuh-musuhku terhadapku walaupun jarak (aku dan mereka) masih sebulan perjalanan, (kedua) bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat mengerjakan shalat), dan sebagai sarana bersuci….” (HR. Al-Bukhari no. 335, 438 dan Muslim no. 521)
Al-Imam An-Nawawi t menerangkan bahwasanya tayammum merupakan rukhshah (keringanan) dan keutamaan yang Allah k berikan secara khusus kepada umat ini yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. (Al-Majmu’ 2/239)

Pengertian Tayammum
Tayammum secara bahasa diinginkan dengan makna “bermaksud” dan “bersengaja”. Sedangkan makna tayammum apabila ditinjau menurut syariat adalah “bersengaja menggunakan tanah/ debu untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan disertai niat”, sehingga dengan perbuatan/amalan ini pelakunya diperkenankan mengerjakan shalat dan ibadah yang semisalnya. (Fathul Bari, 1/539)

Tata Cara Tayammum
‘Ammar bin Yasir c berkata: “Nabi n mengutusku untuk suatu kepentingan. Lalu di tengah perjalanan aku junub sedangkan aku tidak mendapatkan air untuk bersuci. Maka aku pun berguling-guling di tanah sebagaimana hewan berguling-guling. Kemudian aku mendatangi Nabi n dan kuceritakan hal tersebut kepada beliau, beliau pun bersabda:


إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ


“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya1, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa setelah Rasulullah n memukulkan kedua telapak tangan beliau ke bumi:


وَ نَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ


“Beliau meniupnya, kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)
Dari hadits Ammar c di atas dapat kita simpulkan bahwa tata cara tayammum itu adalah:
1. Memukulkan dua telapak tangan ke tanah/ debu dengan sekali pukulan
2. Meniup atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada dua telapak tangan tersebut
3. Mengusap wajah terlebih dahulu, lalu mengusap kedua telapak tangan, bagian dalam maupun luarnya. Ataupun mengusap telapak tangan dahulu baru setelahnya mengusap wajah.

Berniat
Setiap perbuatan baik (yang mubah) dapat bernilai ibadah apabila disertai niat, demikian pula setiap amalan yang disyariatkan dalam agama ini tentunya harus disertai niat karena Rasulullah n bersabda:


إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ


“Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Dan niat tempatnya di dalam hati tidak dilafadzkan.
Dalam masalah tayammum, niat merupakan syarat, hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. (Bidayatul Mujtahid, hal. 60)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Niat dalam tayammum adalah wajib menurut kami tanpa adanya perselisihan.” (Al Majmu’, 2/254)
Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata: “Tidak diketahui adanya perselisihan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak sahnya tayammum kecuali dengan niat. Seluruh ahli ilmu berpendapat wajibnya niat dalam tayammum terkecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Auza’i2 dan Al-Hasan bin Shalih yang keduanya berpendapat bahwa tayammum itu sah adanya tanpa niat.” (Al-Mughni, 1/158)

Memukulkan Dua Telapak Tangan ke Tanah/Debu dengan Sekali Pukulan
Ulama berbeda pendapat dalam masalah cukup tidaknya bertayammum dengan sekali pukulan ke permukaan bumi. Di antara mereka ada yang berpendapat cukup sekali, tidak lebih, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ammar di atas. Demikian pendapat Al-Imam Ahmad, ‘Atha`, Makhul, Al-Auza’i, Ishaq, Ibnul Mundzir dan mayoritas ahlul hadits. Demikian juga pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli ‘ilmi. (Tharhut Tatsrib 1/269-270, Adhwa`ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-2). Dan ini merupakan pendapat yang rajih menurut penulis, wallahu a’lam.
Hal ini menyelisihi pendapat yang mengatakan dua kali pukulan ke tanah seperti pendapat kebanyakan fuqaha dengan bersandar hadits Ibnu ‘Umar c dari Rasulullah n:


التَّيَمُمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ


“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.” (HR. Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 1/180,181, 183)
Namun para imam menghukumi hadits ini mauquf terhadap Ibnu ‘Umar c. Demikian pernyataan Ibnul Qaththan, Husyaim, Ad-Daraquthni, dan yang lainnya. Juga dalam sanad hadits ini ada ‘Ali bin Dhabyan, seorang perawi yang lemah, dilemahkan oleh Ibnul Qaththan, Ibnu Ma’in, dan selainnya (At-Talkhis 1/237, Adhwa` ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3). Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam At-Taqrib (hal. 341): “Dha’if.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Hadits-hadits menyebutkan tentang sifat/ tata cara tayammum tidak ada yang shahih kecuali hadits Abul Juhaim ibnul Harits Al-Anshari3 dan hadits ‘Ammar. Adapun selain keduanya maka haditsnya dha’if atau diperselisihkan marfu’ dan mauqufnya, namun yang rajih tidak ada yang marfu’.” (Fathul Bari, 1/554). Beliau memaparkan keterangan tentang dhaif dan mauqufnya jalan-jalan sanad hadits dalam At-Talkhis 1/236-240 no.206-208.
Al-Imam Ash-Shan‘ani t berkata: “Ada beberapa riwayat yang semakna dengan hadits ini namun semuanya tidak shahih. Riwayat yang ada hanya mauquf atau dha’if (lemah).” (Subulus Salam, 1/149)
Dalam hadits Abul Juhaim dan hadits ‘Ammar tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa tayammum itu dengan dua kali pukulan ke bumi. Bahkan dalam hadits ‘Ammar ditunjukkan bahwa pukulan ke bumi itu hanya sekali. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-2)
Selain itu, ada pula yang berpendapat tayammum dilakukan dengan tiga kali pukulan seperti pendapat Ibnul Musayyab, Az-Zuhri dan Ibnu Sirin, dengan perincian: sekali untuk wajah, sekali untuk kedua telapak tangan dan sekali untuk kedua lengan. Namun sebagaimana penjelasan di atas, pendapat seperti ini marjuh (lemah). Kata Al-Imam Asy-Syaukani t: “Aku tidak mendapatkan dalil dari pendapat ini.” (Nailul Authar, 1/368)

Meniup atau Mengibaskan Debu dari Dua Telapak Tangan
Dibolehkan meniup tanah atau debu yang menempel pada dua telapak tangan yang telah dipukulkan ke permukaan bumi atau mengibaskannya bila memang diperlukan, berdasarkan hadits dalam Ash-Shahihain yang telah lewat penyebutannya.
Al-Imam An-Nawawi t menyatakan yang dimaukan dengan mengibaskannya di sini adalah meringankan debu yang banyak menempel pada telapak tangan. Juga hal ini disenangi pengamalannya sehingga nantinya hanya tersisa debu yang sekedarnya untuk diusapkan merata ke anggota tubuh (tangan dan wajah, pent). (Syarah Shahih Muslim, 4/62)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t setelah membawakan hadits tentang meniup ini, beliau berkata: “(Dari hadits yang menyebutkan) Nabi n meniup tanah/debu sebelum diusapkan ke anggota tayammum, diambil dalil tentang sunnahnya meringankan tanah/debu (yang akan diusapkan ke wajah dan tangan).” (Fathul Bari, 1/554)
Kata Ibnu Qudamah t: “Apabila pada kedua tangan seseorang yang sedang tayammum itu tanah/debu yang banyak menempel maka tidak masalah baginya untuk meniup tanah/debu tersebut karena dalam hadits ‘Ammar c disebutkan bahwa setelah Nabi n memukulkan kedua telapak tangannya ke bumi, beliau meniupnya. Al-Imam Ahmad t menyatakan: “Tidak masalah baginya melakukan hal tersebut ataupun tidak.” (Al-Mughni, 1/155)

