Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh.
Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu).
Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan ilmu.

Minggu, 07 Juni 2009

Barang-Barang Najis

Barang-barang yang ada disekitar kita, tidak semuanya suci. Namun, ada beberapa di antaranya yang dihukumi najis dalam syari’at. Barang ini perlu diketahui kenajisannya agar tidak salah dalam menggunakannya, dan bisa mengenal cara membersihkannya. Najis bisa mempengaruhi sahnya shalat seseorang. Jika ia bernajis, maka harus dihilangkan najis yang melekat di baju atau badan. Jika najis keluar dari dubur harus beristinja’ darinya.

Para ahli ilmu telah mengadakan tahqiq (pemeriksaan) terhadap barang-barang yang ada disekitar kita, ternyata barang-barang najis lebih dari satu, di antaranya:

* Tinja (Tahi) Manusia

Kotoran yang keluar dari tubuh seorang manusia melalui duburnya. Kotoran ini harus dibersihkan dengan cara istinja’ (cebok). Jika mengenai sandal atau sepatu, maka dibersihkan.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِذَا وَطَئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الأَذَى فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُوْرٌ

“Jika salah seorang di antara kalian menginjakkan sandal pada kotoran (tahi), maka sesungguhnya tanah merupakan pembersih baginya” [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (381). Dishahihkan Syaikh Al-Albaniy dalam Shahih As-Sunan (no. 385)]

* Kencing Manusia

Kencing manusia atau hewan yang tidak halal dimakan termasuk barang-barang najis yang harus dibersihkan oleh seseorang.

Anas -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

َأنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : دَعُوْهُ وَلاَ تُزْرِمُوْهُ قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ

“Ada seorang Arab Badui pernah kencing di masjid, maka sebagian orangpun bangkit dan menuju kepadanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Biarkan (ia kencing), janganlah kalian memotongnya”.

Anas berkata, “Tatkala orang itu selesai kencing, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta seember air, lalu menuangkannya pada kencing tersebut. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (6025) dan Muslim dalam Shahih-nya (284)]

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan najisnya tinja dan kencing manusia, yaitu hadits-hadits yang memerintahkan untuk istinja’ (cebok) dari keduanya.

Syaikh Muhammad Al-Hisniy Asy-Syafi’iy-rahimahullah- berkata dalam Kifayah Al-Akhyar (1/98), “Adapun najisnya tinja, maka hujjahnya -disambping adanya ijma’- adalah sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.

Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Bassam-rahimahullah- berkata dalam Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram (1/112), “Kencing merupakan najis. Wajib membersihkan tempat yang terkena kencing, baik di badan, pakaian, tanah, atau yang lainnya”.

* Madzi, dan Wadi

Madzi adalah cairan yang keluar dari manusia ketika syahwatnya memuncak. Lebih jelasnya, An-Nawawi berkata, “Cairan yang halus lagi kental, keluar ketika bersyahwat”. [Lihat Al-Minhaj (3/204)]

Sedangkan wadi adalah cairan najis yang keluar dari kemaluan seseorang ketika ia buang air, karena mengalami sakit, atau lelah, tanpa disertai oleh syahwat.

Adapun keluarnya madzi ini menyebabkan seseorang harus bersuci, karena madzi adalah najis seperti halnya dengan kencing yang keluar dari kemaluan manusia.

Ali bin Abi Tahlib -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata,

كُنْتُ رَجُلًا مَذّاَءً فَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلُ النَّبِيًّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ . فَأَمَرْتُ المِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ: يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ

“Dulu aku adalah seorang laki-laki yang banyak madzinya, aku malu bertanya kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- karena keberadaan putrinya. Kemudian aku memerintahkan Al-Miqdadbin Al-Aswad (untuk bertanya), maka ia pun bertanya kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Dia mencuci kemaluannya dan berwudhu”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (132), Muslim dalam Shahih-nya (693), dan An-Nasa`iy dalam Sunan-nya (157)]

Ibnu Abbas-radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Mani, wadiy, dan madzi; adapun mani, maka ia adalah sesuatu yang (mangharuskan) mandi karenanya. Adapun wadiy dan madzi, maka ia berkata, “Cucilah kemaluanmu, dan wudhu seperti wudhu untuk shalat”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (190) dan Al-Baihaqiy dalam Sunan-nya (1/115)]

An-Nawawiy-rahimahullah- berkata dalam Al-Minhaj (2/204), “Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah: (di antaranya) madzi tidak mangharuskan mandi, dan (hanya) mengharuskan wudhu, dan bahwa madzi adalah najis, oleh karena ini Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mewajibkan mencuci kemaluan”.

Ibnu Qudamah-rahimahullah- berkata, “Sungguh kami telah sebutkan bahwa madzi membatalkan wudhu’. Madzi keluar dalam keadaan kental, keluar perlahan-lahan ketika timbul syahwat pada ujung dzakar”. [Al-Mughni (1/232)]

* Darah Haidh

Darah haidh merupakan barang najis yang harus dibersihkan dari badan atau pakaian kita yang terkena, utamanya ketika hendak melakukan ibadah di saat darah haidh terputus, atau saat ingin berhubungan dengan suami.

