Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh.
Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu).
Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan ilmu.

Senin, 20 Juli 2009

Adakah Bom Syahid Dalam Islam ? bagian 3

Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

Fatwa Lain
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ketika menjelaskan mutiara-mutiara yang terkandung dalam hadits Shuhaib bin Sinân yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, kisah yang sangat panjang tentang anak muda yang belajar kepada tukang sihir dengan perintah seorang raja yang kafir dan menganggap dirinya sebagai Rabb yang disembah.

Tapi ia juga belajar kepada seorang Rahib yang kemudian Allah menampakkan kepadanya kebenaran apa yang dibawa oleh sang Rahib lalu mendapat beberapa karamah dari Allah seperti menyembuhkan orang yang buta dan belang dan menyembuhkan segala jenis penyakit, sampai datang kepadanya teman raja yang buta yang kemudian sembuh setelah ia beriman kepada Allah.

Begitu ia bertemu dengan raja, ia bertanya : “Siapa yang menyembuhkanmu?”. “Rabb-ku”, jawabnya. Raja bertanya apakah engkau mempunyai Rabb selain aku?”. “Rabb-ku dan Rabb-mu adalah Allah”, jawabnya. Ia pun disiksa beserta anak muda itu dan sang Rahib yang mengajarinya, dan berakhir dengan dibunuhnya teman raja dan rahib. Adapun anak muda itu, ia telah berusaha untuk dibunuh dengan dilemparkan dari atas gunung dan dilempar di tengah lautan tapi tidak pernah berhasil membunuhnya, sehingga anak muda ini berkata, “Kalau kamu hendak membunuhku, maka kumpulkanlah seluruh manusia di satu lapangan dan ikat saya di tiang.

Kemudian ambillah anak panah dari tempat anak-anak panahku dan letakkan pada busurnya lalu ucapkan, “Dengan nama Allah Rabb-nya Al-Gulam (si anak muda)” kemudian lepaskanlah anak panah itu kepadaku. Maka sang rajapun melaksanakan semua apa yang dikatakan oleh pemuda itu sehingga akhirnya dia bisa membunuh anak muda ini dengan memanahnya dengan anak panah tadi dan mengenai pelipisnya sampai meninggal. Maka tatkala pemuda ini meninggal, serentak seluruh manusia di lapangan itu berseru, “Kami telah beriman kepada Rabb-nya Al-Gulam” melihat bagaimana raja tidak dapat membunuh dengan caranya, begitu ia membunuhnya dengan nama Rabb anak muda tersebut ia pun mati, ini menunjukkan bahwa raja ini bukanlah Rabb dan akhirnya seluruh manusia beriman kepada Allah.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ketika menjelaskan mutiara-mutiara yang terkandung dalam hadits ini dalam kitab Syarah Riyadhu Ash-Sholihin 1/165, beliau berkata,

Yang keempat :
Seseorang boleh untuk mengorbankan dirinya demi kemaslahatan umum untuk kaum muslimin. Karena pemuda ini telah menunjukkan suatu cara kepada sang raja agar dia bisa membunuhnya dengan cara tersebut dan membinasakan dirinya dengan cara itu. Yaitu dengan cara mengambil sebuah anak panah dari tempat anak-anak panahnya ...”

Berkata Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah), “Karena ini adalah jihad fii sabilillah (di jalan Allah), satu umat telah beriman dan dia (pemuda ini) tidak kehilangan sesuatu apapun, karena dia telah mati dan dia pasti akan mati cepat atau lambat.”

Adapun yang dilakukan oleh sebagian manusia dari bentuk-bentuk bunuh diri dengan cara membawa bahan-bahan peledak dan maju dengan bahan peledak tersebut menuju kepada orang-orang kafir, lalu dia meledakkannya tatkala dia telah berada di antara mereka (orang-orang kafir tersebut), maka ini adalah dari bentuk bunuh diri. Wal ‘iyâdzu billah.