Mengusap Wajah Terlebih Dahulu Kemudian Mengusap Dua Telapak Tangan
Al-Imam Asy-Syafi’i t dan pengikut-pengikut beliau berpandangan mendahulukan mengusap wajah daripada tangan adalah rukun dari rukun-rukun tayammum. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4).
Al-’Allamah Asy-Syinqithi t berkata: “Al-Imam An-Nawawi t menghikayatkan kesepakatan pengikut madzhab Asy-Syafi’iyyah dalam masalah ini. Sekelompok ulama yang lain di antaranya Al-Imam Malik t dan mayoritas pengikut beliau berpandangan mendahulukan wajah daripada kedua tangan hukumnya sunnah.”
Sementara Al-Imam Ahmad t dan yang sependapat dengannya berpandangan mengusap tangan didahulukan (daripada mengusap wajah). (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Mayoritas ulama mendahulukan mengusap wajah sebelum tangan, tapi mereka berselisih apakah hal itu wajib atau sunnah saja hukumnya.” (Fathul Bari, 1/440)
Namun yang kuat dalam permasalahan ini dalam pandangan penulis, wallahu a’lam, sunnahnya dan lebih utamanya mendahulukan wajah daripada pengusapan tangan, karena adanya dua alasan berikut ini:
Pertama: Riwayat mendahulukan wajah atas kedua tangan lebih kuat dari riwayat yang sebaliknya (mendahulukan tangan). Sampai-sampai Al-Imam Ahmad t berkata bahwa riwayat Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy tentang mendahulukan tangan adalah salah (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/90).
Kedua: Mendahulukan wajah merupakan dzahir Al Qur`an karena Allah k berfirman:


فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ


“Maka usaplah wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” (Al-Maidah: 6)
Dalam ayat di atas, Allah k mendahulukan wajah dari tangan sementara kita tahu bahwa Rasulullah n telah bersabda:


أَبْدَأُ بِمَا بَدَأ َاللهُ بِهِ


“Aku memulai dengan apa yang Allah mulai.” (HR. Muslim no. 1218)
Dalam riwayat An-Nasa`i disebutkan dengan lafadz perintah:


ابْدَؤُوا بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ


“Mulailah kalian dengan apa yang Allah mulai.” (HR. An-Nasa`i no. 2913)
Ketika Rasulullah n menyampaikan hadits di atas beliau kemudian membaca ayat Allah:


إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ


“Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk syiar-syiar Allah.” (Al-Baqarah: 158)
Dalam ayat ini Allah k memulai penyebutan Shafa sebelum Marwah sehingga dalam ibadah sa’i (dalam amalan haji) pelaksanaannya dimulai dari Shafa terlebih dahulu lalu menuju ke Marwah. Hal ini dilakukan dalam rangka mengamalkan hadits Nabi n di atas.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata setelah menyebutkan hadits ‘Ammar c dalam riwayat Al-Bukhari no. 3474: “Dalam hadits ini menunjukkan tidak disyaratkannya berurutan dalam tayammum.” (Fathul Bari, 1/569)
Dengan adanya dua riwayat yang menyatakan pengusapan wajah terlebih dahulu baru tangan5 -dan ini sesuai dengan penyebutan ayat tayammum- dengan penyebutan tangan terlebih dahulu baru wajah yang keduanya berada dalam Ash-Shahihain, maka dengan demikian menunjukkan bolehnya mendahulukan wajah dan boleh pula mendahulukan telapak tangan (Al-Muhalla, 1/379). Namun yang sunnah dan utama mendahulukan pengusapan wajah dengan alasan yang telah disebutkan, wallahu a’lam.

Batasan Tangan yang Harus Diusap
Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Namun pendapat yang rajih menurut penulis adalah yang diusap hanya dua telapak tangan (luar maupun dalam), sebagaimana pendapat Al-Imam Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah dan dinukilkan pula pendapat ini dari Malik. Al-Imam Al-Khaththabi menukilkan pendapat demikian dari ashhabul hadits dan Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat seperti ini dalam Al-Qadim (pendapat yang lama). Al-Imam At-Tirmidzi menukilkan pendapat ini dari sekumpulan shahabat di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir dan Ibnu ‘Abbas serta sekumpulan tabi’in seperti Asy-Sya’bi, ‘Atha` dan Makhul. (Sunan At-Tirmidzi, 1/97)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa batasan tangan yang diusap harus sampai ke siku6. Mereka berdalil antara lain dengan hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi7, dan pembicaraan tentang hukum hadits ini sudah kita singgung pada permasalahan memukulkan dua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan di mana haditsnya dha’if atau mauquf.
Ibnul Qayyim t berkata: “Nabi n bertayammum dengan satu kali pukulan untuk wajah dan kedua telapak tangan, dan tidak ada hadits yang shahih dari beliau bahwasanya beliau tayammum dengan dua kali pukulan dan tidak pula mengusap tangan sampai ke siku. Al-Imam Ahmad t menyatakan: ‘Siapa yang berpendapat tayammum itu sampai ke siku maka hal itu adalah sesuatu yang dia tambahkan sendiri dari dirinya’.” (Zadul Ma’ad, 1/50)
Ada pula yang berpendapat pengusapan dilakukan sampai ke pundak dan ketiak sebagaimana diriwayatkan hal ini dari Az-Zuhri dan Muhammad bin Maslamah. Namun dalil yang mereka jadikan sandaran goncang sekali (mudhtharib) seperti keterangan Abu Dawud dalam Sunan-nya (setelah membawakan hadits no. 273). Ibnu Hazm membicarakan hadits ini di dalam Al-Muhalla (1/373-374), kemudian beliau berkata: “Yang wajib bagi kita adalah kembali kepada Al Qur`an dan As Sunnah, sebagaimana Allah perintahkan kepada kita untuk kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan. Sehingga kalau kita mau melakukannya kita akan mendapatkan Allah k berfirman: “Maka bertayammumlah dengan debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah dari debu itu wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” Dalam ayat ini Allah k tidak memberikan batasan kecuali sekadar menyatakan (mengusap) tangan. Demikian juga kita yakin apabila Allah k menginginkan pengusapan itu sampai ke siku, kepala dan kedua kaki, niscaya Allah akan menerangkannya dan menyebutkannya sebagaimana Allah lakukan hal ini ketika menyebutkan tentang wudhu. Bila Allah menginginkan pengusapan tayammum itu mencakup seluruh tubuh, niscaya Allah akan menerangkannya sebagaimana hal ini dilakukan-Nya ketika menyebut tentang mandi. Apabila Allah k tidak menyebutkan dalam ayatnya kecuali hanya wajah dan kedua tangan maka tidak boleh seorang pun menambah dari apa yang telah Allah k sebutkan, baik itu kedua siku, kepala ataupun kedua kaki dan seluruh tubuh. Sehingga tidak wajib dalam tayammum kecuali hanya mengusap wajah dan kedua tangan.”
Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali t dalam Fathul Bari (2/56) berkata: “Hadits ini sangat mungkar dan terus menerus ahlul ilmi mengingkarinya.”
Guru kami Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i t juga mendha’ifkannya.
Al-Imam Az-Zuhri t sendiri mengingkari hadits yang diriwayatkannya ini, seperti dikatakan Al-Hafidz Ibnu Rajab t: “Hadits ini telah diingkari oleh Az-Zuhri (sebagai salah seorang perawi hadits tersebut), ia berkata: ‘Hadits ini tidak dianggap oleh manusia’. Dan setelah itu Az-Zuhri menahan diri untuk menyampaikan hadits ini, beliaupun berkata: “Hadits ini tidak boleh diamalkan.” (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/57)
Al-Imam Asy-Syafi’i t dan selainnya mengatakan: “Apabila riwayat tentang tata cara tayammum yang demikian (mengusap tangan sampai ketiak) datang dengan perintah Nabi n maka riwayat tersebut terhapus dengan tata cara tayammum yang shahih yang datang belakangan dari Nabi n. Dan jika riwayat itu datang bukan dengan perintah Nabi n maka yang jadi hujjah adalah apa yang beliau perintahkan. Juga yang menguatkan riwayat Ash-Shahihain tentang pembatasan pengusapan hanya pada wajah dan dua telapak tangan adalah keberadaan ‘Ammar bin Yasir c (shahabat yang meriwayatkan hadits tentang tata cara tayammum, pen.) memfatwakan hal tersebut setelah meninggalnya Nabi n. Dan tentunya perawi hadits lebih mengetahui apa yang dimaukan dengan hadits itu daripada selainnya, terlebih lagi beliau adalah seorang mujtahid.” (Fathul Bari 1/55, Subulus Salam 1/150, Adhwa`ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)