Asma’ bintu Abu Bakr berkata, “Seorang wanita pernah datang kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, seseorang di antara kami bajunya terkena darah haidh, apa yang harus kami lakukan”. Beliau menjawab,

تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضِحُهُ ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ

“Keriklah, lalu gosok bersama air, kemudian siramlah; lalu shalatlah dengan menggunakan pakaian itu”. [HR. Al-Bukhariy (227) dan Muslim (291)]

Adanya perintah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk mencuci pakaian yang terkena darah haidh menunjukkan najisnya darah haidh, dan perkara ini telah disepakati para ulama.

Syaikh Husain bin Audah Al-’Awayisyah-hafizhahullah- berkata dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (1/28), “An-Nawawiy sungguh telah menukil ijma’ tentang najisnya darah haidh dalam Syarah Shahih Muslim (3/200)”.

* Kotoran (Tahi) Binatang yang Tidak Dimakan Dagingnya

Binatang yang tidak dimakan dagingnya, seperti; anjing, kucing, babi, monyet, dan lain-lain, maka kotoran (tahi) dan kencingnya merupakan najis.

Abdullah berkata, “Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- ingin buang air, lalu berkata, “Berikan aku tiga buah batu”. Kemudian aku dapatkan dua buah batu dan kotoran (tahi) himar, maka beliau mengambil dua buah batu tersebut dan membuang kotoran (tahi) seraya bersabda,

هِيَ رِجْسٌ

“Dia (kotoran) ini najis”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya(155), dan Ibnu Khuzimah dalam Shahih-nya (70)]

* Anjing, Liurnya, dan Sisa Minumannya.

Di antara barang-barang najis adalah anjing, liurnyan dan sisa minumannya. Kenajisannya telah dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam sabdanya,

طُهُوْرُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

“Cara menyucikan bejana salah seorang di antara kalian yang dijilat anjing, dicuci sebanyak tujuh kali, awalnya dengan tanah”. [HR. Muslim dalam Shahih-nya (279)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُغْسِلْهُ سَبْعًا

“Jika Seekor anjing minum pada bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaknya ia mencucinya sebanyak tujuh kali”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (172), dan Muslim dalam Shahih-nya (279)]

* Bangkai

Bangkai adalah hewan yang mati secara tidak wajar, tanpa melalui penyembelihan yang syar’iy, seperti; dicekik, dipukul, disetrum, dijepit, atau ditabrak. Bangkai merupakan najis, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِذَا دُبْغَ اْلإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ

“Apabila kulit bangkai disamak, maka ia sungguh telah suci”. [HR. Muslim dalam Shahih-nya (366) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (4105)]

Ini menunjukkan tentang najisnya bangkai, termasuk kulitnya, kecuali kulitnya telah disamak, maka kulit tersebut suci, dan boleh dimanfaatkan. Adapun jika belum disamak, maka kulit tersebut tetap najis.

Namun ada suatu perkara yang perlu diingat, bahwa ada beberapa bangkai yang tidak najis.

* Bangkai ikan dan belalang

Dalam sebuah hadits, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَّمَانِ. أَمَّاالْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ وَالْجَرَادُ. وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai tersebut, maka ia adalah ikan dan belalang. Adapun dua darah, maka ia adalah hati dan limpa”. [HR. Ahmad dalam Musnad-nya (2/97) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3314). Lihat Shahih Al-Jami’ (210)]

* Bangkai hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir

Bangkai hewan ini juga bukan merupakan najis yang harus disucikan, walaupun ada sedikit darahnya, seperti nyamuk, lalat, semut, laba-laba, kalajengking, dan lain-lain.

Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ وَلْيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِيْ أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَ فِيْ الآخَرِ شِفَاءً

“Jika lalat jatuh pada minuman salah seorang di antara kalian, maka hendaknya ia menenggelamkan lalat itu seluruhnya, lalu ia membuangnya, karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lainnya ada penawarnya”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (3320)]

* Daging Keledai Kampung

Keledai ada dua macam, yaitu keledai liar, dan keledai kampung (peliharaan). jenis pertama, halal. Adapun jenis yang kedua, maka haram dan najis.

Anas-radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah didatangi oleh seseorang seraya berkata, “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian beliau didatangi lagi oleh seseorang seraya berkata, “Keledai-keledai telah dihabiskan”. Maka beliau pun memerintahkan seorang, lalu orang itu berteriak di tengah manusia,

إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُوْمِ الْحِمَرِ الأَهْلِيَّةِ , فَإِنَّهَا رِجْسٌ

“Sesungguhnya Allah, dan Rasul-Nya telah melarang kalian dari daging keledai kampung (peliharaan), karena sesungguhnya ia itu najis”. Lalu belanga-belanga pun ditumpahkan, padahal sungguh belanga-belanga itu penuh dengan daging”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (5528), dan Muslim dalam Shahih-nya (194)]

Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata, “Sungguh Penulis telah membawakan dua hadits ini untuk berdalil tentang najisnya daging hewan yang tidak boleh dimakan. Karena, pertama: adanya perintah untuk memecahkan bejana (belanga). Kedua: perintah untuk mencuci (bejana). Ketiga: adanya sabda beliau, “…karena ia (daging keledai kampung) itu kotoran atau najis” yang menunjukkan najisnya. Tapi ini nash khusus tentang keledai kampung, dan analogi bagi yang lainnya di antara hewan-hewan yang tidak boleh dimakan, karena adanya alasan sama, yaitu tidak bolehnya dimakan”. [Lihat Nail Al-Authar (1/121), cet. Dar Al-Kitab Al-Arabiy, 1420 H]

0 komentar:

Posting Komentar