Dan barang siapa yang membunuh dirinya, maka dia kekal dan dikekalkan di dalam neraka Jahannam selama-lamanya, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ini adalah membunuh dirinya bukan dalam kemaslahatan Islam, karena bila seandainya dia membunuh dirinya dan membunuh 10 orang atau 100 orang atau 200 orang, maka hal tersebut tidak akan bermanfaat buat Islam, dan tidak membuat manusia berislam, berbeda halnya dengan kisah pemuda tadi. Dan kadang perbuatan tersebut membuat musuh bertambah keras kepala dan dadanya penuh kemarahan sehingga akan menyerang kaum muslimin dengan serangan yang membabi buta. Sebagaimana yang dijumpai dari perlakuan orang-orang Yahudi terhadap orang-orang Palestina. Karena orang-orang Palestina bila salah seorang dari mereka mati karena sebab peledakan ini dan terbunuh 6 atau 7 orang (dari orang Yahudi), maka mereka (orang Yahudi) mengambil (baca : membunuh) dengan sebab peledakan tersebut 60 orang atau lebih (dari kaum Palestina). Maka hal tersebut (peledakan bunuh diri) tidak akan mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin dan tidak pula orang yang diledakkan dalam barisan mereka (kaum Yahudi) akan mengambil manfaat (pelajaran).

Karena itulah, kami memandang bahwasanya apa yang dilakukan oleh sebagian manusia ini adalah dari bentuk-bentuk bunuh diri, kami memandang bahwa hal tersebut adalah bunuh diri tanpa haq dan diwajibkan atasnya untuk masuk ke dalam neraka, Wal ‘iyâdzu billah. Orang yang bunuh diri dengan cara seperti itu bukanlah mati syahid.

Akan tetapi bila seseorang melakukannya (bunuh diri dengan bom) karena menta`wil, menyangka bahwa perbuatan tersebut boleh, maka kami mengharapkan dia terlepas dari dosa. Adapun kalau ditetapkan bahwa dia termasuk mati syahid, maka hal itu tidak benar karena sesungguhnya dia tidak menempuh cara syahid. Dan barang siapa yang berijtihad lalu salah, maka baginya satu pahala”.

4. Fatwa Syaikh Shôlih bin Fauzân Al-Fauzân hafizhohullâh Ta’âlâ

Soal: Apakah peledakan-peledakan dan aksi-aksi bunuh diri adalah salah satu wasilah (perantara) dari wasilah-wasilah dakwah?
Jawab:
Mereka yang melakukan amalan-amalan tersebut, wajib untuk didakwahi/diseru kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shollallâhu ‘alaihi wa sallam, merekalah yang sebenarnya butuh kepada dakwah. Bagaimana mungkin mereka menyeru manusia sementara mereka melakukan peledakan dan pengrusakan? Ini tidaklah termasuk dakwah, ini adalah perbuatan yang membuat orang lari (dari dakwah) dan bentuk pengrusakan –wal ‘iyâdzu billâh-.
Apakah Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam berdakwah dengan cara seperti ini??
Hari tatkala beliau dan para sahabatnya berada di Makkah, apakah mereka melakukan pengrusakan?? Sama sekali tidak, bahkan beliau menyeru kepada Rabbnya dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan meminta kepada manusia untuk mendukung dan membantunya tanpa melakukan perbuatan pengrusakan terhadap mereka, sebab hal ini membawa bahaya yang lebih besar terhadap umat Islam, dan membuat orang-orang kafir bergembira. Maka hal ini tidaklah diperbolehkan selama-lamanya. Dan ini merupakan wasilah dakwah kepada syaithon, dakwah kepada neraka. Allâh Ta’âlâ berfirman,


“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka.” (QS. Al-Qashash : 41)
(Allâh) Ta’âlâ berfirman,

“Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga.”
(QS. Al-Baqarah : 221)

Dakwah itu terkadang menyeru kepada neraka –wal ‘iyâdzu billâh-, apabila ia menyeru kepada kesesatan, sebagaimana sabda Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam,

وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلِإثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئاً
“Barang siapa yang menyeru kepada kesesatan maka baginya bagian dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya yang tidak berkurang sedikitpun dari dosa-dosa mereka itu”.[45]
Maka dakwah itu terkadang kepada kesesatan, tidak kepada kebenaran.” [46]

Soal : Bolehkah amalan-amalan bunuh diri dilakukan dan apakah ada syarat-syarat yang membenarkan amalan ini ?
Jawab :
Allâh Jalla wa `Alâ berfirman :


“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisâ` : 29-30)

Dan (ayat) ini mencakup orang yang membunuh dirinya dan membunuh orang lain tanpa haq (kebenaran), maka tidak boleh bagi setiap insan membunuh dirinya, bahkan seharusnya ia menjaga dirinya dengan penjagaan yang maksimal. Dan hal ini tidak menghalangi seseorang untuk berjihad dan berperang di jalan Allâh, kalaupun ia terbunuh dan gugur sebagai syahid maka ini adalah hal yang baik. Adapun kalau ia sengaja membunuh dirinya maka ini tidaklah diperbolehkan. Dan pada masa Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam di sebagian peperangan ada seorang pemberani yang berperang di jalan Allâh bersama Ar-Rasul shollallâhu ‘alaihi wa sallam kemudian ia terbunuh. Maka manusia memujinya, “Tidak ada seorangpun di antara kita yang bersungguh-sungguh berperang seperti apa yang dilakukan si fulan.” Maka Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ia di dalam neraka.” Ini beliau ucapkan sebelum ia meninggal sehingga hal tersebut membuat para sahabat merasa berat menerimanya, bagaimana mungkin manusia seperti ini yang berperang dan tidak meninggalkan seorang kafir pun kecuali ia mengikutinya dan membunuhnya, kemudian ia berada dalam neraka?? Maka seorang laki-laki membuntuti dan mengawasinya. Setelah orang itu terluka, maka pada akhirnya laki-laki itu melihat orang tersebut meletakkan pedang di atas tanah yaitu ia meletakkan sarung pedang di atas tanah dan mengangkat mata pedangnya ke atas lalu menyandarkan dirinya di atas pedang, hingga masuk ke dadanya dan menembus punggungnya dan matilah orang tersebut. Maka sahabat tadi berkata, “Sungguh telah benar Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa sallam”, dan ia mengetahui bahwa Ar-Rasul tidaklah berucap dari hawa nafsunya. Lantas mengapa orang ini masuk neraka bersamaan dengan ia melakukan amalan (jihad) ini? Sebabnya karena ia membunuh dirinya dan tidak bersabar. Maka tidaklah diperbolehkan seseorang membunuh dirinya.”[47]

5. Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullâh

Dalam sebagian majelis, beliau menjelaskan tentang hukum Amaliyyât Intihâriyyah (aksi-aksi bunuh diri). Beliau menjelaskan bahwa hal tersebut,
“(Kadang) Boleh dan (kadang) tidak boleh. Adapun yang terjadi pada hari ini, maka hal tersebut tidaklah dibolehkan karena hanya sekedar perbuatan individu yang muncul dari semangat tak terkendali yang tidak pernah diikat dengan syari’at maupun akal. Sehingga tidak ada perbedaan antara si muslim yang bunuh diri dan orang komunis atau orang Jepang (yang bunuh diri) hari tatkala terjadi peperangan antara mereka dan Amerika. Maka ini dan itu (semuanya) tidak boleh, karena tidaklah bersumber dari agama dan fatwa orang-orang yang berilmu. Maka tidaklah boleh.
Adapun kalau ada seorang pemimpin muslim, yang kemudian ada pimpinan pasukan yang muslim serta ada seorang yang faqih (paham agama), kemudian ia mempelajari hal tersebut dari bidang kemiliteran, peperangan, dan seterusnya, lalu ia memperhitungkan antara keuntungan dengan kerugian; membuat … dan ia menemukan bahwa keuntungan lebih mengungguli kerugian terhadap rakyat muslim, maka ketika itu kami mengatakan boleh, karena yang seperti ini telah terjadi pada sebagian peperangan Islamiyah pada generasi pertama……” [48]