Perselisihan tentang Pengusapan Wajah
Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat wajib mengusap seluruh wajah dengan debu dan mengusap rambut bagian luar yang ada di atas wajah, sama saja baik rambut itu wajib terkena air sampai ke bawahnya seperti rambut yang tipis yang menampakkan kulit ataupun tidak.
Sedangkan pendapat kalangan ahlul ilmi yang lain tidak harus mengusap secara keseluruhan. Pendapat demikian adalah pendapat Sulaiman bin Dawud, Yahya bin Yahya An-Naisaburi dan Al-Jauzajani. Hal ini karena mereka berpandangan mengusap wajah dalam tayammum sama dengan mengusap kepala dalam wudhu, di mana mengusap sebagian kepala sudah mencukupi dalam wudhu. (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Rajab, 2/50, Al-Muhalla, 1/368)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata: “Thaharah tayammum ditetapkan oleh Allah k untuk memberikan keringanan dan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini tentunya berbeda dengan thaharah ketika menggunakan air. Maka dalam tayammum tidak wajib menyampaikan debu ke seluruh wajah dan kedua tangan menurut pendapat yang rajih. Bahkan dimaafkan bila ada bagian yang tidak sampai pengusapan padanya dikarenakan harus menempuh kesulitan untuk mengusapnya seperti pangkal rambut. Tidak wajib menyampaikan debu ke pangkalnya walaupun rambut itu tipis. Dengan demikian yang diusap hanyalah yang dzahir (bagian luar permukaan wajah saja, pent.). Adapun dalam wudhu, bila rambut itu tipis maka wajib menyampaikan air ke pangkal rambut tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1/349)
Dan penulis dalam permasalahan ini lebih condong kepada apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t, karena dzahir nash yang datang dari Nabi n mencukupi bagi kita kecuali bila ada dalil yang memalingkannya dari dzahirnya. Sehingga dalam tata cara tayammum cukup seseorang itu mengusapkan ke wajahnya, tanpa harus menyela-nyela jenggotnya dan mengusapkan ke tangannya tanpa harus menyela-nyela jari-jemarinya.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.

1 Ibnu Hajar t berkata: “Demikian seluruh riwayat menyebut dengan keraguan. Tapi dalam riwayat Abu Dawud ada pelurusan melalui jalan Mu’awiyah juga dan lafadznya: Lalu menepuk tangan kanan dengan tangan kirinya dan tangan kiri dengan tangan kanannya pada (bagian) dua telapaknya, lalu mengusap wajahnya. (Fathul Bari 1/456 dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 321)(ed)
2 Tharhut Tatsrib, Al-Imam Al-’Iraqi, 1/268
3 Abul Juhaim z berkata:


أَقْبَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلامَ


“Nabi n datang dari arah sumur Jamal ketika seorang lelaki berpapasan dengan beliau. Lelaki itu pun mengucapkan salam namun Nabi n tidak membalasnya sampai beliau menghadap ke tembok (memukulkan tangannya ke tembok, pen.) lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau, barulah setelah itu beliau menjawab salam tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 337 dan Muslim no. 369)
4 Yaitu sabda Rasulullah n kepada ‘Ammar z:


إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ


“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung kedua telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)
5 Disebutkan dalam riwayat:


وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ


“Beliau meniupnya kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)
6 Seperti pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan pengikut keduanya, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Salamah, dan Al-Laits. Demikian pula pendapat Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakam, Ibnu Nafi’, dan Isma’il Al-Qadhi. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)
7 Dengan lafadz:


التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَ ضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ


“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.”

Selasa, 23 Juni 2009


Penceramah

Klik Judul Kajian di bawah ini
Ust.Muhammad Umar As-SewedPengertian Iman dan Islam
Ust.Muhammad Umar As-SewedTafsir Bismillahirahmanirrahim
Ust.Muhammad Umar As-SewedHukum Shalat Berjama'ah
Ust.Muhammad Umar As-Sewed01a.Pembagian Makna Tauhid
Ust.Muhammad Umar As-Sewed01b.Pembagian Makna Tauhid
Ust.Muhammad Umar As-Seweda.Berpegang Teguh dg Al-Kitab & As-Sunnah
Ust.Muhammad Umar As-Sewedb.Berpegang Teguh dg Al-Kitab & As-Sunnah
Ust.Muhammad Umar As-SewedBerpegang Teguh dgn Al-Kitab&As-Sunnah
Ust.Muhammad Umar As-Sewed01a. Sepuluh Wasiat Allah
Ust.Muhammad Umar As-Sewed01b. Sepuluh Wasiat Allah
Ust.Muhammad Umar As-SewedBerlebih-lebihan terhadap orang Shalih I
Ust.Muhammad Umar As-SewedBerlebih-lebihan terhadap orang Shalih II
Ust. Askari
Ada apa dengan MMI?-1
Ust. Askari
Ada apa dengan MMI?-2
Ust. Askari
Ada apa dengan MMI?-3
Ust. Askari
Ada apa dengan MMI?-4
Ust. Askari
Ada apa dengan MMI?-5
Ust. Askari
Ada apa dengan MMI?-6
Ust. Askari
Ada apa dengan MMI?-7
Ust. Askari
Ada apa dengan MMI?-8
Ust. Askari
Ada apa dengan MMI?-9
Ust. Askari
Ada apa dengan MMI?-10
Ust. Luqman Ba'abduh
Keutamaan Tauhid 1
Ust. Luqman Ba'abduh
Keutamaan Tauhid 2
Ust. Abu Hamzah
Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Ust. Abu Hamzah
Jelasnya Batasan Syariat
Ust. Abu Hamzah
Ketundukan Shahabat terhadap Syariat
Ust. Abu Hamzah
Keutamaan Menuntut ilmu, ahlul-ilmi dan mencarinya
Ust. Abu Hamzah
Wajibnya menjaga kesatuan kaum muslimin
Ust. Abu Hamzah
Beriman Kepada Hari Akhir
Ust. Abu Hamzah
Peringatan Allah dan Rasu-Nya
Ust. Abu Hamzah
Akhlak yang baik bagian dari Agama
Ust. Abu Hamzah
Perbedaan Ahlussunnah dan Ahlulbid'ah dalam Aqidah