Dan beliau tegaskan dalam kesempatan lain,
“…Kami mengatakan bahwa Amaliyyât Intihâriyyah pada zaman sekarang ini seluruhnya tidak disyari’atkan, dan seluruhnya diharamkan. Kadang ia terhitung jenis yang pelakunya kekal dalam neraka, dan kadang dari jenis yang pelakunya tidak kekal dalam neraka…” [49]

6. Fatwa Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmy hafizhohullâh Ta’âlâ

Soal : Kami sedang mengalami fenomena dari para irhabiyyin (teroris), yaitu perbuatan mereka yang mereka namakan amaliyat istisyhadiyah (amalan-amalan menuntut kesyahidan), maka apakah hukum perbuatan tersebut ?

Jawab :
Tindakan-tindakan ini adalah tindakan-tindakan bunuh diri, pelakunya adalah (dianggap sebagai) orang yang bunuh diri. (Perbuatan ini) adalah haram, tidaklah boleh melakukannya, meskipun mereka (para pelaku dan pendukungnya, -pent.) menyangka bahwa mereka melakukan ini sebagai jihad. Sangkaan ini tidaklah benar, bahkan ini adalah tindakan bunuh diri (semata) serta pembunuhan terhadap kaum muslimin, menumpahkan darah yang haram (untuk ditumpahkan), membunuh jiwa-jiwa yang terjaga dan merusak harta-harta yang haram (untuk dirusak). Semua (perbuatan) ini telah mengumpulkan segala kejelekan, dan bersama mereka terdapat banyak sekali kejelekan, dan kita berlindung kepada Allah. [50]

7. Fatwa Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly hafizhohullâh Ta’âlâ

Soal : Kami sedang mengalami fenomena dari para irhabiyyin (teroris), yaitu perbuatan mereka yang mereka namakan amaliyat istisyhadiyah (amalan-amalan menuntut kesyahidan), maka apakah hukum perbuatan tersebut ?
Jawab :
Amalan ini adalah perbuatan dosa yang Allah Tabâraka Wa Ta’âlâ telah mengharamkannya, adapun orang yang membunuh dirinya maka tempatnya adalah di neraka, dia kekal di situ selamanya, sebagaimana datang dalam hadits,

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيْدِةٍ فَحَدِيْدَتُهُ فِيْ يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهَا فِيْ بَطْنِهِ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيْهَا أَبَدًا ... وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَرَدَّى فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيْهَا أَبَدًا
“Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sepotong besi, maka besinya itu akan berada ditangannya, dia memukul-mukul perutnya dengannya di dalam neraka, (dia) kekal di dalamnya selamanya…., dan barang siapa yang menghempaskan dirinya dari gunung sehingga dia membunuh dirinya maka dia akan (terus dalam keadaan) terhempas dalam neraka, dimana dia kekal pada selamanya.” [51]
Maka ini adalah perkara yang haram dan tidak boleh ….(ada kata yang agak samar)…dimana nash-nash menjelaskan akan buruknya amalan ini, (juga tentang) mengerikannya serta diharamkannya.
Orang yang betul-betul menghormati dinul Islam tidak akan berbuat seperti perbuatan ini,

“Bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kemampuan kalian.” [QS. At-Taghâbun : 16]

Seseorang, yang pertama (yang seharusnya dilakukannya) adalah belajar, yang kedua adalah mengajar, dan menyebarkan dakwahnya di tengah-tengah kaum muslimin hingga adanya suatu umat yang berjihad untuk meninggikan kalimat Allah. Adapun orang yang tidak berdakwah kepada tauhidillah (pengesaan Allah dalam beribadah), tidak pula kepada pengikhlasan agama (hanya) kepada Allah, sementara dia melihat kesyirikan-kesyirikan, bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan lalu dia tidak melakukan penanganan (untuk mengatasinya), yang dilakukannya hanyalah gangguan dengan menyembelih dirinya, maka ini tidak akan pernah memberikan manfaat kepada Islam dan kaum muslimin. Dia membinasakan dirinya di dunia dan akhirat, dan pada hal yang demikian itu, dia tidak memiliki kebaikan apapun yang bermanfaat baginya baik dalam (kehidupan) duniawinya maupun ukhrawi dan tidak memberi manfaat kepada Islam dan kaum muslimin.
Amal yang bermanfaat bagi kaum muslimin adalah kita kembali –pada apa yang aku telah sebutkan pada ceramah yang telah berlalu- kepada kitabullah dan sunnah Rasulullâh ‘alaihish sholâtu was salâm. Dia adalah ukuran yang akan mewujudkan kemuliaan dan kemenangan, dan dengannnya akan terwujud jihad yang benar yang bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah Tabâraka Wa Ta’âlâ.
Adapun amalan-amalan jahiliyah ini, amalan-amalan ini (hanya) dilakukan oleh orang-orang Hindu, dilakukan oleh orang-orang Jepang, dilakukan oleh orang-orang Nashoro dan Yahudi. Tidak ada di dalam Islam hal-hal seperti ini dan tidak pernah melekat pada kaum muslimin amalan ini. Hal ini sangat jauh dari apa yang mereka cintai dan dari apa yang mereka pesankan/sampaikan kepada manusia.
Aku nasehatkan kepada mereka ini agar bertakwa kepada Allah, dan agar belajar serta menyebarkan agama Allah yang hak, sebab sesungguhnya ini termasuk jihad yang terbesar, dan agar mereka membela kepedihan umat ini dengan agama Allah yang hak, serta menunaikan sebab-sebab yang menghidupkan umat ini dengan agama Allah yang hak,

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfâl : 24)

Manusia (kaum muslimin) berada dalam keterlantaran dan kesengsaraan dan tidak akan menikmati kehidupan yang baik yang bermanfaat di dunia maupun di akhirat kecuali kalau mereka menerapkan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, serta mengambil sebab-sebabnya, itulah yang bermanfaat untuk mereka.
Boleh jadi orang yang bunuh diri ini adalah seorang penganut khurafat, maka apa yang akan bermanfaat baginya?
Seandainyapun orang yang bunuh diri ini adalah seorang yang ikhlas, maka apa pula yang akan bermanfaat baginya dari amalan ini?
Apa (amalan) yang mencukupi untuk umat ?
Betapa banyak kejelekan yang menimpa umat ini karena amalan-amalan yang semisal dengan ini, peledakan-peledakan, bunuh diri, dan apa-apa yang semodel dengan itu. Perkara-perkara ini tidak pernah dilakukan oleh para nabi, tidak pula oleh para sahabat, tidak juga oleh para imam Islam yang ikhlas. Mereka ini tidak pernah menyeru manusia kepada perkara ini. Hal ini tidak lain adalah seruan-seruan dakwah orang-orang jahil dan amalan-amalan para syaitan. Kita memohon pada Allah agar menunjuki umat ini pada apa yang bermanfaat baginya dan agar umat ini bisa mendapatkan para da’i yang shôdiq (benar dan jujur) serta para ulama yang memberi nasihat, sesungguhnya Rabb-ku Maha Mendengar do’a. [52]

8. Fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Azîz Ar-Râjihiy hafizhohullâh Ta’âlâ

Soal: Apa pandangan engkau tentang pergerakan-pergerakan yang mencari syahid yang ada di permukaan bumi saat ini?
Jawab
Saya memandang bahwa hal ini bukanlah suatu hal yang disyariatkan. Yang nampak dari dalil-dalil bahwa hal itu bukanlah perkara yang disyariatkan. Sebab hal itu bukan dari jenis duel antara dua barisan dalam peperangan, dan bukan dari jenis perbuatan orang yang melemparkan dirinya melawan Romawi. Mereka (orang-orang yang membolehkannya, -pent.) berkata bahwa ini termasuk dari jenis tersebut. Dan kita katakan bahwa ini bukan dari jenis tersebut (karena beberapa alasan),
Pertama : Pergerakan-pergerakan yang mereka namakan sebagai pergerakan mencari syahid bukan dalam barisan perang, tetapi hanya datang tanpa adanya perang; dia datang kepada sekelompok manusia yang lengah kemudian meledakkan dirinya di tengah-tengah mereka. Perbuatan ini bukanlah dalam barisan perang, sementara nash-nash yang datang keadaannya berada dalam barisan perang, dimana kaum muslimin satu barisan perang dan kaum kafir satu barisan, mereka saling berperang kemudian seorang mukmin melemparkan dirinya di tengah orang-orang kafir.
Kedua : Orang-orang yang menerjunkan dirinya di tengah orang-orang kafir, tidaklah membunuh dirinya karena terkadang ia selamat, berbeda dengan orang-orang yang meledakkan dirinya, ini namanya bunuh diri dengan meledakkan dirinya.
Ketiga : Bahwa telah tsâbit (tetap/syah) riwayat pada perang Khaibar tatkala ‘Âmir Ibnul Akwa’ radhiyallâhu ‘anhu duel melawan seorang Yahudi, -ini dalam Shahîh Al-Bukhâri[53]-, mata pedang beliau membalik ke arahnya sehingga mengenai bagian kakinya kemudian beliau meninggal. Maka sebagian sahabat berkata, “Sesungguhnya ‘Âmir Ibnul Akwa` telah membatalkan jihadnya bersama Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa sallam”. Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam mendatangi saudaranya Salamah Ibnul Akwa’ radhiyallâhu ‘anhu, ternyata beliau sedang sedih. Maka beliau menanyakannya. (Salamah) berkata, “Wahai Rasulullâh! sesungguhnya mereka mengatakan bahwasanya ‘Âmir telah batal jihadnya”, maka Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sungguh telah berdusta orang yang mengatakan demikian. Sungguh dia telah bersungguh-sungguh dan seorang mujahid, sangat sedikit orang Arab yang tumbuh dengan sifat demikian .” Bila sahabat saja, rumit memahami tentang perihal ‘Âmir yang mata pedangnya membalik ke arahnya dengan di luar kehendaknya[54] lalu mereka berkata bahwa telah batal jihadnya, maka bagaimana pula dengan orang-orang yang meledakkan dirinya atas pilihannya sendiri?? [55]

9. Fatwa Syaikh ‘Ubaid bin ‘Abdullah Al-Jâbiry hafizhohullâh Ta’âlâ

Soal :
Apa hukum amaliyyât intihâriyyah (aksi-aksi bunuh diri) yang dilakukan oleh sebagian orang yang berperang pada hari-hari ini?

Jawab :
(Perbuatan tersebut) adalah nama di atas penamaannya, yaitu intihâriyyah (bunuh diri), walaupun sebagian orang menamakannya istisyhadiyah (menuntut kesyahidan). Hal tersebut adalah bunuh diri, (karena)
Satu : Telah datang nash-nash shohîh yang sangat banyak dari Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam dengan bentuk umum bahwa orang yang membunuh dirinya adalah dalam Neraka.
Dua : Amalan-amalan tersebut tidak membuat nikâyah (kekalahan, kehancuran) terhadap musuh, bahkan hanya semakin mengobarkan, membangkitkan dan memicu (kemarahan) musuh, dan menggerakkan kekuatan yang tadinya mereka sembunyikan terhadap umat Islam.
Tiga : Melihat ke bumi tempat kejadian –sebagaimana yang mereka katakan-, apa yang ditimbulkan oleh amaliyyât intihâriyyah ini untuk Palestina terhadap Israel? Pelaku bunuh diri atau penuntut kesyahidan ini –menurut penamaan mereka- meledakkan diri dan mobilnya, merusak bangunan-bangunan terbatas seperti pompa-pompa bensin, stasiun kereta api atau tempat-tempat perniagaan, dan kadang ia membunuh beberapa orang dan melukai yang lainnya, tapi apakah yang dilakukan oleh Israel? Karena hal tersebut maka Israel menghancurkan yang basah dan yang kering, menghancurkan berbagai negeri, dan menyerang tiba-tiba terhadap sejumlah rumah. Dan Allah Yang Paling Mengetahui apa yang terjadi di belakang berbagai serangan tiba-tiba tersebut berupa perampasan, perompokan, dan pelanggaran terhadap kehormatan.
Maka sewajibnya atas setiap orang yang berjihad untuk berusaha menjaga kemulian Islam dan menjauhi segala hal yang padanya ada kebinasaan untuk Islam dan penganutnya. Akan tetapi mereka (para pelaku intihâriyyah) itu adalah orang-orang jahil, dan tidak ada bendera yang kuat yang menegakkan hukum di tengah mereka, mengatur mereka dengan baik dan mengajari mereka jihad yang benar dengan merujuk kepada para ulama. Yang ada hanyalah teriakan-teriakan sengau dan kelompok-kelompok, setiap kelompok menguji coba kekuatannya dan memamerkan keperkasaannya. Bahkan hal tersebut adalah amalan yang bodoh tanpa perhitungan yang membahayakan Islam dan penganutnya, membuat kerusakan dan tidak mengadakan perbaikan, bahkan hal tersebut sama sekali tidak tergolong dalam jihad syar’iy dan sama sekali tidak di atas Sunnah.[56]