Senin, 22 Juni 2009

Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani

1. MENGHADAP KA'BAH

1. Apabila anda - wahai Muslim - ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka'bah (qiblat) dimanapun anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini termasuk diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini.

2. Ketentuan menghadap qiblat ini tidak menjadi keharusan lagi bagi 'seorang yang sedang berperang' pada pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat.

* Dan tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang tidak sanggup seperti orang yang sakit atau orang yang dalam perahu, kendaraan atau pesawat bila ia khawatir luputnya waktu.
* Juga tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang shalat sunnah atau witir sedang ia menunggangi hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan kepadanya - jika hal ini memungkinkan - supaya menghadap ke qiblat pada saat takbiratul ikhram, kemudian setelah itu menghadap ke arah manapun kendaraannya menghadap.

3. Wajib bagi yang melihat Ka'bah untuk menghadap langsung ke porosnya, bagi yang tidak melihatnya maka ia menghadap ke arah Ka'bah.

HUKUM SHALAT TANPA MENGHADAP KA'BAH KARENA KELIRU

4. Apabila shalat tanpa menghadap qiblat karena mendung atau ada penyebab lainnya sesudah melakukan ijtihad dan pilihan, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi.

5. Apabila datang orang yang dipercaya saat dia shalat, lalu orang yang datang itu memberitahukan kepadanya arah qiblat maka wajib baginya untuk segera menghadap ke arah yang ditunjukkan, dan shalatnya sah.

2. BERDIRI

6. Wajib bagi yang melakukan shalat untuk berdiri, dan ini adalah rukun, kecuali bagi :

* Orang yang shalat khauf saat perang berkecamuk dengan hebat, maka dibolehkan baginya shalat di atas kendaraannya.
* Orang yang sakit yang tidak mampu berdiri, maka boleh baginya shalat sambil duduk dan bila tidak mampu diperkenankan sambil berbaring.
* Orang yang shalat nafilah (sunnah) dibolehkan shalat di atas kendaraan atau sambil duduk jika dia mau, adapun ruku' dan sujudnya cukup dengan isyarat kepalanya, demikian pula orang yang sakit, dan ia menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku'nya.

7. Tidak boleh bagi orang yang shalat sambil duduk meletakkan sesuatu yang agak tinggi dihadapannya sebagai tempat sujud. Akan tetapi cukup menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku'nya -seperti yang kami sebutkan tadi- apabila ia tidak mampu meletakkan dahinya secara langsung ke bumi (lantai).

SHALAT DI KAPAL LAUT ATAU PESAWAT

8. Dibolehkan shalat fardlu di atas kapal laut demikian pula di pesawat.

9. Dibolehkan juga shalat di kapal laut atau pesawat sambil duduk bila khawatir akan jatuh.

10. Boleh juga saat berdiri bertumpu (memegang) pada tiang atau tongkat karena faktor ketuaan atau karena badan yang lemah.

SHALAT SAMBIL BERDIRI DAN DUDUK

11. Dibolehkan shalat lail sambil berdiri atau sambil duduk meski tanpa udzur (penyebab apapun), atau sambil melakukan keduanya. Caranya; ia shalat membaca dalam keadaan duduk dan ketika menjelang ruku' ia berdiri lalu membaca ayat-ayat yang masih tersisa dalam keadaan berdiri. Setelah itu ia ruku' lalu sujud. Kemudian ia melakukan hal yang sama pada rakaat yang kedua.

12. Apabila shalat dalam keadaan duduk, maka ia duduk bersila atau duduk dalam bentuk lain yang memungkinkan seseorang untuk beristirahat.

SHALAT SAMBIL MEMAKAI SANDAL

13. Boleh shalat tanpa memakai sandal dan boleh pula dengan memakai sandal.

14. Tapi yang lebih utama jika sekali waktu shalat sambil memakai sandal dan sekali waktu tidak memakai sandal, sesuai yang lebih gampang dilakukan saat itu, tidak membebani diri dengan harus memakainya dan tidak pula harus melepasnya. Bahkan jika kebetulan telanjang kaki maka shalat dengan kondisi seperti itu, dan bila kebetulan memakai sandal maka shalat sambil memakai sandal. Kecuali dalam kondisi tertentu (terpaksa).

15. Jika kedua sandal dilepas maka tidak boleh diletakkan di samping kanan akan tetapi diletakkan di samping kiri jika tidak ada di samping kirinya seseorang yang shalat, jika ada maka hendaklah diletakkan di depan kakinya, hal yang demikianlah yang sesuai dengan perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

SHALAT DI ATAS MIMBAR

16. Dibolehkan bagi imam untuk shalat di tempat yang tinggi seperti mimbar dengan tujuan mengajar manusia. Imam berdiri di atas mimbar lalu takbir, kemudian membaca dan ruku' setelah itu turun sambil mundur sehingga memungkinkan untuk sujud ke tanah di depan mimbar, lalu kembali lagi ke atas mimbar dan melakukan hal yang serupa di rakaat berikutnya.

KEWAJIBAN SHALAT MENGHADAP PEMBATAS DAN MENDEKAT KEPADANYA

17. Wajib shalat menghadap tabir pembatas, dan tiada bedanya baik di masjid maupun selain masjid, di masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan kepada keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Janganlah shalat melainkan menghadap pembatas, dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu, apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya ia bersama pendampingnya". (Maksudnya syaitan).

18. Wajib mendekat ke pembatas karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan hal itu.

19. Jarak antara tempat sujud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tembok yang dihadapinya seukuran tempat lewat domba. maka barang siapa yang mengamalkan hal itu berarti ia telah mengamalkan batas ukuran yang diwajibkan.

KADAR KETINGGIAN PEMBATAS

20. Wajib pembatas dibuat agak tinggi dari tanah sekadar sejengkal atau dua jengkal berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Jika seorang diantara kamu meletakkan di hadapannya sesuatu setinggi ekor pelana (sebagai pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat di balik pembatas".

21. Dan ia menghadap ke pembatas secara langsung, karena hal itu yang termuat dalam konteks hadits tentang perintah untuk shalat menghadap ke pembatas. Adapun bergeser dari posisi pembatas ke kanan atau ke kiri sehingga membuat tidak lurus menghadap langsung ke pembatas maka hal ini tidak sah.

22. Boleh shalat menghadap tongkat yang ditancapkan ke tanah atau yang sepertinya, boleh pula menghadap pohon, tiang, atau isteri yang berbaring di pembaringan sambil berselimut, boleh pula menghadap hewan meskipun unta.

HARAM SHALAT MENGHADAP KE KUBUR

23. Tidak boleh shalat menghadap ke kubur, larangan ini mutlak, baik kubur para nabi maupun selain nabi.

HARAM LEWAT DI DEPAN ORANG YANG SHALAT TERMASUK DI MASJID HARAM

24. Tidak boleh lewat di depan orang yang sedang shalat jika di depannya ada pembatas, dalam hal ini tidak ada perbedaan antara masjid Haram atau masjid-masjid lain, semua sama dalam hal larangan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Andaikan orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui akibat perbuatannya maka untuk berdiri selama 40, lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang shalat". Maksudnya lewat di antara shalat dengan tempat sujudnya.

KEWAJIBAN ORANG YANG SHALAT MENCEGAH ORANG LEWAT DI DEPANNYA MESKIPUN DI MASJID HARAM

25. Tidak boleh bagi orang yang shalat menghadap pembatas membiarkan seseorang lewat di depannya berdasarkan hadits yang telah lalu.

"Artinya : Dan janganlah membiarkan seseorang lewat di depanmu ...".

Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Jika seseorang diantara kamu shalat menghadap sesuatu pembatas yang menghalanginya dari orang lain, lalu ada yang ingin lewat di depannya, maka hendaklah ia mendorong leher orang yang ingin lewat itu semampunya (dalam riwayat lain : cegahlah dua kali) jika ia enggan maka perangilah karena ia adalah syaithan".

BERJALAN KE DEPAN UNTUK MENCEGAH ORANG LEWAT

26. Boleh maju selangkah atau lebih untuk mencegah yang bukan mukallaf yang lewat di depannya seperti hewan atau anak kecil agar tidak lewat di depannya.

HAL-HAL YANG MEMUTUSKAN SHALAT

27. Di antara fungsi pembatas dalam shalat adalah menjaga orang yang shalat menghadapnya dari kerusakan shalat disebabkan yang lewat di depannya, berbeda dengan yang tidak memakai pembatas, shalatnya bisa terputus bila lewat di depannya wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam.
3. NIAT

28. Bagi yang akan shalat harus meniatkan shalat yang akan dilaksanakannya serta menentukan niat dengan hatinya, seperti fardhu zhuhur dan ashar, atau sunnat zhuhur dan ashar. Niat ini merupakan syarat atau rukun shalat. Adapun melafazhkan niat dengan lisan maka ini merupakan bid'ah, menyalahi sunnah, dan tidak ada seorangpun yang menfatwakan hal itu di antara para ulama yang ditokohkan oleh orang-orang yang suka taqlid (fanatik buta).

4. TAKBIR

29. Kemudian memulai shalat dengan membaca. "Allahu Akbar" (Artinya : Allah Maha Besar). Takbir ini merupakan rukun, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Pembuka Shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir, sedangkan penghalalannya adalah salam".

30. Tidak boleh mengeraskan suara saat takbir di semua shalat, kecuali jika menjadi imam.

31. Boleh bagi muadzin menyampaikan (memperdengarkan) takbir imam kepada jama'ah jika keadaan menghendaki, seperti jika imam sakit, suaranya lemah atau karena banyaknya orang yang shalat.

32. Ma'mum tidak boleh takbir kecuali jika imam telah selesai takbir.

MENGANGKAT KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA

33. Mengangkat kedua tangan, boleh bersamaan dengan takbir, atau sebelumnya, bahkan boleh sesudah takbir. Kesemuanya ini ada landasannya yang sah dalam sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

34. Mengangkat tangan dengan jari-jari terbuka.

35. Mensejajarkan kedua telapak tangan dengan pundak/bahu, sewaktu-waktu mengangkat lebih tinggi lagi sampai sejajar dengan ujung telinga.

MELETAKKAN KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA

36. Kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri sesudah takbir, ini merupakan sunnah (ajaran) para nabi-nabi Alaihimus Shallatu was sallam dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat beliau, sehingga tidak boleh menjulurkannya.

37. Meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan di atas pergelangan dan lengan.

38. Kadang-kadang menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan.

TEMPAT MELETAKKAN TANGAN

39. Keduanya diletakkan di atas dada saja. Laki-laki dan perempuan dalam hal tersebut sama.

40. Tidak meletakkan tangan kanan di atas pinggang.

KHUSU' DAN MELIHAT KE TEMPAT SUJUD

41. Hendaklah berlaku khusu' dalam shalat dan menjauhi segala sesuatu yang dapat melalaikan dari khusu' seperti perhiasan dan lukisan, janganlah shalat saat berhadapan dengan hidangan yang menarik, demikian juga saat menahan berak dan kencing.

42. Memandang ke tempat sujud saat berdiri.

43. Tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, karena menoleh adalah curian yang dilakukan oleh syaitan dari shalat seorang hamba.

44. Tidak boleh mengarahkan pandangan ke langit (ke atas).

DO'A ISTIFTAAH (PEMBUKAAN)

45. Kemudian membuka bacaan dengan sebagian do'a-do'a yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang jumlahnya banyak, yang masyhur diantaranya ialah :

"Subhaanaka Allahumma wa bihamdika, wa tabaarakasmuka, wa ta'alaa jadduka, walaa ilaha ghaiyruka".

"Artinya : Maha Suci Engkau ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu, kedudukan-Mu sangat agung, dan tidak ada sembahan yang hak selain Engkau".

Perintah ber-istiftah telah sah dari Nabi, maka sepatutnya diperhatikan untuk diamalkan.

5. QIRAAH (BACAAN)

46. Kemudian wajib berlindung kepada Allah Ta'ala, dan bagi yang meninggalkannya mendapat dosa.

47. Termasuk sunnah jika sewaktu-waktu membaca.

"A'udzu billahi minasy syaiythaanirrajiim, min hamazihi, wa nafakhihi, wa nafasyihi"

"Artinya : Aku berlindung kepada Allah dari syithan yang terkutuk, dari godaannya, dari was-wasnya, serta dari gangguannya".

48. Dan sewaktu-waktu membaca tambahan.

"A'udzu billahis samii-il a'liimi, minasy syaiythaani ......."

"Artinya : Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari syaitan.......".

49. Kemudian membaca basmalah (bismillah) di semua shalat secara sirr (tidak diperdengarkan).

MEMBACA AL-FAATIHAH

50. Kemudian membaca surat Al-Fatihah sepenuhnya termasuk bismillah, ini adalah rukun shalat dimana shalat tak sah jika tidak membaca Al-Fatihah, sehingga wajib bagi orang-orang 'Ajm (non Arab) untuk menghafalnya.

51. Bagi yang tak bisa menghafalnya boleh membaca.

"Subhaanallah, wal hamdulillah walaa ilaha illallah, walaa hauwla wala quwwata illaa billah".

"Artinya : Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada sembahan yang haq selain Allah, serta tidak ada daya dan kekuatan melainkan karena Allah".