(Ditulis al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain Makassar, sumber dari email sebagai bantahan atas buku “Aku Melawan Teroris” karya Imam Samudra bab Meraih Kemuliaan Melalui Jihad…Bukan Kenistaan hal. 379-419".)

Catatan kaki :

[45] Diriwayatkan oleh Muslim no. 2674 dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.
[46] Dari kaset Fatwa ulama mengenai kejadian Riyadh. Dengan perantara buku Al-Fatâwâ Asy-Syari’iyyah fil Qadhâyâ Al-Ashriyyah hal. 39.
[47] Dari kaset Fatwa-fatwa ulama tentang peledakan, demonstrasi dan pembunuhan senyap. Dengan perantara buku Al-Fatâwâ Asy-Syari’iyyah fil Qadhâyâ Al-Ashriyyah hal. 131-132.
[48] Demikian fatwa beliau dari kaset Silsilah Al-Hudâ wa An-Nûr no. 533.
[49] Demikian fatwa beliau dari kaset Silsilah Al-Hudâ wa An-Nûr no. 760. Dan dua nukilan di atas mewakili beberapa fatwa beliau yang lain pada kaset no. 273, 288,451, 467, 489, 527, 678 dan 714. Dan baca Al-Fatâwâ Al-Muhimmah fi Tabshîril Ummah hal. 76 karya Jamâl Al-Hâratsy.
[50] Jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada beliau pada Daurah Salafiyah di kota Medan tanggal 28-29 Dzul Hijjah 1426H bertepatan 28-29 Januari 2006M.
[51] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 5778, Muslim no. 109, At-Tirmidzy no. 2048-2049 dan An-Nasâ`i 4/66 dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu. (pen.)
[52] Jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada beliau pada Daurah Salafiyah di kota Medan tanggal 28-29 Dzul Hijjah 1426H bertepatan 28-29 Januari 2006M.
[53] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 4196 dan Muslim no. 1802 dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallâhu ‘anhu.
[54] Apalagi ini kejadian ini dalam sebuah peperangan dan jihad syar’iy. (Pen.)
[55] Dari kaset Fatwa-fatwa ulama tentang peledakan, demonstrasi dan pembunuhan senyap. Dengan perantara buku Al-Fatâwâ Asy-Syari’iyyah fil Qadhâyâ Al-Ashriyyah hal. 132-133 secara ringkas.
[56] Dari kaset Fatwa-fatwa ulama tentang peledakan, demonstrasi dan pembunuhan senyap. Dengan perantara buku Al-Fatâwâ Al-Muhimmah fi Tabshîril Ummah hal. 81-82 karya Jamâl Al-Hâratsy.

0 komentar:

Posting Komentar