52. Didalam membaca Al-Fatihah, disunnahkan berhenti pada setiap ayat, dengan cara membaca. (Bismillahir-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Alhamdulillahir-rabbil 'aalamiin) lalu berhenti, kemudian membaca. (Ar-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Maaliki yauwmiddiin) lalu berhenti, dan demikian seterusnya. Demikianlah cara membaca Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seluruhnya. Beliau berhenti di akhir setiap ayat dan tidak menyambungnya dengan ayat sesudahnya meskipun maknanya berkaitan.

53. Boleh membaca (Maaliki) dengan panjang, dan boleh pula (Maliki) dengan pendek.

BACAAN MA'MUM

54. Wajib bagi ma'mum membaca Al-Fatihah di belakang imam yang membaca sirr (tidak terdengar) atau saat imam membaca keras tapi ma'mum tidak mendengar bacaan imam, demikian pula ma'mum membaca Al-Fatihah bila imam berhenti sebentar untuk memberi kesempatan bagi ma'mum yang membacanya. Meskipun kami menganggap bahwa berhentinya imam di tempat ini tidak tsabit dari sunnah.

BACAAN SESUDAH AL-FATIHAH

55. Disunnahkan sesudah membaca Al-Fatihah, membaca surat yang lain atau beberapa ayat pada dua raka'at yang pertama. Hal ini berlaku pula pada shalat jenazah.

56. Kadang-kadang bacaan sesudah Al-Fatihah dipanjangkan kadang pula diringkas karena ada faktor-faktor tertentu seperti safar (bepergian), batuk, sakit, atau karena tangisan anak kecil.

57. Panjang pendeknya bacaan berbeda-beda sesuai dengan shalat yang dilaksanakan. Bacaan pada shalat subuh lebih panjang daripada bacaan shalat fardhu yang lain, setelah itu bacaan pada shalat dzuhur, pada shalat ashar, lalu bacaan pada shalat isya, sedangkan bacaan pada shalat maghrib umumnya diperpendek.

58. Adapun bacaan pada shalat lail lebih panjang dari semua itu.

59. Sunnah membaca lebih panjang pada rakaat pertama dari rakaat yang kedua.

60. Memendekkan dua rakaat terakhir kira-kira setengah dari dua rakaat yang pertama.

61. Membaca Al-Fatihah pada semua rakaat.

62. Disunnahkan pula menambahkan bacaan surat Al-Fatihah dengan surat-surat lain pada dua rakaat yang terakhir.

63. Tidak boleh imam memanjangkan bacaan melebihi dari apa yang disebutkan di dalam sunnah karena yang demikian bisa-bisa memberatkan ma'mum yang tidak mampu seperti orang tua, orang sakit, wanita yang mempunyai anak kecil dan orang yang mempunyai keperluan.

MENGERASKAN DAN MENGECILKAN BACAAN

64. Bacaan dikeraskan pada shalat shubuh, jum'at, dua shalat ied, shalat istisqa, khusuf dan dua rakaat pertama dari shalat maghrib dan isya. Dan dikecilkan (tidak dikeraskan) pada shalat dzuhur, ashar, rakaat ketiga dari shalat maghrib, serta dua rakaat terakhir dari shalat isya.

65. Boleh bagi imam memperdengarkan bacaan ayat pada shalat-shalat sir (yang tidak dikeraskan).

66. Adapun witir dan shalat lail bacaannya kadang tidak dikeraskan dan kadang dikeraskan.

MEMBACA AL-QUR'AN DENGAN TARTIL

67. Sunnah membaca Al-Qur'an secara tartil (sesuai dengan hukum tajwid) tidak terlalu dipanjangkan dan tidak pula terburu-buru, bahkan dibaca secara jelas huruf perhuruf. Sunnah pula menghiasi Al-Qur'an dengan suara serta melagukannya sesuai batas-batas hukum oleh ulama ilmu tajwid. Tidak boleh melagukan Al-Qur'an seperti perbuatan Ahli Bid'ah dan tidak boleh pula seperti nada-nada musik.

68. Disyari'atkan bagi ma'mum untuk membetulkan bacaan imam jika keliru.
6. RUKU'

69. Bila selesai membaca, maka diam sebentar menarik nafas agar bisa teratur.

70. Kemudian mengangkat kedua tangan seperti yang telah dijelaskan terdahulu pada takbiratul ihram.

71. Dan takbir, hukumnya adalah wajib.

72. Lalu ruku' sedapatnya agar persendian bisa menempati posisinya dan setiap anggota badan mengambil tempatnya. Adapun ruku' adalah rukun.

CARA RUKU'

73. Meletakkan kedua tangan di atas lutut dengan sebaik-baiknya, lalu merenggangkan jari-jari seolah-olah menggenggam kedua lutut. Semua itu hukumnya wajib.

74. Mensejajarkan punggung dan meluruskannya, sehingga jika kita menaruh air di punggungnya tidak akan tumpah. Hal ini wajib.

75. Tidak merendahkan kepala dan tidak pula mengangkatnya tapi disejajarkan dengan punggung.

76. Merenggangkan kedua siku dari badan.

77. Mengucapkan saat ruku'. "Subhaana rabbiiyal 'adhiim".

"Artinya : Segala puji bagi Allah yang Maha Agung". tiga kali atau lebih.

MENYAMAKAN PANJANGNYA RUKUN

78. Termasuk sunnah untuk menyamakan panjangnya rukun, diusahakan antara ruku' berdiri dan sesudah ruku', dan duduk diantara dua sujud hampir sama.

79. Tidak boleh membaca Al-Qur'an saat ruku' dan sujud.

I'TIDAL SESUDAH RUKU'

80. Mengangkat punggung dari ruku' dan ini adalah rukun.

81. Dan saat i'tidal mengucapkan . "Syami'allahu-liman hamidah".

"Artinya : Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya". adapun hukumnya wajib.

82. Mengangkat kedua tangan saat i'tidal seperti dijelaskan terdahulu.

83. Lalu berdiri dengan tegak dan tenang sampai seluruh tulang menempati posisinya. Ini termasuk rukun.

84. Mengucapkan saat berdiri. "Rabbanaa wa lakal hamdu"

"Artinya : Ya tuhan kami bagi-Mu-lah segala puji". Hukumnya adalah wajib bagi setiap orang yang shalat meskipun sebagai imam, karena ini adalah wirid saat berdiri, sedang tasmi (ucapan Sami'allahu liman hamidah) adalah wirid i'tidal (saat bangkit dari ruku' sampai tegak).

85. Menyamakan panjang antara rukun ini dengan ruku' seperti dijelaskan terdahulu.

7. SUJUD

86. Lalu mengucapkan "Allahu Akbar" dan ini wajib.

87. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan.

TURUN DENGAN KEDUA TANGAN

88. Lalu turun untuk sujud dengan kedua tangan diletakkan terlebih dahulu sebelum kedua lutut, demikianlah yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta tsabit dari perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk menyerupai cara berlututnya unta yang turun dengan kedua lututnya yang terdapat di kaki depan.

89. Apabila sujud -dan ini adalah rukun- bertumpu pada kedua telapak tangan serta melebarkannya.

90. Merapatkan jari jemari.

91. Lalu menghadapkan ke kiblat.

92. Merapatkan kedua tangan sejajar dengan bahu.

93. Kadang-kadang meletakkan keduanya sejajar dengan telinga.

94. Mengangkat kedua lengan dari lantai dan tidak meletakkannya seperti cara anjing. Hukumnya adalah wajib.

95. Menempelkan hidung dan dahi ke lantai, ini termasuk rukun.

96. Menempelkan kedua lutut ke lantai.

97. Demikian pula ujung-ujung jari kaki.

98. Menegakkan kedua kaki, dan semua ini adalah wajib.

99. Menghadapkan ujung-ujung jari ke qiblat.

100. Meletakkan/merapatkan kedua mata kaki.

BERLAKU TEGAK KETIKA SUJUD

101. Wajib berlaku tegak ketika sujud, yaitu tertumpu dengan seimbang pada semua anggota sujud yang terdiri dari : Dahi termasuk hidung, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki.

102. Barangsiapa sujud seperti itu berarti telah thuma'ninah, sedangkan thuma'ninah ketika sujud termasuk rukun juga.

103. Mengucapkan ketika sujud. "Subhaana rabbiyal 'alaa"

"Artinya : Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi" diucapkan tiga kali atau lebih.

104. Disukai untuk memperbanyak do'a saat sujud, karena saat itu do'a banyak dikabulkan.

105. Menjadikan sujud sama panjang dengan ruku' seperti diterangkan terdahulu.

106. Boleh sujud langsung di tanah, boleh pula dengan pengalas seperti kain, permadani, tikar dan sebagainya.

107. Tidak boleh membaca Al-Qur'an saat sujud.

IFTIRASY DAN IQ'A KETIKA DUDUK ANTARA DUA SUJUD

108. Kemudian mengangkat kepala sambil takbir, dan hukumnya adalah wajib.

109. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan.

110. Lalu duduk dengan tenang sehingga semua tulang kembali ke tempatnya masing-masing, dan ini adalah rukun.

111. Melipat kaki kiri dan mendudukinya. Hukumnya wajib.

112. Menegakkan kaki kanan (sifat duduk seperti No. 111 dan 112 ini disebut Iftirasy).

113. Menghadapkan jari-jari kaki ke kiblat.

114. Boleh iq'a sewaktu-waktu, yaitu duduk di atas kedua tumit.

115. Mengucapkan pada waktu duduk. "Allahummagfirlii, warhamnii' wajburnii', warfa'nii', wa 'aafinii, warjuqnii".

"Artinya : Ya Allah ampunilah aku, syangilah aku, tutuplah kekuranganku, angkatlah derajatku, dan berilah aku afiat dan rezeki".

116. Dapat pula mengucapkan. "Rabbigfirlii, Rabbigfilii".

"Artinya : Ya Allah ampunilah aku, ampunilah aku".

117. Memperpanjang duduk sampai mendekati lama sujud.

SUJUD KEDUA

118. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib.

119. Kadang-kadang mengangkat kedua tangannya dengan takbir ini.

120. Lalu sujud yang kedua, ini termasuk rukun juga.

121. Melakukan pada sujud ini apa-apa yang dilakukan pada sujud pertama.

DUDUK ISTIRAHAT

122. Setelah mengangkat kepala dari sujud kedua, dan ingin bangkit ke rakaat yang kedua wajib takbir.

123. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangannya.

124. Duduk sebentar di atas kaki kiri seperti duduk iftirasy sebelum bangkit berdiri, sekadar selurus tulang menempati tempatnya.

RAKAAT KEDUA

125. Kemudian bangkit raka'at kedua -ini termasuk rukun- sambil menekan ke lantai dengan kedua tangan yang terkepal seperti tukang tepung mengepal kedua tangannya.

126. Melakukan pada raka'at yang kedua seperti apa yang dilakukan pada rakaat pertama.

127. Akan tetapi tidak membaca pada raka'at yang kedua ini do'a iftitah.

128. Memendekkan raka'at kedua dari raka'at yang pertama.

DUDUK TASYAHUD

129. Setelah selesai dari raka'at kedua duduk untuk tasyahud, hukumnya wajib.

130. Duduk iftirasy seperti diterangkan pada duduk diantara dua sujud.

131. Tapi tidak boleh iq'a di tempat ini.

132. Meletakkan tangan kanan sampai siku di atas paha dan lutut kanan, tidak diletakkan jauh darinya.

133. Membentangkan tangan kiri di atas paha dan lutut kiri.

134. Tidak boleh duduk sambil bertumpu pada tangan, khususnya tangan yang kiri.

MENGGERAKKAN TELUNJUK DAN MEMANDANGNYA

135. Menggenggam jari-jari tangan kanan seluruhnya, dan sewaktu-waktu meletakkan ibu jari di atas jari tengah.

136. Kadang-kadang membuat lingkaran ibu jari dengan jari tengah.

137. Mengisyaratkan jari telunjuk ke qiblat.

138. Dan melihat pada telunjuk.

139. Menggerakkan telunjuk sambil berdo'a dari awal tasyahud sampai akhir.

140. Tidak boleh mengisyaratkan dengan jari tangan kiri.

141. Melakukan semua ini di semua tasyahud.

UCAPAN TASYAHUD DAN DO'A SESUDAHNYA

142. Tasyahud adalah wajib, jika lupa harus sujud sahwi.

143. Membaca tasyahud dengan sir (tidak dikeraskan).

144. Dan lafadznya : "At-tahiyyaatu lillah washalawaatu wat-thayyibat, assalamu 'alan - nabiyyi warrahmatullahi wabarakaatuh, assalaamu 'alaiynaa wa'alaa 'ibaadil-llahis-shaalihiin, asyhadu alaa ilaaha illallah, asyhadu anna muhamaddan 'abduhu warasuuluh".

"Artinya : Segala penghormatan bagi Allah, shalawat dan kebaikan serta keselamatan atas Nabi dan rahmat Allah serta berkat-Nya. Keselamatan atas kita dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba dan rasul-Nya".

145. Sesudah itu bershalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengucapkan : "Allahumma shalli 'alaa muhammad, wa 'alaa ali muhammad, kamaa shallaiyta 'alaa ibrahiima wa 'alaa ali ibrahiima, innaka hamiidum majiid".

"Allahumma baarik 'alaa muhammaddiw wa'alaa ali muhammadin kamaa baarikta 'alaa ibraahiima wa 'alaa ali ibraahiima, innaka hamiidum majiid".

"Artinya : Ya Allah berilah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mulia.

Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mulia".

146. Dapat juga diringkas sebagai berikut : "Allahumma shalli 'alaa muhammad, wa 'alaa ali muhammad, wabaarik 'alaa muhammadiw wa'alaa ali muhammadin kamaa shallaiyta wabaarikta 'alaa ibraahiim wa'alaa ali ibraahiim, innaka hamiidum majiid".

"Artinya : Ya Allah bershalawatlah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana engkau bershalawat dan memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Terpuji dan Mulia".

147. Kemudian memilih salah satu do'a yang disebutkan dalam kitab dan sunnah yang paling disenangi lalu berdo'a kepada Allah dengannya.

RAKAAT KETIGA DAN KEEMPAT

148. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib. Dan sunnah bertakbir dalam keadaan duduk.

149. Kadang-kadang mengangkat kedua tangan.

150. Kemudian bangkit ke raka'at ketiga, ini adalah rukun seperti sebelumnya.

151. Seperti itu pula yang dilakukan bila ingin bangkit ke raka'at yang ke empat.

152. Akan tetapi sebelum bangkit berdiri, duduk sebentar di atas kaki yang kiri (duduk iftirasy) sampai semua tulang menempati tempatnya.

153. Kemudian berdiri sambil bertumpu pada kedua tangan sebagaimana yang dilakukan ketika berdiri ke rakaat kedua.

154. Kemudian membaca pada raka'at ketiga dan keempat surat Al-Fatihah yang merupakan satu kewajiban.

155. Setelah membaca Al-Fatihah, boleh sewaktu-waktu membaca bacaan ayat atau lebih dari satu ayat.

QUNUT NAZILAH DAN TEMPATNYA

156. Disunatkan untuk qunut dan berdo'a untuk kaum muslimin karena adanya satu musibah yang menimpa mereka.

157. Tempatnya adalah setelah mengucapkan : "Rabbana lakal hamdu".

158. Tidak ada do'a qunut yang ditetapkan, tetapi cukup berdo'a dengan do'a yang sesuai dengan musibah yang sedang terjadi.

159. Mengangkat kedua tangan ketika berdo'a.

160. Mengeraskan do'a tersebut apabila sebagai imam.

161. Dan orang yang dibelakangnya mengaminkannya.

162. Apabila telah selesai membaca do'a qunut lalu bertakbir untuk sujud.

QUNUT WITIR, TEMPAT DAN LAFADZNYA

163. Adapun qunut di shalat witir disyari'atkan untuk dilakukan sewaktu-waktu.

164. Tempatnya sebelum ruku', hal ini berbeda dengan qunut nazilah.

165. Mengucapkan do'a berikut : "Allahummah dinii fiiman hadayit, wa 'aafiinii fiiman 'aafayit, watawallanii fiiman tawallayit, wa baariklii fiimaa a'thayit, wa qinii syarra maaqadhayit, fainnaka taqdhii walaa yuqdhaa 'alayika wainnahu laayadzillu maw waalayit walaa ya'izzu man 'aadayit, tabaarakta rabbanaa wata'alayit laa manjaa minka illaa ilayika".

"Artinya : Ya Allah tunjukilah aku pada orang yang engkau tunjuki dan berilah aku afiat pada orang yang Engkau beri afiat. Serahkanlah aku pada orang yang berwali kepada-Mu, berilah aku berkah pada apa yang Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan yang Engkau tetapkan, karena Engkau menetapkan, dan tidak ada yang menetapkan untukku. Dan sesungguhnya tidak akan hina orang yang berwali kepada-Mu, dan tidak akan mulia orang yang memusuhi-Mu, Engkau penuh berkah, Wahai Rabb kami dan kedudukan-Mu sangat tinggi, tidak ada tempat berlindung kecuali kepada-Mu".

166. Do'a ini termasuk do'a yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diperbolehkan karena tsabit dari para shahabat radiyallahu anhum.

167. Kemudian ruku' dan bersujud dua kali seperti terdahulu.

TASYAHUD AKHIR DAN DUDUK TAWARUK

168. Kemudian duduk untuk tasyahud akhir, keduanya adalah wajib.

169. Melakukan pada tasyahud akhir apa yang dilakukan pada tasyahud awal.

170. Selain duduk di sini dengan cara tawaruk yaitu meletakkan pangkal paha kiri ke tanah dan mengeluarkan kedua kaki dari satu arah dan menjadikan kaki kiri ke bawah betis kanan.

171. Menegakkan kaki kanan.

172. Kadang-kadang boleh juga dijulurkan.

173. Menutup lutut kiri dengan tangan kiri yang bertumpu padanya.

KEWAJIBAN SHALAWAT ATAS NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM DAN BERLINDUNG DARI EMPAT PERKARA

174. Wajib pada tasyahud akhir bershalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana lafadz-lafadznya yang telah kami sebutkan pada tasyahud awal.

175. Kemudian berlindung kepada Allah dari empat perkara, dan mengucapkan : "Allahumma inii a'uwdzubika min 'adzaabi jahannam, wa min 'adzaabil qabri wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min tsarri fitnatil masyihid dajjal".

"Artinya : Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari siksa Jahannam dan dari siksa kubur, dan dari fitnah orang yang hidup dan orang yang mati serta dari keburukan fitnah masih ad-dajjal".

BERDO'A SEBELUM SALAM

176. Kemudian berdo'a untuk dirinya dengan do'a yang nampak baginya dari do'a-do'a tsabit dalam kitab dan sunnah, dan do'a ini sangat banyak dan baik. Apabila dia tidak menghafal satupun dari do'a-do'a tersebut maka diperbolehkan berdo'a dengan apa yang mudah baginya dan bermanfaat bagi agama dan dunianya.

SALAM DAN MACAM-MACAMNYA

177. Memberi salam ke arah kanan sampai terlihat putih pipinya yang kanan, hal ini adalah rukun.

178. Dan ke arah kiri sampai terlihat putih pipinya yang kiri meskipun pada shalat jenazah.

179. Imam mengeraskan suaranya ketika salam kecuali pada shalat jenazah.

180. Macam-macam cara salam.

* Pertama mengucapkan "Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu" ke arah kanan dan mengucapkan "Assalamu'alaikum warahmatullah" ke arah kiri.
* Kedua : Seperti di atas tanpa (Wabarakatuh).
* Ketiga mengucapkan "Assalamu'alaikum warahmatullahi" ke arah kanan dan "Assalamu'alaikum" ke arah kiri.
* Keempat : Memberi salam dengan satu kali ke depan dengan sedikit miring ke arah kanan.

PENUTUP

Saudaraku seagama.
Inilah yang terjangkau bagiku dalam meringkas sifat shalat nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai satu usaha untuk mendekatkannya kepadamu sehingga engkau mendapatkan satu kejelasan, tergambar dalam benakmu, seakan-akan engkau melihatnya dengan kedua belah matamu. Apabila engkau melaksanakan shalatmu sebagaimana yang aku sifatkan kepadamu tentang shalat nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka aku mengharapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menerima shalatmu, karena engkau telah melaksanakan satu perbuatan yang sesuai dengan perkataan nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat".

Setelah itu satu hal jangan engkau lupakan, agar engkau menghadirkan hatimu dan khusyu' ketika melakukan shalat, karena itu tujuan utama berdirinya sang hamba di hadapan Allah Subahanahu wa Ta'ala, dan sesuai dengan kemampuan yang ada padamu dari apa yang aku sifatkan tentang kekhusu'an serta mengikuti cara shalat nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga engkau mendapatkan hasil diharapkan sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan firman-Nya.

"Artinya : Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar".

Akhirnya. Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menerima shalat kita dan amal kita secara keseluruhan, dan menyimpan pahala shalat kita sampai kita bertemu dengan-Nya. "Di hari tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang dengan hati yang suci". Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.